☁️7: Di Balik Impresi Pertama☁️

129 29 3
                                    

Di Balik: Bintang⭐

Terperanjat. Aku meraba-raba sekitar. Coba mencari keberadaan ponselku yang mengulang-ulang ringtone dengan nyaring. Ada telepon. Siapa sih, jam 2 pagi begini?

“Loh?” notifikasinya berakhir sebelum aku sempat mendaratkan ibu jari pada ikon telepon berwarna hijau, “Baru juga mau diangkat...” sudah pasti aku menggerutu. Siapapun pemilik nomor tidak kukenal ini punya hutang penjelasan. Memang apa urgensinya sampai-sampai harus mengacaukan tidur yang bahkan baru kumulai sekitar 3 jam lalu.

Mengesalkan. Mana aku nggak bisa tidur lagi.

Aku menyapu mata kearah lantai. Melihat laptopku masih terbuka dan belum kucabut kabel chargernya meski sudah tidak terhubung pada sumber listrik. Sepertinya perangkat elektronik tersebut belum kumatikan, hanya sedang dalam mode sleep karena lampu indikasinya masih menyala. Tapi aku memutuskan tidak melakukan apapun dan kembali berbaring. Teringat jika ada file konsep produk yang belum berhasil kuperbaharui, malah bikin aku malas bahkan untuk sekedar mendekati laptop.

Meski hanya berdiam, kamarku tidak hening. Saat itu aku baru sadar kalau di luar hujan. Dan masih lebat, mungkin bakal berlanjut sampai pagi. Aku jadi membayangkan hari esok. Kalian tahu, sebuah hari setelah hujan semalaman? Pasti udara besok akan menyenangkan, sejuk sampai siang. Akan sangat menyenangkan pula untuk dipakai tidur seharian, atau makan makan yang pedas dan hangat. Yah, andai saja nggak ada hal yang harus aku khawatirkan.

Pukul 8 nanti, jadwal UAS pertamaku yaitu Akuntansi. Yang mana jadi topik utama dalam grup chat Whatsapp berisi aku, Anfal dan Andari sejak kemarin. Kata Anfal kami cukup ‘selamat’ karena dosen mau membagai kisi-kisi. Sementara kata Andari, “Mana ada selamat kalo kisi-kisinya aja gue nggak ngerti!” Aku satu kubu dengan Andari.

Tapi, hari pertama UAS bukan satu-satunya yang menantiku. Karena setelah jam istirahat makan siang ada deadline pengumpulan Marketing Mix dan Marketing Strategy Tugas Akhir. Gimana bisa engga stress? Seperti yang kubilang fileku masih belum kuperbaharui.

Oke oke, menurutku ini masih kepagian buat migrain. Kusingkirkan selimut dari kakiku, lalu menyeret langkah menuju washtafel dan mulai mencuci alat makan kotor. Biasanya pekerjaan rumah adalah sesuatu yang kuharap bisa rampung cepat atau rampung dengan sendirinya, tapi kali ini aku justru sengaja berlama-lama. Terus menggosok piring, gelas, sendok dan lainnya berkali-kali meski sudah bersih. Entahlah, kadang waktu ada terlalu banyak hal memberatkan kepalaku, mencuci piring begini jadi terasa menyenangkan. Ringan. Kalian tahu, pekerjaan normal yang nggak menuntut kita berpikir keras saat melakukannya.

Kemudian aku benar-benar membereskan apa saja yang nampak berantakan dalam kamarku untuk membunuh waktu. Pukul 6 pagi aku masuk kamar mandi. Dan keluar dengan aroma sabun yang segar sepuluh menit kemudian. Spam chat dari Anfal masuk bertubi-tubi, langsung kubalas dengan kirim selfie. Anfal pasti bangga karena jarang-jarang aku sudah nggak belekan jam segini.

Sehabis meletakkan ponsel, aku membuka lemari. Beberapa saat hanya kutatap isi lemariku sembari menghela napas, harusnya aku segera meraih kemeja putih, rok span biru tua dan almamater berwarna senada yang tergantung disana. Tapi aku memang nggak pernah bersemangat tentang seragam kuliah.

Ini menyebalkan. Disatu sisi, aku memang jadi terselamatkan dari pusing perkara ‘engga punya outfit kuliah’ dengan baju seragam kampus yang sudah terjadwal sesuai hari begini. Tapi bukan berarti aku engga punya keluhan. Oke, aku masih bisa setuju kalau pakaian berjahit press body dan segala aksesoris penunjang wajib seperti make up, scarf atau jaring rambut itu dimaksudkan agar pemakai seragam terlihat rapi dan profesional. Masalahnya, seragam ini lebih banyak membuatku tertekan ketimbang tertata.

Kuputuskan membuka jendela karena aku bahkan sudah merasa kegerahan walaupun belum pakai almamater.

Masih pukul tujuh lebih lima menit. Kabar baiknya aku masih punya waktu untuk sarapan. Kabar buruknya aku nggak ada ide harus sarapan apa. Derita anak kost banget, lihat-lihat di aplikasi pesan makanan juga harganya bikin mikir-mikir.

Di Balik AwanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang