☁️26: Di Balik Kita☁️

151 22 2
                                    

It's just a thing you make me do
And I could fight, but what's the use
I know I'd go back to you

-From a song: Back To You-

Dibalik: Bintang

Aku mengerti kalau orang bakal berkata, "Apa sih yang dia pikirkan?"

Padahal dua nomor lagi sudah giliranku untuk bertemu dokter, tapi aku tidak mau ikut duduk. Dengan beralasan pada Kak Ge kalau aku perlu ke toilet karena sudah tidak tahan lagi, sekarang aku kembali berada di lorong berbau obat dan antiseptik yang baru beberapa saat tadi aku lewati. Aku bersikeras tidak ingin ditemani. Yang sebenarnya bukan agar Kak Ge bisa memastikan antrian kami tidak diserobot pasien lain. Melainkan karena aku tidak ingin ia mengetahui kemana sebenarnya aku hendak pergi.

Toilet ada di sebelah kiri. Tapi aku tidak berhenti mengayun kaki. Bahkan tidak menoleh sama sekali.

"Apa yang aku pikirkan?" asal tahu saja, benakku sendiri penuh dengan pertanyaan yang sama.

Rasanya, seperti ada yang salah dengan kepalaku sehingga aku tidak tahu yang kuputuskan benar atau salah.

Rasanya, situasiku serba salah.

Perkara mudah jika nantinya aku diberitahu tidak ada nyawa lain di dalam perutku. Mungkin akan butuh waktu untuk sepenuhnya berdamai dan pulih dari trauma. Tapi aku punya orang-orang seperti Kak Ge, Anfal dan Andari yang tidak pernah memandangku dengan cara yang berbeda bahkan saat aku sendiri merasa diriku sudah tidak sama. Jika hanya tentangku, maka bukan masalah.

Masalahnya, aku harus bersiap untuk kemungkinan yang satu lagi. Separah apapun patah hatiku ini, penerimaan yang sudah aku pilih menuntut sikap dan keputusan yang tidak bisa hanya didasarkan pada ego pribadi.

Memang, sebetulnya bisa saja dibuat mudah. Andai Kak Ge tahu seingin apa aku lari bersamanya. Tapi mana bisa aku sekekanakan itu. Segila-gilanya aku, masih kusisakan sedikit tahu diri untuk tidak membiarkan seorang Gerhana meninggalkan hidupnya yang sudah tertata sempurna. Terlebih ketika yang harus dipertanggung jawabkan sama sekali bukan kesalahannya.

Keputusanku bulat. Kak Ge tidak perlu terlibat.

Sialnya, menolaknya sama saja melepaskan jalan keluar dari genggaman. Sementara itu, sekalipun dalam pandangan negara aku sudah dianggap dewasa, tapi nyatanya aku hanyalah gadis belia yang takut membicarakan tanggung jawab yang mungkin sedang menanti. Aku menyadari aku tidak semampu itu untuk menghadapi segala sesuatu sendiri. Bahkan jika mau kupaksakan, nantinya aku saja tidak akan cukup.

Seperti kata Andari, mau tidak mau Awan harus dilibatkan. Karena tidak peduli bagaimanapun aku menganggapnya, nyawa yang sedang kubicarakan tetaplah bagian darinya. Tanggung jawabnya.

Begitulah. Aku sudah memutuskan ini. Dan aku harus bergegas. Tidak ada waktu untuk ragu-ragu atau sekedar memedulikan keringat di dahiku.

Awan memang tidak menyusulku ke dalam, tapi aku yakin ia masih disana.

Terik matahari mengguyur kulit begitu aku turun menuju halaman. Diantara lalu lalang orang-orang, entah bagaimana menemukan keberadaannya cukup mudah. Mungkin aku terbantu karena kaca mobilnya memang tidak tertutup sempurna. Aku sungguh tidak tahu harus bersyukur atau sebaliknya soal itu. Posisi kami tidak terlalu jauh, jadi ia pun segera menyadariku.

"Bi...?"

Sejurus setelah suara yang mencicit ragu itu menyapaku, dengan tergesa ia membuka pintu, berniat menempatkan diri berhadap-hadapan denganku di sela sempit antara mobil hitamnya dan mobil silver yang entah milik siapa. Namun Awan lebih dulu melihatku membatu. Menyadari bagaimana aku spontan memeluk tubuhku sendiri seolah ketakukan terhadapnya.

Di Balik AwanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang