☁️22(B) : Di Balik Ulang Tahunnya☁️

159 21 9
                                    

Di Balik: 🌬Angin

Awan benci ulang tahun. Karena ia pikir merayakan ulang tahun adalah hal konyol. Memangnya apa yang perlu dirayakan dari bertambah tua dan jadi punya lebih banyak masalah?—begitu katanya.

Tapi aku cukup yakin, sekalipun ia menganggap hari ulang tahun tidaklah penting, ia tetap tidak akan merasa senang jika tidak ada seorang pun yang bersamanya ketika hari itu datang.

Lagipula Awan baru begitu setelah Mamanya berpulang.

Memang benar ketiadaan Tante Rinda membuat Awan kehilangan sumber kasih sayang dan perhatian terbesar dalam hidupnya. Om Darco tidak pernah membiarkan anak-anaknya kekurangan apa pun, tapi tentu saja pria dengan segudang kesibukan itu tidak merasa perlu mengambil libur hanya agar bisa di rumah seharian dan membuatkan kue ulang tahun untuk Awan. Sekadar ingat pun belum tentu berhubung schedule Om Draco suka keterlaluan padat.

Mas Tristan juga sudah bukan lagi kakak laki-laki yang tanggung jawabnya cuma perihal memperhatikan sang adik. Ketika beranjak dewasa ia harus fokus mempertanggung jawabkan dirinya sendiri selaku putera pertama. Mulai dari pendidikan, pencapaian, karir dan masa depan. Mas Tristan jarang sekali punya waktu luang di tengah target demi target yang Om Darco letakkan pada bahunya. Walaupun sehari sebelum tanggal ulang tahun Awan aku pasti meneleponnya berulang-ulang, sering kali Mas Tristan masih saja lupa, bahkan sekedar buat kirim ucapan. 

Ulang tahun hanya sebuah tanggal. Kedengarannya cuma hal kecil. Tapi pasti terasa getir melihat bagaimana orang-orang terdekat seolah tidak peduli lagi bahkan mengenai hal-hal yang dikatakan kecil itu.

Setiap kali aku menyiapkan perayaan-perayaan sederhana lalu Awan malah uring-uringan. Rasanya aku bisa maklum. Sebab aku selalu tahu kalau sebenarnya itu cuma ungkapan kecewanya saja. Kadang, mungkin keberadaanku saja masih kurang baginya.

Tapi sekalipun aku bukan yang paling Awan ingin atau butuhkan, jika aku tidak di sana, lantas Awan punya siapa lagi memangnya?

🌬☁️🌬☁️

/Sekolah Menengah Pertama/

Ini sudah hari ketiga setelah pemakanan Tante Rinda. Masih banyak orang yang silih berganti menyambangi kediaman keluarga Awan. Beberapa sanak saudara dari jauh, tapi yang lebih banyak tentu saja rekan dan relasi Om Darco. Pria yang sedang aku bicarakan tidak beranjak dari ambang pintu ditemani putera sulungnya. Tamu-tamu yang datang untuk berbela sungkawa seperti hampir tidak menyisakan ruang untuk mereka bersedih.

Sayangnya keadaan ini tidak berhasil mengalihkan satu orang lagi yang juga tengah berduka. Awan tidak tersentuh oleh ramai sejak awal. Padahal kehilangan bukan hal yang menyenangkan untuk dihadapi. Masalahnya, Awan begitu menyayangi mendiang Tante Rinda, sebagai anak yang sudah lebih dulu ditinggalkan selamanya oleh orang tua, rasanya aku tahu kalau Awan mungkin merasa di saat ini hanya perasaan kehilangan tersebut yang dapat mengingatkan ia pada ibunya, dan membuat ia tetap merasa dekat dengan wanita itu, sehingga cowok itu sengaja membiarkan dirinya berlarut-larut dalam kesedihan.

Aku mungkin tidak akan mengganggunya untuk sementara kalau saja caranya bersedih tidak berpotensi membuat Awan dilarikan ke rumah sakit.

“Keluar!”

Aku berjengit saking terkejutnya, untung aku tidak sampai menjatuhkan piring yang kubawa.

Kala sadar orang yang masuk hanyalah aku, sorot mata Awan melunak. Ia menghembuskan asap dari mulut sebelum menyambung bicara, “Di luar dulu, Di. Aku lagi ngerokok.”

Tidak peduli aku malah mendekat padanya, menyodorkan piring berisi nasi hangat dan lauk masakan Mbak Sari, “Tukeran dong!” kataku sekonyong-konyong.

Di Balik AwanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang