15. Asrul

682 42 2
                                    

Mendengar nama mantan kekasihnya disebut, kening Jata sontak berkerut. Diliriknya Puput. Gadis itu menoleh ke Asrul, seperti tertarik dengan topik pembicaraan. Jata sungguh tidak mengerti mengapa Asrul harus menyebut nama itu di depan istrinya. Tidak bisakah ia bercerita di kantor atau di warung saat mereka hanya berdua saja?

"Wina ngajuin gugatan cerai. Suaminya nggak terima. Dia menghadap ke Bos Besar. Kata orang sampai ramai mereka di kantor Bos. Akhirnya dengar-dengar mereka nggak jadi cerai tapi tetap pisah rumah. Sama aja, ya."

Jata tidak menanggapi dan berharap Asrul menghentikan pembicaraan tentang Wina. Rupanya Asrul tidak peka. Ia malah semakin bersemangat bercerita.

"Gara-gara itu sekarang Wina makin ngetop di kantor. Ada aja yang mau deketin. Siap yang enggak suka ya? Udah tinggi, putih, cantik, bahenol lagi!"

Jata hanya bisa mengeluh dalam hati.

"Itu Wina yang mantanmu, Kak?" tanya Puput.

Asrullah yang menyahut. "Loh, kamu sudah tahu, Ding?"

"Sudah, Kak."

Asrul berdehem-dehem penuh arti. Setelah itu mulutnya terbuka hendak mengatakan sesuatu, namun urung setelah melihat ekspresi dingin di wajah Jata.

"Tenang, Ding. Suamimu ini tipe setia. Yang perlu diwaspadai itu justru aku." Asrul merasakan embusan udara dingin saat mengatakan itu. Ia juga heran mengapa candaan-candaannya tak terkendali saat bersama Puput. Apalagi tanpa sadar tangannya kembali menepuk bahu Puput. "Kalau dia macam-macam, bilang ke aku."

"Gitu ya, Kak?" desah Puput dengan lesu. Sontak, kegagalan-kegagalan malam pertama mereka terbayang kembali di pelupuk mata.

☆☆☆

Jata dan Puput sampai beberapa kali mampir untuk membeli keperluan rumah tangga. Maklumlah, rumah dinas mereka termasuk terpencil, berada di Desa Aranio yang sepi. Di desa itu terdapat kompleks Bendungan Riam Kanan yang merupakan salah satu pembangkit listrik tenaga air tertua di Kalimantan Selatan. Dibangun sejak tahun 1959, PLTA tersebut menyuplai kebutuhan listrik untuk provinsi Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan.

Jalan menanjak beberapa kali ketika mendekati bendungan. Di beberapa sisi, jalan diapit oleh jurang dan berkelok. Bila tidak berhati-hati, seseorang akan terperosok ke jurang.

"Banyak kecelakaan di sini," kata Asrul. "Ada yang bilang poros jalan ini kadang meminta korban."

"Di Semarang juga banyak yang seperti itu, Kak," kata Puput. "Ada yang bilang di jalan-jalan tertentu ditunggu makhluk halus sehingga angker."

"Nah, sama kalau begitu. Di atas sana ada hutan wisata. Sering tuh pasangan-pasangan pacaran di sana. Kalau kelewatan, sering ada tulahnya. Kesambet kata orang."

"Terus akibatnya apa, Kak?" Mata Puput melebar.

"Akibatnya macam-macam. Ada yang putus setelah itu. Ada yang kecelakaan di jalan ini, dan ada yang tidak dapat jodoh seumur hidup[1]."

"Hih, ngeri amat!" sahut Puput.

Mobil mulai memasuki jalanan berkelok itu. Jalan yang menanjak dan menyimpan belokan belokan tajam itu membuat kepala orang menjadi pusing. Setelah berkelok-kelok beberapa saat, akhirnya mereka memasuki kompleks PLTA Riam Kanan. Komplek itu teduh karena dinaungi pohon-pohon besar. Mereka masuk terus ke dalam kompleks hingga bertemu dengan deretan rumah rumah dinas. Rumah dinas itu ada yang baru dan ada pula yang sudah uzur.

Mereka melaju perlahan melewati deretan rumah dinas hingga mencapai ujung yang merupakan jalan buntu. Kawasan itu dikelilingi oleh pohon-pohon rindang yang merupakan hutan kecil. Mereka memelihara hutan di sekitar bendungan untuk memelihara sumber resapan air bagi bendungan. Kita tahu bila air surut maka kemampuan bendungan untuk memproduksi arus listrik akan berkurang. Saat ini pun mereka menghadapi masalah pendangkalan bendungan dan sungai-sungai di sekitarnya akibat penambangan liar di daerah hulu. Hal itulah yang mengakibatkan produksi PLTA Riam Kanan terus menurun dari hari ke hari.

Rumah dinas Jata merupakan rumah panggung yang terbuat dari kayu. Tongkat-tongkat yang menyangga rumah itu tingginya sekitar 1 m. Rumah itu memiliki teras di depan dan belakang serta memiliki tiga kamar tidur. Halaman di sekeliling rumah telah diberi pagar dari kayu hutan oleh Jata sehingga halaman rumah terlihat bersih dan rapi. Rumah itu pun telah dicat ulang dengan cat tembok berwarna putih.

Puput juga melihat bahwa seluruh jendela rumah itu telah diberi gorden berwarna pink. Gadis itu mulai menebak bahwa cat tembok di dalam rumah pun berwarna merah muda. Ternyata dugaannya tidak meleset. Begitu pintu dibuka ia melihat keseluruhan dinding bagian dalam rumah kayu itu benar-benar dicat merah muda.

"Kakak, mengapa dindingnya semua berwarna merah muda?" tanya Puput sambil berkerut kening. "Seleramu aneh banget."

"Kok seleraku? Bukannya merah muda itu warna kesukaanmu?" jawab Jata dengan santai.

"Iya, aku memang suka warna merah muda. Tapi itu untuk benda-benda bukan untuk dinding rumah, Kakak," jawab Puput sambil merengut. "Lain kali tanya-tanya dulu, dong."

"Yah, udah terlanjur. Nanti aja kalau mau pindah ke rumah sendiri kamu boleh memilih warna dinding sepuasmu."

"Kapan itu?"

"Enam bulan lagi, kalau tidak ada halangan."

"Yah, masih lama. Aku pusing dengan warna ini." Puput menjadi uring-uringan.

Jatah menoleh dengan mengangkat kedua alis. Hatinya menjadi mendongkol karena komentar Puput tersebut. Akan tetapi dia pendam saja kekesalan itu mengingat mereka baru saja melancarkan gencatan senjata setelah kegagalan penetrasi malam kemarin.

Dengan dibantu Asrul mereka menurunkan barang-barang Jata dan Puput yang tidak seberapa. Setelah menikmati kopi panas dan kue kering yang disuguhkan oleh Puput, Asrul pun meminta diri setelah sebelumnya mengucapkan selamat menempuh hidup baru di rumah yang baru. Tak lupa, sahabat Jata tersebut menitipkan pesan untuk selalu berhati-hati selama tinggal di rumah tersebut.

Asrul menyalami Puput sebelum meninggalkan rumah mereka. "Aku pulang, Ding," katanya. Ia baru tahu tangan puput begitu mungil dan lembut. Entah mengapa, genggamannya tak mau lepas. Matanya terpaku pada sepasang telaga bening yang saat ini begitu dekat.

"Iya, Kak Asrul. Hati - hati di jalan." Oh, suara itu mendesah merdu, menembus pertahanan Asrul!

Astaga, sedang apa aku? Sadar, Asrul, sadar! batin Asrul. Ia segera menarik tangan sebelum suami gadis itu curiga.

__________

[1] Mitos ini hanya rekaan penulis. 

Percobaan 44Where stories live. Discover now