12. Kurapan?

848 46 2
                                    


Malam ini adalah malam terakhir kunjungan Jata dan Puput di Pangkalan Bun. Besok mereka harus terbang ke Banjar Baru. Lusa, Jata sudah masuk kerja. Praktis liburan bulan madu mereka tinggal malam ini.

Sendirian di kamar, Jata mengamati catatan di notes ponselnya.

Percobaan ke-13 gagal karena kurang foreplay.

Jata menerawang ke langit-langit. Sebenarnya ia menyesal berkonsultasi dengan ayahnya. Sekarang setiap pagi lelaki kerempeng itu mengecek keberhasilan semalam. Sudah tentu hanya kabar mengecewakan yang dapat ia berikan.

"Jangan langsung sergap, ajak ngobrol dulu," saran Matias. "Kamu harus belajar merayu. Perempuan itu suka digombali."

"Merayu gimana, Pa?"

"Apa aja, yang penting menggombal."

"Contohnya?"

"Puput, kamu manis banget sampai aku diabetes."

"Ha?" Jata nyengir lebar. Bisa juga ayahnya ini.

"Puput, kenapa kamar ini terang sekali, ya? Oh, itu karena cahaya wajahmu yang menerangi hatiku!"

Sontak Jata terbahak. "Mempan yang begituan buat Mama?"

Matias mengangkat kedua jempolnya.

"Payah benar selera Mama," cibir Jata.

"Hey! Terserah kamu mau bilang apa. Yang jelas Papa tokcer, nggak kayak kamu."

Rahang Jata langsung terkatup disekak seperti itu.

"Sana, tonton stand up comedy. Banyak tuh contoh rayuan gombal."

Tanpa banyak berpikir, Jata menonton acara melawak tunggal itu di ponsel. Harus diakui bahwa para komedian itu sangat kreatif. Segala hal bisa dijadikan rayuan. Saat belajar mengucapkan salah satu, ia benar-benar merasa bodoh. Rasanya seperti bukan jati dirinya. Entah bagaimana reaksi Puput bila mendengar itu. Barangkali mulut nyinyir istrinya tidak akan berhenti mencela.

Malam pun tiba, yang berarti kesempatan untuk percobaan ke-14 telah datang. Pangkalan Bun adalah kota kecil. Begitu lepas isya, suasana menjadi sepi. Suara binatang malam menggantikan deru kendaraan.

Sore tadi, ayahnya berpesan berkali-kali bahwa dirinya harus perlahan-lahan dan telaten, tidak boleh lepas kendali. Hubungan suami istri itu harus bisa menyenangkan kedua belah pihak. Kalau hanya suami saja yang puas, namanya pelampiasan nafsu, bukan hubungan saling mengasihi. Dia juga harus mengajak Puput bicara tentang ketakutannya. Dengan begitu, mereka berdua bisa mencari jalan keluar yang terbaik.

Jata ingin sekali berhasil kali ini. Untuk itu dirinya harus bisa bersabar. Jangan seperti yang sudah-sudah, kecewa lalu marah.

Setelah selesai makan malam, ia menggandeng istrinya ke kamar. Siang tadi, ia sengaja membeli pengharum ruangan baru sesuai anjuran ayahnya. Ia juga mengganti seprei dan selimut sehingga semuanya bersih dan harum. Kata ayahnya pula, wewangian dapat meningkatkan gairah seksual. Harapan untuk berhasil pun menggelembung setelah melakukan segala trik tersebut.

Dari luar, Puput sudah mulai was-was. Ia sebenarnya enggan mencoba sering-sering. Malangnya, Jata seakan tidak pernah kehabisan energi, terkadang bisa mendesaknya dua kali sehari. Paling minimal setiap malam suaminya itu mencoba meraba-raba tubuhnya. Melihat gelagat Jata saat ini, ia hampir pasti akan didesak lagi.

"Sini, Put," ajak Jata dengan menepuk kasur di sebelahnya.

Puput mendekat dengan awas. "Kak, aku belum siap kali ini. Besok kalau sudah di rumah kita gimana?"

Jata mulai meragukan segala saran sang ayah. Rupanya wewangian itu hanya mempan bagi ibunya, tidak bagi istrinya. "Sekarang aja," balasnya dingin.

"Tapi aku ...." Puput masih ingin mengelak.

Jata mendesis. Kejengkelannya terpicu begitu saja setelah mendengar penolakan Puput. Padahal ia tadi sudah berniat untuk bersabar. Rayuan gombal yang sudah dihapal siang tadi terbang begitu saja. "Aku cuma mau ngobrol. Jangan defensif dulu, ah!"

Kening berkerut dan tatapan tajam itu sontak membuat nyali Puput menciut. Tanpa bicara lagi ia merayap ke samping suaminya lalu duduk dengan berjarak. Tindakan itu semakin memicu kekesalan Jata.

Jata mendesis lagi. "Apa aku ini kurapan? Sini, duduk mempet aku!"

Buyar sudah niat untuk bicara baik-baik. Harga dirinya yang berbicara saat ini. Ditariknya pinggul Puput. Lengan kekarnya dapat menggeser tubuh mungil itu dengan sekali gerak.

Puput memandang dengan cemas. "Kak?" bisiknya. Jantungnya mulai terpacu dan keringat dingin membasahi tangan. Telah tiba waktu bagi Jata untuk kehilangan kesabaran. Begitulah isi benak Puput. Tak ada yang bisa dilakukan selain pasrah dalam pelukan Jata.

Melihat istri yang tegang ketakutan itu, dada Jata serasa mau meledak. Keinginan untuk bersabar menguap begitu saja entah ke mana. "Put, bisa nggak, sekali ini saja kamu menurut?" tukasnya dengan keras.

Jata kaget sendiri dengan nada suaranya yang menuntut. Tapi hatinya sudah tak tahan lagi. Bila tidak dituntut, apakah Puput akan menyerahkan diri dengan sukarela? Bukankah sudah menjadi hak suami untuk mendapat pelayanan istri di ranjang? Jangan lupa pula bahwa mereka pengantin baru. Masa pengantin sudah dua minggu cuma pelukan saja?

Puput menelan ludah. Tampaknya tak ada jalan untuk meloloskan diri kali ini. Jata telah menuntut haknya dengan keras, dan itu berarti ia harus memberikannya. Dengan tangan dingin dan gemetar halus, dibukanya kaus, lalu bra, lalu seluruh pakaian. Tubuh putih itu terbuka seluruhnya. Puput duduk bersimpuh di samping sang suami dengan membelakangi. Ia tidak sanggup menatap wajah Jata yang kini tampak bagai penguasa tiran yang tengah menagih pajak.

Puput mulai merasakan gerakan Jata dari belakang tubuhnya. Mula-mula di bahu, lalu pinggang, lalu ke depan. Tidak membutuhkan waktu lama hingga seluruh tubuhnya berada dalam rengkuhan lelaki itu. Sekarang Jata meningkatkan gerakan. Tidak hanya menggunakan tangan, bibirnya turut bergerak, menjelajah dengan bersemangat ke setiap jengkal kulit yang membuatnya mabuk. Bulu remang Puput berdiri setiap merasakan sentuhan-sentuhan itu.

=== TBC ===

Berhasil nggak yaaaaa?

Percobaan 44Where stories live. Discover now