☁️2: Di Balik Mereka☁️

301 35 0
                                    

Di Balik: Bintang⭐

Rasanya badanku pegal-pegal. Yah, memang apa sih yang bisa diharapkan dari hasil tidur kilat yang durasinya kurang dari 2 jam. Tapi syukurlah aku engga mengacaukan pagi ini. Aku engga melewatkan alarm ponsel yang kusetting untuk berbunyi pada pukul 6. Dan engga seperti biasanya, telepon Andari yang jadi alarm darurat langsung kujawab saat dering pertama. Sahabatku itu sampai kebingungan sendiri, soalnya Andari memang paling tahu jika bangun pagi adalah hal langka bagiku sejak TA dimulai.

Hm... Andari mana tahu kalau sahabatnya tidur dengan setengah otak masih terjaga. Kepikiran dosbing, sudah barang mesti. Dan satu hal lain yang semakin bikin kepikiran setiap kali coba disangkal-Awan.

Rasanya membingungkan, bumi seperti bisa jadi sangat luas dan tiba-tiba sebaliknya. Aku sudah dua semester ada dikota ini dan tidak pernah tahu jika Awan berkuliah dikampus yang berada persis disebelah kampusku, sebelum semalam. Dari sekian banyak skenario yang mungkin terjadi, Awan tahu-tahu muncul sebagai skenario terbaik. Iya bukan? Tanpa bantuannya mana mungkin sekarang aku berhasil dapat antrian pertama untuk konsultasi.

"Buset sakti bener si Bintang! Udah kelar aja cuy!" sambut Anfal setengah tidak percaya ketika aku keluar dari ruangan dosbing sambil memamerkan kertas ACC yang telah dibubuhi tanda tangan.

Andari melompat-melompat girang bersamaku, tapi kemudian mulutnya yang sebelas duabelas dengan Anfal tetap tidak mau ketinggalan meledek, "By the waaay, pake joki mana nih bisikin boleh lah..."

Aku langsung cemberut, "Lo pada gatau ya, gue subuh-subuh tuh masih dijalanan baru kelar ngeprint! Bangga kek, malah suudzon aja!"

"Hah ngeprint dimana lo jam segitu?" kepo Anfal. Kemudian Andari mulai nyerocos bikin-bikin teori kalau aku menemukan tempat print ghoib yang memang hanya dapat dilihat oleh mahasiswa putus asa. Sama sekali engga masuk akal. Tapi otak Anfal memang konslet karena dia kelihatan percaya.

"Ngaco aja! Gue dibantuin Mas Iyan kok." sanggahku. Kami bertiga menerobos kerumunan yang semakin bertambah jumlahnya sehingga suasana koridor depan ruang dosbing mirip tempat pembagian sembako.

Andari menampilkan wajah bingungnya, "Mas Iyan? Kan tempatnya doi udah tutup sebelum sesi konsul terakhir tadi malem?"

Sesuai perkiraanku Andari pasti tanya begitu. Jujur saja aku agak bingung untuk menjelaskan. Awan adalah satu cerita yang seperti terlewatkan oleh Andari dan Anfal,  mereka ini bisa dibilang tahu hampir semua hal tentangku. Bukannya mereka kurang jauh mengulik, hanya saja bahkan aku sendiri tidak benar-benar yakin pernah ada cerita diantara kami-aku dan Awan. Sebabnya... mungkin cuma aku yang sempat berpikir kalau lima tahun lalu itu pernah berarti sesuatu.

☁️⭐☁️⭐

/Sekolah Menengah Pertama/

Bukannya aku GR, tapi menurutku memang benar jika manusia punya suatu insting khusus yang bikin kita bisa peka atau 'merasa' tiap kali ada seseorang yang diam-diam sedang memperhatikan. Apapun itu maksudnya. Yang jelas buatku sendiri rasanya sangat engga nyaman. Apalagi ketika aku sadar kalau orang diseberang jalan sana, sudah menguntitku selama kurang lebih dua bulan terakhir. Tidak setiap hari sih, seringnya ketika Kamis-jadwal rutin untuk ekskul madingku dan eksul basket.

Benar juga, dia pakai Jersey. Berarti memang anak basket.

Meskipun aku sangat yakin dengan apa yang aku simpulkan, tapi ada baiknya buat terlebih dahulu mencari bukti. Jadi dengan sengaja aku mempercepat dan memperlambat ritme kayuhan sepedaku secara acak dan tiba-tiba. Hasilnya, ekor mataku menangkap basah kalau anak basket itu tampak sedang kerepotan mengikuti. NAH KAN! Karena aku kepalang jengkel, kutolehkan kepala cepat padanya. Sehingga diantara lalu lalang kendaraan bermotor, ia dapat menangkap sorot tajam dari mataku.

Di Balik AwanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang