11. Peringatan

902 46 5
                                    

Siang itu, setelah makan, Jata mengajak Puput ke Istana Kuning yang merupakan peninggalan Kesultanan Kutaringin. Istana itu sampai sekarang masih digunakan sebagai tempat tinggal keluarga kerajaan Kotawaringin yang merupakan icon kota Pangkalan Bun.

Siang itu suasana kota tidak terlalu panas karena mendung menaungi sejak pagi tadi. Setelah memarkir mobil, sejoli itu memasuki kompleks istana yang dibangun di puncak bukit kecil.

Jata menunjuk pohon besar di dekat gerbang. "Lihat, Put. Dua jenis pohon itu bisa menyatu. Aneh ya?" Diraihnya bahu sang istri.

Puput mengamati pohon yang dimaksud. "Pohon beringinnya menyatu dengan pohon sawit."

Jata tersenyum mesra. "Kayak kita, dua orang yang berbeda, kini sudah menyatu." Sengaja ia memberikan rayuan untuk memuluskan percobaan ke-11 nanti malam.

"Tapi perhatikan deh, Kak. Pohon sawitnya kayak tersiksa gitu, kejepit pohon beringin," tunjuk Puput.

Jata sontak menoleh karena merasa tercubit oleh perkataan Puput. "Kamu sawit atau beringin, Put?"

"Kakak pikir sendiri," kilah Puput seraya membebaskan diri dari pelukan untuk masuk ke gedung istana. Rayuan Jata buyar seketika.

Kompleks Istana Kuning terdiri dari beberapa gedung yang seluruhnya terbuat dari kayu ulin. Bentuknya berbeda-beda. Ada yang bercirikan bangunan China, ada yang Dayak, dan satu lagi, bercirikan Melayu. Semuanya berupa rumah panggung. Beberapa bangunan dibuka untuk umum sebagai obyek wisata. Sedangkan beberapa lagi merupakan tempat tinggal Pangeran dan keluarganya, pemilik istana tersebut.

Jata mengajak Puput memasuki gedung aula. Di situ dipajang foto-foto penguasa kerajaan sepanjang sejarah, serta benda-benda keramat. Bersama mereka ada lima turis asing yang turut berkeliling di aula itu. Seorang pemandu tengah menjelaskan sejarah berbagai benda di ruangan itu kepada mereka. Pangkalan Bun merupakan kota transit bagi wisatawan yang akan berkunjung ke Taman Nasional Tanjung Puting, habitat kera berhidung terong yang dinamakan bekantan.

"Patung manusia kenapa lehernya panjang?" tanya Puput. Telunjuknya mengarah pada sebuah patung kepala bermata dua, berhidung mancung, namun berleher panjang.

Mendengar pertanyaan itu, seorang penjaga atau juru kunci menghampiri mereka. "Itu bukan patung manusia, tapi patung burung," terangnya dengan nada ramah.

"Oh, kenapa mirip manusia?"

Lelaki paruh baya itu memandang Puput dan Jata bergantian. Wajah ramahnya seketika berubah. Matanya menyorotkan sesuatu yang asing. "Oh, memang seperti itu gambaran burung sakti ini dibuat."

Puput manggut-manggut, lalu kembali asyik melihat-lihat artefak lain.

"Dek," panggil sang juru kunci kepada Jata. "Apa kalian pernah mengalami hal-hal aneh?" Suaranya setengah berbisik.

Jata langsung berdebar. Ia ingin mengatakan hal-hal yang dialami, namun urung. "Rasanya tidak ada."

Pandangan pria itu seperti mengarah ke belakang kepala Jata. Wajahnya memucat seketika.

"Pak, ada apa?"

"Ah, tidak ada apa-apa. Saya cuma bisa menyarankan Adik dan istri agar selalu berdoa bersama." Sesudah berkata begitu ia bergegas pergi.

Mau tak mau bulu kuduk Jata berdiri. Tengkuknya terasa dingin karena tiba-tiba angin berembus menerobos jendela di belakangnya. Jata menoleh. Ternyata di luar mendung telah berubah menjadi awan hitam tebal. Tiba-tiba petir menyambar mengagetkan pengunjung aula itu.

Jata memandang ke sekeliling. Aura tempat itu tiba-tiba berubah. Memang benar suasana menjadi gelap karena mendung tebal menghalangi sinar matahari. Akan tetapi, udara saat ini menjadi berat dan terasa sangat dingin.

Jata berjalan ke jendela. Aula yang didirikan di atas tiang - tiang kayu ulin itu menjadikannya lebih tinggi. Dari bukaan itu, Jata dapat melihat halaman istana yang luas. Sudut matanya segera menangkap sosok hitam berkelebat di halaman, dari arah gerbang menuju ke bangunan istana.

Tanpa sadar, Jata mengamati dengan saksama. Namun, saat benar - benar dipandangi, sosok itu lenyap tanpa bekas. Padahal ia yakin, tadi itu benar-benar melihat orang berpakaian hitam yang melayang dengan cepat.

"Arrrgh!" pekikan salah satu pengunjung membuat perhatian Jata teralihkan. Saat menoleh ke aula, ternyata salah satu pengunjung wanita terkapar dan mendelik. Beberapa orang mengerumuni dan berusaha menolong. Wanita muda itu meronta-ronta dan berteriak histeris dengan bahasa yang tidak dapat dimengerti.

"Kak, kenapa dia?" bisik Puput.

"Aku nggak tahu, Put. Kayaknya kesurupan," jawab Jata.

Tiba - tiba, wanita itu duduk dengan mata merah yang terbelalak maksimal. Ia menatap Jata dan Puput dengan tajam. Jari telunjuknya terangkat dan mengarah ke sejoli itu. "Aaarrrggg! Arrrrggg! Aaarrrggg!" Teriakan tanpa kata meluncur dari mulut yang menyeringai.

Sudah pasti Jata ngeri. Nalurinya menyuruh untuk segera meninggalkan tempat itu. Diseretnya Puput keluar. Ia terheran karena sang istri tenang - tenang saja, tidak terpengaruh, seolah tidak terjadi apa pun.

"Kak, kita foto sebentar dong?" pinta istrinya.

"Ya ampun, Put! Ada orang kesurupan masa masih mikirin foto?" protes Jata.

"Orang beriman itu nggak takut hantu, Kak!" kilah Puput dengan merengut.

Daripada membuat istrinya merajuk, Jata mengabulkan permintaannya. Mereka berfoto dengan cepat, lalu berlari menuju mobil karena hujan mulai turun.

"Kenapa sih, kayak orang ketakutan gitu?"

Jata malas menjelaskan. "Tuh, mau hujan dan ada petir."

Kontan Puput tertawa. "Kemarin takut lampu mati. Sekarang takut hujan dan petir."

"Put!" Jata mulai gerah dengan komentar Puput. "Bisa nggak sih, kalau di tempat keramat itu jangan bercanda sembarangan?"

Wajah Puput seketika berubah. Ia tidak menyangka ditegur untuk hal sepele begitu. "Maaf," bisiknya. "Aku memang nggak becus ya, Kak?"

Jata dapat melihat air mata Puput mulai menggenang. Ia kaget. Ternyata hati Puput sungguh sulit diduga. Digenggamnya tangan mungil gadis itu. "Put, maksudku bukan memarahi kamu," bujuknya.

"Iya, aku tahu, Kak." Air mata benar-benar meleleh di pipi Puput.

Jata menjalankan mobil dengan merutuki diri, mengapa tidak bisa sedikit bersabar. Ia juga heran, akhir-akhir ini emosinya naik turun tak terkendali. Apakah memang seperti itu efek kegagalan bercinta?

Jata menghela napas panjang. Kalau sekarang saja seperti ini, entah bagaimana nasib percobaan ke-11 nanti malam?

☘☘☘

Percobaan 44Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang