57. Kesepakatan

94 13 0
                                    


Entah benar atau salah pendapat Billy, Jata tetap merasa tidak suka. Bagaimana bisa bosnya malah melibatkan lelaki itu dalam masalah rumah tangganya? Sekarang Wina dan Billy akan mengetahui aibnya sebagai lelaki. Pasti mereka mengira Puput lari kepada lelaki lain karena kegalalannya sebagai suami.

Manajer mengalihkan pandangan pada Matias dan Jata. "Bagaimana Pak Matias dan Jata? Itu dari sisi paranormal. Kita tahu, kan, orang bisa saja terkena pelet atau teluh. Kalau secara medis tidak bisa dijelaskan. Saya sendiri pernah terkena pelet. Rasanya ya begitu, tahu-tahu deg-degan, jatuh cinta seperti anak SMA. Kebetulan, Pak billy juga yang melepaskannya."

"Saya dengar istri Jata baik-baik saja, hanya luka di kepala. Asrul juga mengatakan bahwa luka itu karena diterjang sesuatu, bukan karena dilukai oleh Asrul. Bahkan Asrul berniat menolong istri Jata," Billy menambahkan.

"Mohon maaf sebelumnya, tapi saya melihat ada pelecehan seksual di sini biarpun belum sampai ke hubungan seksual," sanggah Jata dengan segera.

Billy berdehem. "Ya, kalau dilakukan suka sama suka, bukan pelecehan seksual namanya. Mohon maaf, ya, Jata."

Pandangan mata Jata langsung berkilat saat mendengar itu. "Maksudnya gimana, nih?"

Matias menepuk paha anaknya untuk mengingatkan agar bersabar.

Billy langsung memberi isyarat dengan tangan agar Jata tenang. "Saya cuma mencocokkan fakta dari keterangan Asrul dan penerawangan saya. Istrimulah yang aktif dalam kasus ini, Jata."

"Apa?" Merah padam seketika wajah Jata. "Istri saya adalah korban di sini, kok dibuat seperti perempuan murahan?"

"Sebentar, jangan ada yang naik darah dulu," sela Pak Manajer. "Mari kita sama-sama meredam supaya bisa memutuskan dengan baik."

Tanpa terduga, Matias justru mendukung pendapat atasan Jata. "Saya pun juga berpendapat demikian. Ada yang aneh dalam kasus ini. Saya sebenarnya cenderung agar kasus ini diselesaikan dengan baik-baik secara kekeluargaan. Tidak perlu berlanjut ke tuntutan hukum." Matias kembali menepuk paha putranya. "Bagaimana, Jat? Kamu setuju seperti itu?'

Jata mendengkus. Dalam hati ia ingin menuntut pelaku melalui jalur hukum. Akan tetapi, Asrul adalah sahabatnya. Ia pun masih ragu niat Asrul untuk memerkosa Puput. Walaupun Asrul secara tidak langsung mengaku tertarik pada istrinya, tidak serta merta ia akan melakukan perkosaan atau pelecehan seksual. Seperti matias, ia melihat ada hal-hal yang ganjil dalam kasus ini. Mau tak mau dirinya mulai memikirkan kemungkinan pengaruh kekuatan dari dunia lain.

Jata akhirnya mempertimbangkan kondisi Puput. Bila kasusnya berlanjut ke hukum, mau tak mau Puput akan ditanya, diundang ke pengadilan, diperiksa visum, dan segala macam prosedur lain. Ia tidak yakin Puput mau menjalani semua itu. Apalagi Puput mengaku sendiri bahwa ia pun tertarik pada Asrul. Mengungkap kasus itu ke pengadilan akan membongkar masalah rumah tangga mereka.

♡♡♡

Jata akhirnya mengangguk. "Saya mohon waktu untuk mempertimbangkan dengan keluarga terlebih dulu. Setelah magrib nanti, saya akan menelepon Bapak untuk keputusannya."

Pak Manajer mengangguk dengan lega. "Lalu bagaimana dengan Asrul? Apakah akan ditahan terus di mess ini?"

Jata mempertimbangkan sejenak. Akhirnya ia menggeleng. "Saya rasa Asrul tidak akan kemana-mana. Silahkan kalau mau dipulangkan."

Ibu Asrul langsung memeluk Jata dan menyalami Matias. Sambil berurai air mata, perempuan renta itu mengucapkan terima kasih berkali-kali.

Asrul dikeluarkan dari kamar penahanan. Ia bertemu Jata di ruang tengah. Sejenak, rasa canggung melingkupi keduanya. Namun, dengan berbesar hati, Jata mengangguk kecil untuk menyatakan bahwa ia menerima kejadian itu. Asrul tak dapat menahan diri. Ia menghambur untuk memeluk lelaki itu.

Asrul menangis di bahu Jata. "Aku minta maaf, Jat. Aku benar-benar minta maaf. Aku akan menjaga diri. Aku nggak akan mendekati istrimu lagi."

"Iya, Srul. Aku percaya kamu," jawab Jata lemah.

"Terima kasih, Jat. Aku nggak tahu lagi gimana nasib Mama kalau kamu melanjutkan tuntutan."

Jata menepuk-nepuk punggung Asrul sebagai jawaban. Ia tidak bisa berkata-kata lagi. Hatinya masih nyeri mendapati kemungkinan Asrul dan istrinya saling jatuh cinta.

♡♡♡

Di dalam mobil yang membawa Jata dan Matias meninggalkan kompleks PLTA Riam Kanan, Matias berusaha menjernihkan suasana.

"Papa tahu, keputusan berdamai itu terlihat tidak adil buat Puput dan kamu. Tapi, Papa minta kamu mempertimbangkan lebih dalam sebelum melanjutkan," ujar Matias dengan hati-hati.

Jata menghela napas panjang. "Kalau kita mundur, kesannya kita mengakui tuduhan bahwa Puput yang aktif merayu Asrul."

Matias tahu, putranya sangat terpukul. "Sebaliknya, kalau dilanjutkan, apa akibatnya bagi kamu dan Puput?"

Jata mendesah. Bila benar Puput dan Asrul saling cinta, dengan memenangkan tuntutan hukum, apakah akan memenangkan cinta Puput? Nyeri sekali hati Jata bila memikirkan itu.

"Lebih baik kita mencari fakta-fakta terlebih dulu. Yang jelas, kamu harus bicara baik-baik dengan istrimu. Tanyakan lagi tentang perasaannya pada Asrul. Siapa tahu itu hanya perasaan sesaat yang dipengaruhi oleh kekuatan gaib. Belum tentu istrimu berkhianat," saran Matias seperti tahu isi hati sang putra.

"Apa ada kaitannya dengan Wina dan Billy, Pa?"

"Yang kamu bayangkan seperti apa?"

"Wina akhir-akhir ini selalu mendekati aku, Pa. Lantas ada yang aneh. Setiap dekat dengan dia, perasaanku debar-debar kayak orang jatuh cinta."

"Kamu curiga Wina dan Billy mengirim pelet ke kamu, Asrul, dan Puput, supaya kamu dan Puput berpisah, begitu?"

Jata mengangkat bahu. "Bisa aja, kan? Soalnya, yang kebayang punya motivasi itu cuma mereka berdua. Coba Papa pikir, siapa lagi yang berniat mengganggu ketentraman aku dan Puput?"

"Makanya!" sambar Matias. "Kenapa kamu cari penyakit dengan kerja dekat-dekat dengan dia?"

Jata mengerutkan kening. "Iya, iya, Pa. Aku sudah paham, pahaaam banget. Nggak usah diulang-ulang begitu. Sekarang mari kita fokus pada masalah ini saja."

"Kalau kamu bisa merasa begitu pada Wina, kemungkinan itu pula yang terjadi pada Puput dan Asrul."

"Jadi menurut Papa kami semua kena pelet?"

Matias berdecak. "Bukan."

"Lalu?

"Papa bisa bilang begitu karena Papa yakin kamu tidak akan mempan dipelet. Yang kalian alami ini jauh lebih besar dari sekadar pelet."

Jata terheran-heran. Baru kali ini papanya berbicara sesuatu yang sangat tidak ilmiah. "Papa tahu sesuatu?"

Matias mendesah. Sebenarnya sudah dari zaman dulu, sejak Jata dilahirkan, ia ingin menjauhkan anak itu dari hal-hal gaib seperti ini. Akan tetapi, takdir Jata ternyata tidak bisa diubah. Para tetua sudah meramalkan bahwa Jata harus menghadapi tantangan seperti ini.

"Kamu tahu, namamu itu bukan pemberian Papa. Makanya, namamu berbeda dari kedua adikmu, Robert Sandan dan Marcel Sandan. Tadinya Papa mau beri kamu nama Tito Sandan. Tapi para tetua datang dan memberikan nama itu.

"Para leluhur kita, Jata, sudah bersahabat dengan para penguasa sungai dan danau sejak dulu, yaitu buaya dan naga gaib. Ikatan itu diteruskan otomatis ke anak cucu yang bisa menerima. Kamu yang terakhir mendapat ikatan itu. Papa sudah lama menghindarkan kamu hal-hal begitu karena tidak baik untuk kesehatan mental. Ternyata kamu tidak bisa berkelit."

Keringat dingin keluar dari pori-pori Jata. "Sebenarnya aku terlibat apa, Pa?"

Matias terdiam.

=Bersambung=

Buat yang nggak sabar nungguin apdetan, langsung cuuus aja ke Dreame.

Cerita ini udah tamat di sana. Sobat bisa memanfaatkan koin gratis di aplikasi itu.

Selamat maraton!

Percobaan 44Where stories live. Discover now