49. Godaan Asrul

273 32 6
                                    


Sepulang dari mengantar durian, Asrul masih terkenang-kenang dengan sosok Puput. Tangan lentik yang melambai serta aroma harum yang khas masih teringat dengan jelas. Ia sekarang mengerti mengapa Jata bisa jatuh cinta hanya dengan melihat fotonya. Gadis cantik di luar sana memang banyak. Akan tetapi, Puput memancarkan pesona yang langsung menabuh sekat-sekat hati.

Jangan, Asrul. Dia istri teman dekatmu sendiri. Jata bisa menghajarmu kalau kamu berani main-main dengan Puput.

Ingatan Asrul langsung menayangkan wajah Jata yang muram beberapa hari terakhir. Ia tidak yakin apa yang menyebabkan lelaki itu kesal, namun sikapnya seperti siap untuk berkelahi kapan saja. Asrul bergidik. Tubuh tinggi besar itu sangat mampu untuk mematahkan tulang-tulangnya dengan sekali gerak.

Asrul pergi ke kamar mandi untuk menyiram kepala yang memanas.  Sesudah itu, ia membaringkan diri di kasur dan terlelap.

Sungguh malang. Puput justru muncul dalam mimpi. Gadis itu terlihat mengenakan blus biru muda dan rok dengan warna senada. Kulit Puput yang putih terlihat semakin bersih dengan warna baju yang cerah itu.

Rupanya mereka bertemu di warung makan Pak Sadi di Desa Tiwingan. Puput duduk di salah satu bangku di teras belakang yang menghadap ke bukit Matang Kaladan dan Waduk Riam Kanan. Angin mengibarkan rambut yang lurus panjang, menampilkan lekuk leher yang putih dan indah. Mata lebar berbulu mata lentik itu, dari samping  terlihat membiaskan cahaya sehingga manik matanya menjadi kecokelatan. Asrul seketika menelan ludah.

Puput menoleh. Ia tersenyum mendapati siapa yang datang. Tanpa basa-basi, ditariknya tangan Asrul sehingga lelaki itu nyaris jantungan karena hasrat yang meletup tiba-tiba. Ia mendudukkan Asrul di bangku yang diduduki tadi, lalu tanpa malu-malu merapat di sisinya.

Asrul seketika melayang. Tanpa bisa dicegah, tangannya meraih pinggang perempuan mungil itu dan merapatkan tubuhnya sendiri. Aroma khas Puput segera tercium. Asrul memejamkan mata. Teras itu pun menjadi milik berdua. Mereka tertawa, saling sentuh, hingga rebah ke lantai kayu begitu saja. Puput mendorong bahu Asrul hingga lelaki itu rebah. Ia merayap naik ke tubuh lelaki itu.

Napas Asrul memburu. Alih-alih menghindar, ia justru memejamkan mata untuk menikmati. Tahu-tahu semuanya menjadi indah. Ia seperti dilempar ke atas, lalu terjun ke bawah untuk dibawa kembali membubung ke angkasa. Desirannya sangat terasa. Asrul memekik saat mencapai puncak.

Deg.

Asrul terbangun karena teriakannya sendiri. Matanya langsung menghadap langit-langit kamar. Dan, ia nyaris mati karena kaget. Pandangan matanya tertumbuk pada sosok hitam berambut panjang yang berada tepat di atas wajahnya.  Ia juga merasakan perutnya ditindih.

Asrul ingin bangkit dan melarikan diri. Apa daya tubuhnya kaku. Tangan dan kaki itu seperti dipaku ke ranjang. Berteriak pun ia tak mampu. Mulutnya terbuka, namun tenggorokannya tersumbat sehingga untuk bernapas pun sulit. Belum sempat berbuat yang lain, makhluk itu membuka mata. Sepasang mata merah menyala langsung menusuk pandangan Asrul. Dengan sekuat tenaga, Asrul berontak. Akhirnya ia bisa berteriak.

Lampu kamar menyala. Sinar terang itu membuat mata pemuda itu silau.

"Srul? Kenapa kamu?" Ibu Asrul telah berdiri di ambang pintu dan menekan tombol lampu.

Makhluk itu lenyap tanpa bekas. Asrul tergagap. "M-ma?"

Perempuan kurus yang telah usianya telah mencapai kepala lima itu mendekat. Matanya langsung menyipit dan telunjuknya menuding celana sang anak. "Kamu mimpi apa sampai teriak-teriak keenakan gitu?"

"Keenakan?" desah Asrul dengan suara parau. Matanya mengikuti arah telunjuk sang ibu. Tangannya tanpa sadar meraba gundukan di antara kedua paha. Matanya terbelalak seketika. Astaga! Ia tidak hanya bermimpi basah, melainkan juga kencing di celana!

☆☆☆

Pagi itu Jata berjalan menuju powerhouse di samping bendungan. Belum sempat mencapai tempat yang dituju, Asrul sudah mencegatnya di jalan.

"Bro! Enak nggak duriannya?" sapa pemuda itu dengan senyum ramahnya yang khas.

Jata hanya mendesah dengan muka masam. "Belum sempat makan."

"Loh, kenapa? Bukannya kamu hobi durian?"

"Kemarin aku muntah-muntah."

"Loh, sakit apa kamu?"

"Ah! Sakit stres!"

Asrul terdiam. Agaknya Jata tengah mengalami masa-masa buruk.

"Ngapain pagi-pagi ke sini?" tanya Jata.

"Aku mau ngomong sesuatu. Kamu ada waktu?"

Jata menyilangkan kedua lengan di depan dada. Entah mengapa segumpal kekesalan mengganjal di dalam dada. "Hm."

"Bro, aku lihat kamu dan Wina di bendungan kemarin. Aku cuma mau ngingatin aja. Jangan tersinggung. Teman Wina itu bukan orang baik-baik. Memang dia dukun terkenal. Tapi, dia bisa melakukan apa saja. Termasuk membuat orang bercerai kemudian menikah dengan orang lain sesuai permintaan."

Jata membuang muka dan merapatkan rahang. "Aku tahu. Makanya aku malas ketemu dia."

"Tapi kamu dekat banget sama Wina."

Mata Jata bergulir untuk menghindar dari tatapan Asrul. "Aku nggak berniat begitu. Dia aja yang tahu-tahu nyosor."

"Hati-hati, jangan sampai kamu kena pelet," saran Asrul. Ia benar-benar hanya ingin mengingatkan, tanpa bermaksud lain.

Jata tertawa. Andai saja masalahnya cuma sekadar pelet, katanya dalam hati.

"Ya udah, kalau begitu aku pergi dulu," kata Asrul. Dalam hati, ia kecewa cuma ditanggapi dengan tertawa.

"Tunggu! Kamu kemarin ke rumah kan? Ngomong apa aja sama Puput?" Tatapan Jata tiba - tiba berubah serius.

Kening Asrul berkerut. "Nggak ngomong apa-apa. Kenapa?"

Jata mengangkat bahu, lalu berlalu meninggalkan Asrul yang terpaku. Semenjak menikah, tingkah laku Jata semakin aneh. Adakah sesuatu telah terjadi dalam rumah tangga sahabatnya itu?

☆☆☆

Jata merasa badannya tidak seperti dulu. Semenjak didatangi ketiga makhluk bertanduk itu, ia mudah lelah. Nafsu makannya menurun drastis. Ia masih saja muntah setiap mengingat torpedo dan pelir kambing. Bahkan hanya melihat  kambing jantan saja ia mual. Walau sudah dua minggu tidak pernah berpindah tidur tanpa sadar, tidak mencium bau dan melihat sesuatu tanpa wujud, bukan berarti hidupnya sudah sejahtera. Kata Puput, tidurnya tidak tenang, mengigau hampir setiap malam. Dan, jangan lupakan si adik yang telah koma berminggu-minggu.

Jata harus menghadapi Wina siang itu. Tidak puas dengan menelepon, perempuan itu mendatangi kantornya.

"Aku nggak terima kamu begitu!" Tanpa pembukaan, Wina langsung mengamuk.

Jata cuma berdecak dan membuang pandangan ke arah lain.

"Jata! Tolong jelaskan padaku kenapa kamu menolak?"

"Aku nggak ingin melakukannya," jawab Jata singkat.

Wina menatap nanar. Kalau sudah menggunakan kalimat pendek untuk menolak, itu pertanda Jata tidak mau dibujuk. Namun, bukan Wina kalau menyerah begitu saja. "Baiklah," katanya melunak. "Paling tidak, beri aku alasan yang lebih detail."

"Istriku tidak mengizinkan."

Perkataan Jata itu langsung membuat Wina terperangah. "Katamu tidak mau diketahui istri, kok malah meminta izin?"

"Terlanjur. Istriku tahu tentang pertemuan kita di bendungan. Dia juga tahu kamu memegang tanganku."

"Kok bisa?"

"Iya, bisa saja. Karena kamu melakukannya di depan orang banyak. Salah satu dari mereka pasti memberi tahu Puput."

"Tapi Jata, siapa yang mengenal Puput demikian dekat hingga bisa mengadukan masalah itu? Coba kamu ingat-ingat siapa orang yang dekat Puput yang waktu itu berada di sana?"


☆-Bersambung-☆

Yuk kita karantina aja si Wina ini....

Percobaan 44Where stories live. Discover now