3. Bulan Madu

2.6K 73 4
                                    



Tanpa memberi jeda sedikit pun, Jata menghampiri istrinya yang duduk tegak di depan meja rias. Tangannya segera mengelus bahu mungil itu. Mula-mula perlahan, kemudian semakin lama semakin cepat. Napasnya mulai memburu. Ia menunduk, merengkuh, lalu mengecup lekuk leher istrinya.

"Kak Jata!" Puput menegur sambil membebaskan diri dari rengkuhan Jata.

"Yaaa?" tanya Jata mesra. Ia masih belum sadar Puput menghindar. Dipikirnya cuma ingin bermanja saja.

"Aku lapar. Aku mau bikin mi instan." Puput berdiri dan berkelit dari tubuh Jata.

"Hah?" Jata terbengong menatap tubuh yang melesat keluar kamar. Cepat-cepat dikenakannya baju, lalu berlari kecil menyusul Puput ke dapur. Di ruang tengah, ia berpapasan dengan kakak-kakak iparnya.

"Loh, pengantinnya kok malah keluar kamar?" seloroh Putra, sang kakak sulung yang usianya sebaya dengan Jata. Putra menikah tahun lalu dan sedang menunggu kelahiran anak pertama.

"Masak bareng dulu kali, Mas, biar romantis," timpal Dwi, si anak tengah yang terpaksa masih jomblo karena berkali-kali ditolak gadis yang disukai.

Jata cuma nyengir saja. Ia sudah hafal, kalau ditanggapi, kedua lelaki itu akan semakin menggoda. Di dapur, didapatinya Puput tengah menjerang air. Dapur tengah sepi. Tanpa ragu didekatinya Sang istri, diletakkannya tangan pada pinggang rampingnya.

Puput mendongak untuk melihat wajah suaminya. "Kak Jata mau makan mi juga?"

"Boleh," jawab Jata. Barangkali asyik juga memulai malam pertama dengan memasak bersama. "Aku bantu masakin telur mata sapi?"

Puput mengangguk. Dengan cekatan, mereka bekerja di depan kompor. Beberapa menit kemudian, dua mangkuk mi dan dua telur mata sapi siap disantap di atas meja. Mereka duduk berdampingan, saling diam. Beberapa kali Jata mencuri pandang ke sebelah. Ia hanya mendapati perempuan yang tercenung dengan mata menerawang seolah penuh dengan beban pikiran. Hati ingin bertanya, namun karena mereka berada di dapur, ia urung.

Jata menyelesaikan makan dengan cepat. Ditunggunya Puput sampai perempuan itu selesai membereskan peralatan makan dan masak. Sesudah itu, dengan tersenyum ia menggandeng sang istri kembali ke kamar.

"Ehm, sudah kenyang?" goda Dwi saat melihat sejoli itu melintas sembari bergandengan tangan.

"Udah, dong. Udah siap tempur mereka," timpal Putra.

Jata cuma meringis saja. Ditariknya segera sang istri ke dalam kamar lalu memastikan pintu terkunci. Sesudah itu, terdorong oleh naluri, dengan gesit ia mengangkat tubuh mungil Puput ke dalam gendongan. Gadis itu memekik kaget, namun tak bisa berbuat apa-apa saat Jata membawanya ke ranjang.

"I love you," bisik Jata saat mereka berdua telah rebah.

"I love you too," bisik Puput. Ia tahu saatnya telah tiba. Ia tahu harus menunaikan tugas sebagai istri. Namun, ia juga tahu, hatinya sangat ketakutan.

Jata bergerak mengikuti naluri. Ia menikmati setiap gerakan yang dilakukan. Semakin lama tubuhnya semakin memanas. Apalagi saat kulit mereka berdua tidak lagi dipisahkan oleh busana. Jata seperti terjun ke danau berair panas yang menggairahkan. Ia melarutkan diri ke dalamnya. Betapa kaget ia, saat ingin membawa serta Puput ke dalam kehangatan, justru tubuhnya ditolak ke belakang.

"Kenapa, Put?" tanyanya dengan kebingungan. Hatinya menciut saat mendapati Puput berurai air mata.

"Jangan, Kak," ratap gadis itu.

"Kenapa?"

Puput menarik selimut menutupi tubuh dan meringkuk di dalamnya sambil terisak-isak. "Kamu ... kamu menakutkan."

"Hah?" Mata Jata melebar tak percaya. Ia ikut masuk ke dalam selimut. "Menakutkan gimana?"

Puput masih terisak. "Aku ... aku takut, Kak."

Jata melingkarkan tangan ke pinggang yang meringkuk itu. Ia lega kerena Puput tidak menolak. "Takut apa?" bisiknya, berusaha lembut, karena tidak mudah meredakan hasrat yang sedikit lagi mencapai puncak.

Gadis itu bungkam saja. Bahunya masih berguncang karena tangis. Jata menjadi iba. "Sssh, jangan menangis. Kita tidak akan melakukannya kalau kamu belum siap," hiburnya untuk menenangkan Puput. Ia paling tidak tahan dengan perempuan yang berurai air mata.

Tangis Puput sedikit mereda. Jata bangkit untuk mengenakan pakaian kembali. Demikian juga Puput. Ia duduk di pembaringan, memeluk kedua kaki sambil menatap suaminya takut-takut.

"Kakak marah?" tanyanya lirih.

Jata merangkak naik ke ranjang lalu memeluk istrinya. "Enggak. Tapi kamu cerita dong, apa yang bikin takut?"

Puput membenamkan diri ke dalam pelukan Jata. Tubuh Jata yang besar membuatnya bisa meringkuk di dalamnya. "Aku takut sakit, Kak," desahnya di antara isakan yang berderai kembali.

Jata mempererat pelukan. Ia sungguh mencintai gadis ini. Hal itu tak diragukan lagi. Namun, ke mana ia harus membuang benih-benih yang berdenyut minta dikeluarkan itu?

☆☆☆

Bandara Ngurah Rai nan eksotis menyapa mereka saat mendarat di Pulau Dewata. Musik tradisional Bali berkumandang di bus, selasar, dan gedung terminal. Ornamen khas Bali mewarnai seluruh interior bandara. Bahkan bentuk bangunannya pun sangat unik dengan atap melengkung yang indah. Ya, Bali dan keindahan memang satu paket. Tepat sekali pilihan untuk menikmati bulan madu di tempat ini.

Saat melangkahkan kaki ke gedung yang beraroma harum itu, mata Jata melebar. Bagaimanapun, keindahan bisa membentuk semangat baru. Suasana liburan yang kental sejenak membasuh hati yang gundah karena kegagalan penetrasi semalam.

"Kak, tunggu!" Suara Puput terdengar di belakang. Sontak Jata berhenti dan menoleh. Istrinya tertinggal beberapa langkah. Kaki-kaki mungil dan sepatu berhak membuat langkah Puput semakin pendek. Ia baru ingat bahwa dirinya tidak lagi sendiri. Ada seseorang yang harus disejajari. Sambil tersenyum sabar, diraihnya tangan Puput lalu diletakkan di lengannya. "Makanya begini," ujarnya, "biar nggak ketinggalan."

Wajah Puput seketika merona merah. "Kakak, ih!"

"Aku kenapa?"

"Kak Jata jalan terlalu cepat," protes Puput.

"Kamu kan tahu jalanku cepat."

"Tapi aku pakai sepatu hak, Kakak, nggak bisa jalan cepat."

"Nah, apa kubilang? Jangan pakai sepatu hak, pakai sneakers aja biar nggak ribet."

"Ya nggak cocok sama rok ini. Kakak, ih!"

Jata terdiam. Semenjak menjadi seorang suami, ia baru tahu bahwa perempuan itu punya serentetan aturan dan prosedur tetap tak tertulis yang aneh. Kalau ikatan rambut seperti ini, maka bajunya seperti itu. Kalau mengenakan baju seperti ini, maka tas, sepatu, dan parfum harus menyesuaikan. Dalam hati, ia bertanya-tanya, apakah ayahnya dulu juga menghadapi keribetan yang sama.

Jata sejenak terbayang sosok ibunya. Ia mewarisi tubuh tinggi besar wanita itu. Sedangkan ayahnya justru lebih pendek, kerempeng, sehingga bisa dikatakan mungil. Ia heran saja, bagaimana kedua orang itu bisa jatuh cinta.

Sepanjang ingatan Jata, ibunya tidak seribet Puput. Dibesarkan di pedalaman Kalimantan, wanita itu bisa apa saja. Mulai dari mengurus dapur, merawat anak, hingga memperbaiki atap. Ayahnya? Oh, peran mereka kerap terbalik. Lelaki itu hobi memasak. Makanan buatannya terbukti enak.

Senyum manis tersungging di bibir Jata. Perhatiannya kembali ke jemari halus di lengan kiri. Dielusnya tangan Puput. Gadis itu mendongak, lalu tersenyum. Jata seketika lupa pada malam pertama dan kedua yang gagal total.

===TBC===

Percobaan 44Where stories live. Discover now