☁️21: Di Balik Skenarionya☁️

182 38 14
                                    

Lying is lying
It's never okay

- From a song: Closure -

Di Balik: Bintang⭐

Aku yang meminta agar kami masing-masing. Aku juga yang memulainya. Tapi bukan berarti aku suka seperti ini. Tiba-tiba menjadi asing.

Kalau bisa, aku mau seperti tempo hari saja. Ketika bicara dengannya adalah perkara mudah.

Lebih baik, tiba-tiba ia datang dan menggangguku. Daripada tidak lagi datang dan membuatku diam-diam menunggu.

Aku masih mau dibonceng lagi. Biarpun tidak setiap hari setidaknya sekali atau dua kali. Mungkin waktu malam minggu nanti?

Aku tidak dengannya setiap hari. Tapi ternyata aku tidak bisa kalau harus tanpanya sama sekali.

Lucu memang. Ia belum lama datang namun sudah menjadi kebiasaan yang terlambat hilang.

“Toilet yok!”

Memang nggak bisa banget aku mau galau-galauan kalau di dekatku ada Andari. Padahal aku sudah menelungkupkan kepala sebagai tanda peringatan ‘jangan ganggu’, tapi masih ada saja usahanya buat merecoki aku.

“Ngapain?” aku menyahut seperti orang berkumur-kumur karena mencoba bicara sementara bibirku menempel di punggung tangan. Biar saja. Buat apa juga repot-repot mengubah posisi untuk meladeni hal yang pasti nggak ada penting-pentingnya ini.

“Poto-poto depan kaca. Mumpung gue lagi cakep nih.”

Nah, aku bilang juga apa.

Pasti kalian heran mengenai Andari yang bersikap biasa saja kepadaku, kan? Sebetulnya, aku juga sedang sama herannya dengan kalian. Mengingat lagi cek-cok pagi itu, caraku memungkas cukup membuktikan kalau aku memang kepala batu. Wajar jika Andari marah karena merasa tidak dihargai. Soal sebungkus siomay Bandung yang begitu saja aku tolak juga cukup keterlaluan. Padahal Anfal dan Andari sudah seperhatian itu mau mampir sepulang CFD demi membawakan aku sarapan. Aku benar-benar seperti orang tidak tahu terima kasih dan mereka memang berhak tersinggung. Jadi selama belum ada kata maaf yang kuutarakan, aku tidak berani memulai komunikasi apapun dengan kedua sahabatku terutama Andari. Makanya aku terpaksa menghubungi Kak Ge meski cerita padanya seringkali malah membuatku lebih frustrasi. Seenggaknya, aku masih punya satu teman untuk melalui sejumlah hari yang berubah rumit karena faktanya aku tidak siap akan keputusanku sendiri. Hal-hal tidak berjalan senormal pikirku saat Awan betulan menghilang dari peredaran.

Tapi aku lega karena ternyata situasi di antara aku, Anfal dan Andari tidak seburuk bayanganku. Ketika kami bertemu di kampus hari ini, Andari menyediakanku satu bangku kosong di sebelahnya. Kekanakan sekali kalau aku tetap mempertahankan ego sementara Andari sudah menunjukkan gestur yang demikian baik. Jadi setelah duduk aku langsung minta maaf sampai berkaca-kaca saking merasa bersalahnya. Andari dan aku sama-sama larut dalam suasana sebelum tawa geledek Anfal bikin momen mellow kami buyar seketika.

“Buruuuuu, Biiii!” dengan kurang ajarnya Andari menarik paksa tas yang sejak tadi aku gunakan untuk bantal darurat. Otomatis aku langsung mengangkat wajah demi menuntut pengakuan dosa dari Andari yang sudah bikin dagu dan jidatku terantuk meja.

“Ayo ayo baku hantam! Jangan diselesaikan secara kekeluargaan karena kalian bukan keluarga!” Bukan malah menengahi, Anfal menyalakan kamera bersiap me-record kegaduhan dua sahabatnya. Mau tidak mau aku membuang keinginan untuk melempar tasku ke muka Andari lantas berbalik menerjang Anfal untuk merebut ponselnya. Daripada amukanku dijadikan bahan Instagram story sama si manusia nggak ada akhlak ini.

Di Balik AwanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang