Mandi

1.1K 45 1
                                    

Pagi itu Jata bangun dengan lebih segar. Matahari telah tinggi. Jalan di depan hotel telah menunjukkan keramaian. Begitu pula pantai Jimbaran, telah ramai dikunjungi wisatawan yang menikmati matahari terbit.

Jata melihat jam di ponsel. Waktu telah menunjukkan pukul delapan. Puput mengurusnya dengan baik. Sarapan pagi telah tersedia di kamar. Sepiring nasi goreng, telur, sosis, dan kopi tertata rapi di atas meja kecil.

"Makan, Kak?" tanya istrinya yang telah mandi dan wangi.

"Ehm, ya. Tapi nanti."

"Kamu suka menu ini? Atau mau yang lain? Aku bisa carikan."

Jata menggeleng. "Cukup itu saja."

"Udah enakan?"

Jata mengangguk. Diamatinya Puput yang duduk bersandar kepala kasur sambil menonton televisi. Tiba-tiba timbul rasa iseng. "Aku mau mandi."

"Makan dulu aja, nanti sarapannya dingin."

"Nggak enak sarapan belum mandi." Jata bangkit dan ikut duduk. Disandarkannya tubuh ke badan Puput. "Aku mau dimandiin," bisiknya dengan wajah jenaka.

Mata indah Puput kontan mendelik. Dia tidak bergerak sama sekali. "Kak Jata, Kakak bukan bayi. Buat apa dimandiin?"

"Mandiin!"

Puput melengos. Tangannya mengambil remote TV lalu memencet-mencet tidak karuan.

"Put! Mandiin!"

"Nggak!"

"Put! Ayolaaaah?"

"Engggaaakkk!"

Jata bergerak ke samping, sengaja berada di atas istrinya. Tubuh mungil itu segera tertutup oleh tubuhnya. Wajah Puput menegang karena cemas.

"Mandiin, atau ...," ancam Jata.

"Kak Jata! Kamu ini apa-apaan, sih?"

"Atau ...." Jata mendekatkan wajah ke wajah istrinya hingga embusan napas mereka terasa.

"Atau apa?" desis Puput. Matanya melebar karena ngeri.

"Atau kucium kamu sampai sesak napas!" Sesudah itu Jata mengarahkan bibir ke bibir istrinya.

Diserang seperti itu, Puput gelagapan. "Iya, iya. Aku mandiin! Minggir, aku mau berdiri!"

Jata bergeser sedikit untuk meloloskan sang istri yang bergerak cepat keluar kasur. Ia turut bangkit. Namun dering telepon menghentikan gerakannya.

"Iya, ada apa, Win?" Jata agak malas menerima telepon dari kantor di saat sedang cuti seperti ini.

"Wah, yang baru bulan madu, ditelepon pagi-pagi jawabnya dingin. Aku mengganggu?" Suara itu milik Wina, rekan sekantor namun beda bagian, yang berderai renyah seperti biasa.

"Iya, mengganggu banget. Ada apa?" Jata sebenarnya kurang nyaman berkomunikasi dengan Wina, terlebih setelah menikah. Perempuan itu adalah cinta pertama yang kandas. Tanpa sengaja mereka malah dipertemukan kembali dalam satu kantor. Wina adalah staf administrasi di PLTA Riam Kanan, sedangkan dirinya adalah engineer. Wina saat ini tengah bermasalah dengan suaminya. Kabar burung mengatakan mereka telah pisah rumah berbulan-bulan.

"Aku cuma mau ngingetin kamu, jangan lupa membawa berkas-berkas istrimu buat melengkapi file kepegawaian. Daftarnya udah aku WA, ya."

"Iya. Aku udah baca."

"Cuma dibaca doang, nggak dibalas." Suara itu setengah merajuk. Inilah yang membuat Jata jengah.

"Kamu butuh berkas atau balasan WA?"

"Hih! Galak banget! Kamu nggak berubah sejak dulu! Ya udah, aku tahu diri, kok. Selamat berbulan madu. Semoga berbahagia selalu. Salam buat istrimu."

Jata meletakkan telepon lalu memandang Puput yang berdiri menunggu. "Itu tadi Wina, Staf administrasi. Dia nanyain berkas-berkasmu," jelas Jata.

"Yang kemarin itu aja, kan? Udah siap semua."

Jata tercenung. Telepon Wina membuat pikirannya melayang ke tugas dan tanggung jawabnya di salah satu pembangkit listrik untuk Kalimantan Tengah dan Selatan itu. Belakangan ini kemampuan produksi listriknya terus menurun. Sebagai petugas yang bertanggung jawab terhadap generator pembangkit listrik, hal itu sangat merisaukan. Itulah mengapa ia malas menerima telepon dari kantor. Masa iya, bulan madu sambil memikirkan pekerjaan, sedangkan sampai saat ini tugas maha pentingnya sebagai suami pun tak kunjung terlaksana?

"Wina itu kenapa, sih, sampai bikin kamu bengong begitu?" Perkataan tajam Puput langsung berkumandang mengagetkan suaminya.

Diam-diam Jata mengagumi naluri perempuan. Puput bisa mendeteksi hal sehalus itu? Luar biasa. "Wina itu mantan yang aku ceritakan dulu, Put," jawabnya santai.

Mata Puput melebar. "Mantanmu ternyata satu kantor, Kak?"

Jata sontak tertawa. "Kamu cemburu?"

Puput melengos sambil mendengkus.

"Kalau mau sama dia sudah dari dulu aku menikah, Put, nggak perlu mengejar kamu yang jauhnya minta ampun." Jata tidak berbohong. Sebelum akhirnya jadian dengan Kania, Wina sempat mengajak menjalin hubungan kembali. Jata menolak mentah-mentah. Harga dirinya sebagai lelaki yang telah ditinggal selingkuh tidak membiarkan dirinya jatuh ke perempuan yang sama untuk kedua kali. "Nggak perlu merengut begitu. Wina sudah punya suami."

"Selingkuh itu nggak perlu status menikah atau enggak, Kak. Selingkuh ya selingkuh aja." Mulut pedas Puput mulai beraksi.

Jata malas menanggapi. Ia cuma cengar-cengir melihat istrinya gelisah.

"Kak Jata! Aku serius!"

"Loh, aku juga serius! Kamu mau bukti? Ayo, sini!" Jata menepuk kasur di sebelahnya.

Wajah Puput sontak memucat. Perkataan Jata menohok langsung ke kelemahannya. Matanya mulai memerah.

Jata menjadi iba. "Udah, jangan menangis." Tubuh besarnya langsung memberikan ketenangan dengan membenamkan Puput dalam pelukan. "Aku sayang kamu, Put. Aku nggak keberatan menunggu kamu siap, biar sampai kapan pun."

"Aku minta maaf, Kak," bisik Puput dengan nada yang memilukan.

"Ssssh!" Jata mengelus punggung istrinya dengan sayang. "Sekarang aku mau manja sama kamu, boleh?"

Puput mendongak, menatap mata lembut suaminya. Seketika hatinya menjadi tenang. Ia mengangguk kecil. "Boleh. Apa, Kak?"

"Mandiin!"

=== TBC ===

Percobaan 44Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang