47. Torpedo

298 29 5
                                    


"Nggak boleh!" Puput langsung mendelik sembari meletakkan sendok dengan keras. Kelembutan sang putri Jawa lenyap seketika. "Jangan main-main dengan dunia gaib, Kak!"

"Iya, besok kubatalkan," kata Jata. Ia senang mendapat alasan untuk menolak Wina esok. Bilang saja istrinya tahu dan marah, selesai. Rupanya ada gunanya juga takut istri. Pantas ayahnya kerap menggunakan kalimat itu untuk menolak mengikuti berbagai kegiatan. Laki-laki itu terkadang licik.

"Oh, aku baru ingat. Papa telepon lagi, nanyain kapan kita pindah rumah sementara."

Wajah Puput langsung mengerut. "Aku kan sudah bilang kemarin, buat apa kita pindah? Rumah ini nyaman walaupun sederhana. Kita mau pindah ke mana?"

"Aku akan mencari rumah kontrakan yang baru, yang lebih nyaman dan di tempat yang ramai. Lama-lama aku ngeri juga tinggal di tempat terpencil dan dekat hutan begini," alasan Jata.

"Aku nggak mau!" tegas Puput. Suaranya bernada tinggi. Jata sampai kaget mendengarnya. "Pokoknya aku nggak mau pindah!"

"Put, semua orang bilang, aku akan lebih sehat kalau pindah dari rumah ini. Bahkan ada yang bilang aku harus menjauh dari lingkungan Bendungan Riam Kanan. Papa sudah menyiapkan tempat untuk kita di Pangkalan Bun. Kalau kamu mau, aku akan mengurus pindah ke Pangkalan Bun."

"Aku nggak mau ke Pangkalan Bun!" Wajah Puput memerah dan tegang.

Jata keheranan dengan reaksi itu. Perubahan suasana hati Puput layaknya jet coaster saja, naik turun dengan tiba-tiba. Ia mulai berpikir, Puput pun perlu diajak konsultasi dengan psikiater. "Kenapa kamu nggak mau pindah?" tanyanya, berusaha selembut mungkin.

"Aku suka di sini! Aku nggak mau kemana-mana!"

"Kalau rumah kita di Banjarbaru jadi, kamu juga nggak mau pindah ke sana?"

"Nggak mau! Aku cuma mau di sini!"

Jata mulai curiga karena sikap aneh itu. Ia ingin bertanya lebih lanjut. Namun, melihat wajah Puput telah merah padam, ia mengalah.

"Ya udah. Kalau nggak mau pindah nggak papa. Tapi jangan sewot begitu, dong? Aku jadi takut. Wajah cantikmu luntur."

Wajah Puput mulai mengendur. Senyumnya terulas kembali. "Sup sumsum kambingnya sudah bereaksi, Kak?"

Jata keheranan. Baru kali ini istrinya menanyakan si adik dengan serius.

Puput mengamati suaminya dengan teliti. Upaya kerasnya untuk menyediakan sup tersebut semoga membuahkan hasil.

"Sudah bereaksi atau belum, Kak Jata? Kok malah nggak mau ngomong?"

Jata mendengkus. "Bukan nggak mau ngomong, Put. Aku nggak sanggup ngomong. Kamu tahu rasanya?"

Puput menggeleng. "Bagaimana rasanya?"

Jata juga menggeleng. Rasanya dunia seakan runtuh, Put. Aku seperti tidak berguna banget.

"Nggak papa. Apa pun hasilnya, jangan berhenti berusaha," saran Puput dengan penuh pengertian.

Jata menatap haru. Dibalik kejudesannya, ternyata Puput bisa pengertian. Entah apa jadinya bila istrinya adalah Wina. Barangkali ia akan ditertawakan habis-habisan atau ditinggal pergi dengan lelaki lain.

"Kok malah bengong? Aku salah ngomong?"

Jata meletakkan sendok. "Nggak, Put, kamu nggak salah ngomong. Justru kamu ngomong yang benar sekali. Sampai aku semakin kagum padamu."

Puput tersenyum manis. Dengan bibir mungil ranum ia berkata, "Rayuanmu gombal banget, deh."

Jata tidak menjawab. Debaran jantungnya mendadak kencang dan tak beraturan.

Percobaan 44Where stories live. Discover now