48. Kunjungan Sang Petinggi

232 33 12
                                    


PUPUT mengurut tengkuk suaminya yang membungkuk dan tak henti-hentinya muntah. Seluruh isi perutnya terkuras. Sampai hanya keluar cairan kuning, muntahnya belum berhenti. Dioleskannya minyak gosok aroma terapi di leher dan dada lelaki itu.

"Minum, Kak." Puput menyodorkan air putih. Jata meneguknya dengan tergesa.

"Gimana, udah enakan?"

Suaminya, yang wajahnya telah memucat, mengangguk lemah.

"Tadi waktu belum tahu kok enak aja? Kenapa jadi sensitif begini, sih?" gerutu Puput. Dalam hati ia kecewa. Sup itu dimasak dengan sepenuh cinta. Mendapatkan bahannya saja tidak mudah. Bu Gani sampai bertanya sana-sini untuk memesan pada penjual yang tepat.

"Karena rasanya seperti...." Jata muntah kembali.

"Ayo, berbaring di kamar aja, Kak. Mau kopi?"

Jata mengangguk. Aroma kopi yang harum sepertinya bisa mengusir pikiran menjijikkan tentang torpedo dan biji pelir kambing. Ia membaringkan diri di kasur dengan posisi setengah duduk. Ketika kopi panas yang mengepul itu datang, perasaannya menjadi lebih baik.

"Kopinya kurang pahit, nggak?" tanya Puput.

"Cukup. Makasih."

Puput duduk di sisi dinding yang lain sambil mengawasi suaminya. Raut wajah prihatin itu membuat Jata iba.

"Makasih, ya. Kamu sudah susah-susah membuat sup buatku, tapi aku malah memuntahkan semuanya."

"Nggak papa. Lain kali kalau mau masak sesuatu yang aneh aku akan minta pendapatmu dulu."

"Sisa supnya gimana, Put?"

"Entahlah. Mungkin besok kuberikan Bu Gani buat makanan anjing."

Jata mengangguk lagi. Ia kembali menyeruput kopi.

"Kakak nggak kepingin makan? Perutnya kosong, kan?"

"Rasanya masih enek banget."

Mereka bertatapan sejenak. Waktu seolah berdetak mundur, kembali ke saat sebelum muntah-muntah terjadi, saat mereka berpangkuan di depan meja makan. Pijar-pijar membara itu muncul kembali di mata keduanya, menjalar ke hati, kemudian menggerakkan tangan untuk saling meraih.

Jata meraih tubuh mungil itu rebah ke dadanya. Puput tidak melawan. Pun tidak tegang seperti yang sudah-sudah. Matanya tetap menatap dengan binar membara. Bahkan napasnya mulai memburu.

Jata bisa merasakan tubuh mungil itu memanas. Demikian pula tubuhnya, turut membara. Sambil mengelus tubuh mungil itu, ia memeriksa sang adik. Betapa kecewanya, saat mendapati bagian menggembung di sela paha itu tetap lunak seperti pantat bayi.

"Si adik masih tidur?" tanya Puput dengan berhati-hati.

"Masih," desah Jata. Suaranya sungguh lemah dan mengandung kekecewaan yang besar. "Boleh dibantu, Put? Coba kamu pegang, siapa tahu bereaksi."

Puput menatap dengan setengah ngeri. "Kamu serius?"

Jata mengangguk. Dengan mengernyit menahan perasaan, tangan mungil Puput bergerak ke bawah secara perlahan. Jata mendesah dan memejamkan mata, berusaha merasakan sentuhan itu.

"Begini terasa?" tanya Puput.

Jata menggeleng.

"Aku sudah meremasnya, Kak."

"Hah? Kenapa aku nggak merasakan apa-apa?"

"Ini, coba Kakak lihat sendiri."

Jata bangkit duduk untuk melihat ke area di antara kedua pangkal paha. Memang benar tangan Puput ada di sana, tengah meremas si adik yang masih tertidur. Ia benar-benar heran karena tidak merasakan apa-apa. Tangan Puput seperti meremas milik orang lain.

Percobaan 44Where stories live. Discover now