☁️24 : Di Balik Yang Berantakan☁️

152 26 12
                                    

Di Balik: Bintang⭐

Aku berantakan.

Tapi bukan seperti kondisi ruangan yang aku tempati. Yang mana bantal dan guling kubiarkan berserak di bawah kaki dan selimut kusut menjuntai sebagian menyentuh lantai.

Aku menekuk sendi-sendiku. Memeluk lutut dengan kedua lengan. Kemudian mulai menggosok permukaan kulitku sendiri kesana-kemari. Berusaha mencari sesuatu. Yang aku sendiri tidak tahu apa. Karena semua masih ada. Sekalipun napas yang kuhela terdengar rapuh. Nyatanya aku tidak berhamburan secara harfiah.

Aku utuh. Aku tahu.

Hanya saja, sama sekali tidak terasa begitu bagiku.

Mungkin berantakan tidak selalu menjabarkan apa yang terlihat? Tapi juga apa yang aku rasakan?

Sudah lima minggu lebih dan aku tidak dapat mengingat satu pagi pun di mana aku tidak mengawali hari dengan menangis. Bedanya kali ini aku mencoba tidak bersuara karena di samping ranjangku, ada Andari yang tidur tengkurap di atas matras. Satu tangannya menopang pipi sementara satu lagi terulur menggapai keyboard laptop. Perangkat itu masih hidup dan layarnya menampilkan sheet excell yang penuh dengan angka. Sedangkan sahabatku yang satunya berada di sudut ruangan. Anfal duduk terpejam di dekat sumber listrik sambil memangku laptop miliknya. Sidang tugas akhir kurang beberapa hari lagi. Sudah barang mesti banyak yang harus diselesaikan.

Aku semakin menekan bibir dengan buku-buku jari tangan. Seharusnya kami menempuh setumpuk kesibukan tersebut bertiga, mengebut revisi semalaman sembari memusingkan persiapan sidang. Kenyataannya aku benar-benar tertinggal. Sesak sekali memikirkan bagaimana hal-hal yang aku kejar kini terbengkalai.

Waktu berjalan lambat namun hal itu juga tidak membantuku berjalan lebih cepat.

Siang hari yang panjang cuma kuhabiskan untuk uring-uringan dan membantah siapapun yang membujukku makan. Katanya aku makan terlalu sedikit dan itu tidak berakibat baik. Bukan berarti aku sengaja ingin sakit. Tapi aku sudah terlalu kenyang menelan berbagai emosi yang tidak dapat kulampiaskan. Lantas seperti belum cukup lelah, setiap malam aku kembali sibuk bergelut dengan perasaan kalut yang hampir terasa menguburku.

Kemudian ketika pagi datang-seperti sekarang-aku seolah dipaksa bangun hanya untuk menemukan sebuah hari baru dimana kekhawatirkanku bertambah satu. Belakangan, aku tidak kuat lagi. Setengah terseok aku lari ke kamar mandi untuk memuntahkan bebanku. Sama dengan sebelum-sebelumnya, tidak ada isi perut yang keluar namun aku benar-benar mual.

Karena sama sekali belum ada asupan yang masuk ke dalam tubuhku sejak semalam, menangis saja sudah mampu menguras habis sisa energiku. Bahkan sekadar untuk menengok siapa yang ikut berjongkok di sebelahku saja aku tidak sanggup. Meski demikian, aku bisa langsung tahu jika yang langsung bergerak cekatan meraup rambutku ke belakang sambil sesekali membantu menepuk punggungku ini adalah Andari. Ia selalu melakukan hal yang sama setiap kali aku mengalami ini.

Andari menungguiku sampai merasa lega tanpa mengatakan apapun. Selanjutnya, malah aku sendiri yang tidak tahan untuk tidak menangis kencang.

Kulipat siku pada tepian closet, sambil terus terisak-isak aku menelungkupkan kepala meski sadar kupikir menyembunyikan wajahku yang menyedihkan juga tidak akan ada gunanya.

"Kita periksain aja yuk, Bi?" Andari terdengar risau. "Takutnya-"

"GUE NGGAK APA-APA!" sebelum ia bicara lebih banyak, aku segera menyentaknya.

"Bi, lo udah lima hari begini loh..."

"Paling cuma asam lambung aja, Dar. Jangan berlebihan!"

"Tapi gimana kalo masalahnya ternyata bukan dilambung lo?" intonasi Andari berubah 180 derajat. Aku paham batas kesabarannya pasti sudah diujung tanduk,

Di Balik AwanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang