58. Berbaikan

93 14 6
                                    


WARNING!

Apa yang ditulis di sini semuanya rekayasa. Jangan dibandingkan dengan keadaan di dunia nyata.

♡♡♡


"Itulah!" cetus Matias dengan nada frustrasi. "Papa tidak tahu, begitu pula para tetua itu. Yang bisa ngomong soal itu cuma Dehen. Dan dia bilang, buaya yang datang kemarin adalah prajurit pengintai."

Jata ngeri seketika. "Buaya 7 m itu cuma pengintai? Sebesar apa yang di atas itu?"

"Makin besar, makin tinggi tingkatannya. Panglima mereka bisa puluhan meter panjangnya. Bahkan bisa disebut naga. Jata, namamu itu, selain diartikan naga, juga bisa berarti dewa para buaya."

"Mereka mengintai apa? Kenapa mereka ke rumahku?"

"Entahlah. Tapi, kalau mendengar cerita Asrul tadi, buaya itu membantu mengusir kekuatan jahat yang menguasai Puput dan Asrul. Masih banyak misteri yang kita tidak tahu."

"Aku pusing, Pa!"

Matias merogoh kantung celana. Dari sana ia mengeluarkan sebuah benda kecil. "Ini titipan dari para tetua buatmu."

"Apa itu?"

Matias tidak menjawab. Ia juga tidak suka memberikan benda itu kepada anaknya. "Pakai saja. Siapa tahu bisa menghilangkan impotensimu."

Wajah Jata langsung menegang. "Nggak! Aku nggak mau coba-coba hal-hal begituan!"

Matias melebarkan mata sehingga semua manik matanya terlihat. "Kamu lebih suka impoten permanen?"

Jata tidak bisa menjawab. Dalam hati ia tetap tidak mau menerima benda itu.

♡♡♡

Setelah berpesan untuk bicara baik-baik dengan Puput, Matias dan Maria meninggalkan Jata dan menantunya di rumah sakit untuk beristirahat di hotel.

Infus Puput telah dilepas dan sebenarnya sudah diperbolehkan pulang. Namun, karena harus menunggu Jata untuk keputusan tindakan pada selaput daranya, Puput masih diperbolehkan menginap satu malam lagi. Gadis itu benar-benar tertekan saat suaminya datang. Didiamkan sehari semalam oleh suami sendiri terasa sangat menyakitkan.

Jata menutup pintu kamar setelah mengantarkan ayah dan ibunya ke luar. Matanya segera tertumbuk pada mata Puput. Gadis itu duduk bersila di kasur dengan tatapan merana. Akan tetapi, ia masih sakit hati. Setiap mengingat peristiwa kemarin, rasanya malas berbicara dengan gadis itu. Bukan dirinya yang dicintai Puput, benar? Apa kata Asrul tadi, Puput aktif menjamah, bahkan mencium dengan ganas? Istrinya membuka celana Asrul dan hendak menjilat barangnya? Astaga! Ia tidak pernah mendapat perlakuan sehebat itu dari Puput.

Jata segera menghindar dari tatapan Puput dengan mengambil minuman kemasan dan duduk di sofa.

"Kak Jata," panggil Puput lirih. Beberapa waktu tidak ada jawaban. Hati Puput menciut. Bagaimana menghadapi suami yang mengambek parah begini?

"Kak Jata," panggilnya sekali lagi. Jata melirik pun tidak, apalagi menjawab. Puput lemas. "Aku minta maaf, Kak," bisiknya dengan suara bergetar memilukan. Air mata meleleh dengan sendirinya.

Jata pun jatuh iba. Mendiamkan seseorang bukanlah sifatnya. Dipandangnya gadis yang sekarang duduk sesenggukan sambil menatap jendela. Ia juga ingat pesan sang ayah untuk berbicara baik-baik dengan Puput agar tahu perasaan gadis itu yang sebenarnya.

"Kalau suami istri berselisih, jangan saling mendiamkan, harus banyak-banyak ngomong. Ko-mu-ni-ka-si!" Kata-kata sang ayah terngiang kembali.

"Yang diomongkan jangan logika pembelaan diri. Ngomonglah perasaanmu. Ingat pe-ra-sa-an-mu!" Kadang Matias memang mirip guru SD yang nyinyir, tapi kata-katanya memang tidak asal-asalan.

Perasaan? Sulit sekali berbicara perasaan. Marah itu gampang, tinggal semprot atau memaki-maki. Mengaku cinta juga gampang, tinggal bilang "I love you." Akan tetapi, menyatakan apa yang dirasa saat kondisi bersitegang begini, sungguh aneh. Apa perasaannya saat ini? Kesal, sedih, kecewa, marah, merasa dikhianati? Astaga, baru mengiventarisasi saja sudah terasa bagai perempuan.

"Put," panggilnya. Lidahnya tiba-tiba menebal, sulit diajak melafalkan kata-kata. Otaknya pun berhenti berputar, enggan memproses kalimat.

Puput menoleh dengan kedua pipi basah. Tangan mungilnya mengelap pipi untuk mengeringkan air mata. Entah mengapa, tatapan mendamba sekaligus merana itu membuat hatinya tidak yakin bahwa gadis itu benar-benar jatuh cinta pada Asrul.

"Put, aku ... aku kecewa banget waktu tahu kamu suka sama Asrul," ujarnya. Jebol sudah pertahannya. Aneh. Setelah mengatakan itu, ia merasa lebih lega. Seperti membuka diri seutuhnya.

Sejenak ia terdiam karena tidak tahu apa yang harus dikatakan. Puput memandang dengan heran bercampur sedih. Lidahnya ikut kelu, tak bisa berkata-kata.

Jata masih merasakan ada perasaan lain yang menyeruak ingin keluar. "Aku merasa ... kamu ninggalin aku. Aku merasa sudah tak berharga di matamu."

Kata-kata itu meluncur begitu saja. Ternyata Puput sangat tersentuh dengan pernyataan itu. Jata tampak berbeda saat ini. Rasa terluka dan tak berdaya yang dipancarkan melalui kata-kata itu membuat rasa sayangnya meletup.

"Kamu orang paling berharga buatku, Kak Jata," tangis Puput. "Aku nggak ninggalin kamu, Kak. Sama sekali nggak ada pikiran untuk itu!" Mata Puput meredup. "Aku tahu aku salah. Aku minta maaf. Aku nggak tahu kenapa kemarin bisa begitu. Kejadiannya tiba-tiba. Tahu-tahu aku deg-degan saat dekat dia. Aku benar-benar istri yang tidak berguna."

Jata menelan ludah. "Kamu memang suka dengan dia, Put? Katakan saja, aku akan terima apa pun."

Puput menggeleng. "Aku ... aku merasa bodoh sekarang, Kak, kok bisa sekonyol itu?"

Jata menatap istrinya dengan teliti. Ia tidak merasakan kebohongan di dalam kata-kata itu. "Kamu boleh jujur, Put. Kalau sekarang ada Asrul di sini, siapa yang kamu pilih?"

Puput menatap dengan tatapan terluka. "Pertanyaanmu itu bikin hatiku sakit banget, Kak."

"Put, aku ingin kamu jujur dengan perasaanmu. Kalau Asrul ada di sini, siapa yang lebih kamu sukai?"

Puput menggeleng. Mata bening itu menatap dengan teguh. "Aku tidak mau memilih lagi. Aku sudah memberikan hatiku buatmu, Kak Jata." Mata itu berbinar indah sesaat, lalu kembali meredup. "Itu kalau kamu masih menerima aku," gumamnya lirih, kemudian tertunduk mengamati jemari yang saling ditautkan.

Jata terharu. Istri mungil yang terlihat rapuh itu ternyata bisa berkata-kata setegas itu. Ia sudah ingin menghambur memeluknya, namun sebuah pertanyaan membuat niat itu urung.

"Put, jujurlah, apa yang kalian lakukan saat itu? Aku perlu tahu karena keteranganmu akan berpengaruh pada tindakan selanjutnya pada Asrul."

Puput kembali terisak. "Aku ... aku merasa kotor sekali." Tangannya menutup mulut. Walau samar, ia masih merasakan bagaimana bibirnya menempel dan membekukan mulut Asrul. Ia bahkan menarik celana lelaki itu tanpa ampun.

"Put? Jangan takut. Aku percaya kamu, kok. Jujur saja."

"Baiklah, Kak. Aku akan ceritakan lengkap semua yang aku ingat. Ada yang cuma samar-samar. Ada yang aku ingat jelas."

☆-Bersambung-☆

Harap meninggalkan jejak berupa follow, vote, komen, dan share. Tindakan kecil bagi Sobat Pembaca, tapi mood booster buat Fura.

Makasiiih 😘😘😘

Percobaan 44Where stories live. Discover now