☁️23: Di Balik Satu Kebohongan☁️

203 26 13
                                    

WARNING:
⚠️PART INI TIDAK DIANJURKAN UNTUK YANG PUNYA TRIGGER DENGAN SUICIDE DAN ATAU DEPRESI⚠️


Di Balik: 🌬Angin

Kalau saja...
Kalau saja aku bisa tiba lebih cepat.

Beberapa jam saja. Pasti akan berbeda.

Kali ini, misal aku bersama ia seharian tadi-seperti tahun-tahun sebelumnya. Pasti tidak begini kejadiannya.

Kalau saja aku tidak kemana-mana. Mungkin, semua akan baik-baik saja.

Dunia tidak sedang runtuh di hadapanku. Namun perasaan hancur yang menderaku sejurus setelah aku membuka pintu bahkan lebih mengerikan. Sampai-sampai aku berpikir, kenapa dunia tidak betulan runtuh saja sekarang? Supaya apa yang ada di depan mataku ikut lebur sekalian.

Seseorang merintih di atas ranjang sahabatku. Mengenali suara gadis itu serasa membuatku terhempas begitu jauh. Walaupun nyatanya aku hanya mampu berdiri terpaku.

Sekotak pizza yang tadinya memberi bobot di tanganku, berubah jadi seringan udara. Lalu benar-benar sudah tidak dapat aku rasakan lagi di genggaman. Tidak tersisa cukup kesadaran untuk menyadari kalau hadiah buru-buru yang kubawa untuknya itu sudah jatuh berantakan.

Di ruangan ini, semua hal terlihat berantakan.

"Brengsek! Lo brengsek!"

Serapahan gadis itu tak ubahnya listrik bertegangan tinggi yang dialirkan langsung ke tubuhku yang kaku. Menyentak sisa kewarasanku dengan cara paling menyakitkan.

Langkah-langkah yang kuusahakan terasa gontai. Semakin dekat, semakin nampak jelas pula noda pekat di antara garis-garis kusut pada kain sprei putih yang menyembunyikan kemalangannya. Meski leherku tercekik begitu hebat, aku terus memaksa diri untuk mendekat. Mana bisa aku hanya diam melihatnya ditelan ketakutan. Aku tidak boleh lari dari tanggung jawab seperti laki-laki di samping kloset kamar mandi itu. Yang dengan pengecutnya mengisap rokok untuk melarikan diri.

Hanya sekilas. Tidak kuberi Awan lebih. Tidak pula langkahku terhenti oleh tatapan matanya yang memohon maaf. Sudah setengah satu dini hari. Dan ia bukan lagi alasan mengapa aku berada disini.

Kurengkuh yang tersisa dari kehancuran Bintang dengan hati-hati. Meski jika dilihat lagi, sepertinya tidak ada salah satu di antara kami yang tidak hancur saat ini.

"Gue rusak! Gue udah nggak ada artinya!"

Tapi kemudian aku malah menangis bersamanya. Hati yang kutegarkan ikut luruh seiring emosi Bintang yang bertambah meluap-luap. Bintang berusaha melampiaskan kalut lewat suara. Hanya saja segala serapah dan teriakan yang telah ia lepas tidak juga membuat dirinya lebih tenang. Sekujur tubuh Bintang tidak henti bergetar.

Aku membuka mata bermaksud melakukan sesuatu namun justu berakhir membatu. Tertegun seutuhnya mendapati penglihatanku yang hanya berisi kekosongan. Sebelum dapat kucegah, memori lama itu tumpah. Layaknya tinta dari sebuah botol kaca yang pecah. Hitam dimana-mana.

Kenapa Awan? Kenapa kamu harus menyeret gadis ini pada kemalangan yang sama yang hampir membunuhku sebelumnya?

🌬☁️🌬☁️

/Sekolah Menengah Pertama/

"Maaf ya, Sa?"

Angkasa yang berdiri di depan pintu UKS hanya termenung mendengar responku. Aku tahu seharusnya aku berujar lebih panjang untuk menjelaskan sikapku. Tapi aku sudah sangat terlambat karena tugas piket UKS yang harus kuselesaikan sendirian tadi. Khawatirnya aku nggak akan menemukan seseorang yang bisa kumintai tumpangan pulang.

Di Balik AwanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang