Demam

1K 59 0
                                    

Jata kaget dengan perubahan Puput. Serta merta, diturunkannya kamera dan memandang langsung pada sang istri. Tak ada apa pun yang aneh selain gadis cantik yang berbahagia di atas ayunan. Jata menggaruk tengkuk yang sempat merinding. Barangkali ia kurang minum atau kurang vitamin, atau masih terpengaruh obat antialergi semalam.

Setelah puas berayun, Puput mendekat, lalu menggandeng tangannya.

"Aku suka suasana alami begini. Sama seperti rumah kita di Kalimantan nanti," ujarnya.

Jata kembali menatap dengan keheranan. "Dari mana kamu tahu rumah kita suasananya juga alami?"

Puput mendongak. "Kak Jata pernah cerita, kan?"

"Masa, sih?" Jata tidak mengingat itu. Rumah dinas di tepi hutan itu didapat dua bulan sebelum menikah dan hanya untuk tinggal sementara sebelum rumah BTN yang dibeli selesai dibangun. Ia sama sekali belum memberitahu Puput soal itu.

"Iya, Kak. Rumahnya rumah panggung dari kayu, di pinggir hutan kecil dekat bendungan Riam Kanan. Aku ingat, kok."

Jata menatap heran mata lembut itu. "Rasanya aku cuma cerita rumah BTN yang di Banjar Baru."

"Ih! Lantas dari mana aku tahu rumah itu kalau bukan dari kamu, Kak Jata?" Puput gemas. "Aku juga lupa kapan Kakak cerita. Kayaknya Kakak pernah kasih lihat fotonya."

Sontak Jata memeriksa foto-foto di dalam ponsel dan memori kamera. Ia tidak menemukan satu pun foto rumah itu. Sudah pasti tidak ada karena ia tidak pernah memotretnya. Sambil terus merasa aneh, ia berlari kecil menyusul Puput dan Nengah yang telah melanjutkan perjalanan.

☆☆☆

Puput bersikap manis sepanjang perjalanan itu. Setelah makan siang, mereka melanjutkan perjalanan ke Pasar Saraswati untuk mencari oleh-oleh.

Jata merasa kurang sehat. Ia membuntuti Puput dengan malas. Rupanya Puput bisa merasakan perubahan itu.

"Kakak kenapa sih? Dari tadi lesu melulu?"

"Ah, cuma perasaanmu aja. Masih lama belanjanya? Cari yang simpel-simpel aja."

"Kalau nggak milih-milih, nanti dapat barang jelek dan mahal."

Jata mengembuskan napas. Puput menjadi kesal.

"Kak, kalau malas nemenin belanja, lebih baik menunggu di warung aja," tegur Puput.

"Iyaaa," jawab suaminya. Tanpa bicara lagi lelaki itu langsung berbalik arah dan meninggalkan istrinya yang menjadi mendongkol karena ketidaksabaran itu.

Satu jam lebih Jata menunggu. Belum ada tanda-tanda kemunculan istrinya. Kepalanya mulai pusing. Makanan di hadapan terasa pahit. Setelah membayar makanan, ia mencari warung yang menjual obat. Dibelinya obat penurun demam lalu diminumnya sebutir. Obat itu hanya berguna sebentar. Peningnya kembali lagi tak lama sesudahnya.

Akhirnya Puput datang dengan membawa belanjaan penuh di kedua tangannya. Mereka kembali ke mobil.

"Kak, kok wajahmu kayak gitu? Marah karena nungguin aku?" tanya Puput.

Jata cuma menggeleng lemah.

"Kak?" Tangan Puput menyentuh lengan suaminya. Barulah gadis itu tahu ada yang tidak beres. Tangannya kini beralih ke kening. "Badanmu panas sekali!" Melebar mata Puput karena cemas.

"Udah minum obat tadi," jawab Jata sambil menyalakan mobil.

"Biar aku aja yang nyetir," saran Puput.

"Kamu bisa nyetir?"

"Bisa."

"Punya SIM?"

Puput tertegun. "Enggak. Udah lama mati. Aku lupa perpanjangan." Ia selalu diantar jemput sopir sehingga tidak merasa penting memiliki SIM. Kewajiban memperpanjang itu terlupakan begitu saja ketika masa berlakunya habis.

"Aku masih kuat, kok." Jata menjalankan mobil.

"Pelan-pelan aja," kata Puput.

"Iya, iya."

☆☆☆

Jata benar-benar demam sore itu. Padahal dirinya bukan orang yang mudah sakit. Mengapa saat berbulan madu malah demam? Sungguh mengecewakan.

"Kak, aku bawain ayam panggang pesananmu," kata Puput saat kembali ke kamar hotel.

Jata yang tergolek dengan suhu badan tinggi hanya menoleh. Dokter mengatakan ia hanya terserang virus karena hasil laboratoriumnya baik. Ia disarankan untuk istirahat dan makan yang banyak.

"Makanya kan, aku bilang nggak usah berenang. Aku tuh udah merasa tadi. Kamunya aja nekat," gerutu istrinya. "Nih, sudah aku siapin piring dan sendok. Makan dulu."

Jata melengos. Baru beberapa hari menikah sudah kena omel. Bagaimana setelah dua puluh tahun nanti? Diliriknya Puput yang kini asyik makan sendiri. Bagus sekali, bukan, lidahnya terasa pahit dan Puput bisa makan dengan lahap? Mana keprihatinan seorang istri?

"Loh, ayamnya kok dianggurin? Ayo makan," kata Puput. Diletakkannya piring lalu meraih piring Jata.

"Nggak. Masih mual. Nanti aja."

"Aku suap ya?"

"Nggak!"

"Kakak ngambek?"

"Nggak!"

Puput nyengir. "Nggak pantes banget ngambek begitu, Kak. Badan besar, masa kelakuan kayak anak kecil."

Jata menoleh dengan mata nyalang. Puput segera melengos karena takut. Jata ternyata mengerikan kalau marah.

"Ya deh. Tapi ada syaratnya!"

Puput menoleh dan menemukan mata itu masih menatap tajam.

"Aku minta dicium dulu sebelum disuapin!" rajuk Jata.

Mau tak mau Puput beringsut ke samping suaminya dan memberikan kecupan ringan di pipi.

"Kok pipi? Bibir!"

Mata Puput melebar. "Bibir? Aku nanti ketularan penyakit Kakak!"

Jata mendesis dengan alis berkerut. Puput tak mau membuat Jata semakin marah. Langsung dikecupnya bibir kemerahan milik sang suami. Sesudah itu barulah mulut lelaki itu terbuka untuk menerima nasi dan ayam. Ditunggunya Jata menelan isi mulutnya sebelum memberikan suapan kedua.

"Cium lagi!"

Ganti Puput yang mendesis dan berkerut kening.

Jata tak peduli. "Di bibir!"

Begitulah, bayi besar kesayangan Puput harus dibujuk dengan ciuman bibir supaya mau makan.

☘☘☘

Harap maklum, Jata kumat ....

Percobaan 44Where stories live. Discover now