53. Petaka

214 26 18
                                    


ASRUL kelabakan. Sekarang ia yakin tengah menghadapi sesuatu yang lebih mengerikan dari sekadar perselingkuhan biasa. Diam-diam ia menyesal. Andai tadi tidak mencoba - coba bermain api ....

"Put! Put! Udah, Put! Jangan diteruskan. Ini nggak bener!" Teriak Asrul seraya berusaha membebaskan wajah dari pegangan tangan Puput.

Puput tak menghiraukan. Bibirnya kini sudah membungkam bibir Asrul yang beraroma nikotin itu. Lidahnya sudah menjelajah, menguasai, dan menjajah apa saja yang ada di dalam mulut lelaki itu.

"Hmmmffhh!" Asrul melawan. Ingin digigitnya lidah liar itu. Apa daya cengkeraman tangan Puput di kedua pipi membuat rahangnya terkunci dalam keadaan terbuka. Ia tidak lagi merasakan kenikmatan, melainkan rasa nyeri yang mendera seluruh tubuh.

Asrul melawan dengan sekuat tenaga. Tangannya mendorong, memukul, serta menarik. Kakinya menyepak-nyepak. Semuanya sia-sia. Tenaganya seperti tersedot habis. Tak perlu waktu lama untuk membuatnya lemas. Ketika Puput melepaskan pagutan dan menyeringai menyeramkan, ia sudah tak sanggup berdiri. Tubuhnya ambruk begitu saja ke lantai.

Puput memburunya ke lantai. Tubuh mungil dengan dada setengah terbuka itu kini membungkuk di atas badan Asrul yang telah tak berdaya. Dengan sekali sentak, celana Asrul ditarik lepas, begitu pula celana dalamnya.

"Aaa-sruul ...!" Desah misterius yang menyeramkan itu terdengar kembali.

Mata tajam Puput menatap lurus ke mata Asrul. Saat itulah Asrul menyadari hal lain. Mata itu menyala!

Ketakutan melanda Asrul. Puput, atau entah siapa itu, kini surut ke arah kaki. Wajahnya mengarah ke si adik yang telah berdiri akibat remasan-remasan tadi. Tiba-tiba mulut mungil itu melebar, mengeluarkan sebuah lidah yang merah, besar, dan dua kali lipat panjang lidah biasa. Lidah berliur menetes-netes itu menjulur ke arah alat vitalnya. Asrul ingin menjerit dan meronta, tapi seluruh tubuhnya seolah membeku.

Lidah itu kini nyaris menyentuh alatnya. Asrul dapat merasakan air liur membasahi alat vitalnya yang membuatnya berdenyut sangat keras hingga terasa nyeri. Makhluk berwujud Puput itu mendesah dan menyeringai, menunjukkan dua gigi taring yang panjang dan tajam. Asrul berteriak dengan ngeri yang memuncak, namun suaranya tertahan di tenggorokan.

Entah dari mana asalnya, tiba-tiba sesuatu yang berwarna gelap kehitaman dan sangat besar melayang di atas tubuh Asrul dan menerjang Puput. Gadis itu terpelanting ke belakang dengan suara teriakan nyaring yang memekakkan telinga. Sesosok makhluk terpisah dari tubuh Puput akibat benturan itu, lalu terlempar keluar teras. Bentuknya berupa perempuan bertanduk yang mengenakan baju serba hitam. Sedangkan tubuh Puput tergeletak tak bergerak di lantai.

Makhluk besar itu melompat turun ke halaman belakang. Ia memburu perempuan bertanduk tadi. Sosok itu dengan cepat bangkit dan melesat menuju hutan.

Makhluk besar—yang ternyata berbentuk buaya raksasa—itu mengejar dan sempat menangkapnya, namun sosok perempuan itu memukul dan berhasil meloloskan diri ke hutan. Buaya itu mengejar, namun tiba-tiba ia berhenti di dekat pagar. Ada sesuatu yang membuatnya tidak ingin melampaui pagar tersebut.

Asrul dapat belum pernah buaya yang besarnya luar biasa. Panjangnya sekitar tujuh meter. Sisik di tubuhnya mengilap. Buaya itu menoleh padanya, memperlihatkan moncong yang terbuka dan mata yang berkilau kebiruan. Sesudah itu, ia meluncur dengan cepat ke samping rumah, meloncat ke udara, lalu lenyap tanpa bekas.

Asrul terpaku di tempat karena kaget. Perlu beberapa detik untuk memulihkan nalar. Begitu rasa kagetnya reda, Asrul berusaha bangkit. Rasa ngilu yang luar biasa mendera tubuh. Ia ingin mendatangi Puput yang terkapar tak sadarkan diri. Gerakannya terhenti karena kakinya tertahan celana panjang yang tidak sempurna terlepas. Dengan cepat, ditariknya celana itu. Malang, kancing dan ritsletingnya rusak. Akhirnya dengan celana terbuka itu ia mendatangi Puput.

"Put! Put!" Ditepuk-tepuknya pipi gadis itu dengan kalut. Darah mengalir dari kening. Ia agak lega karena Puput masih bernapas. Disusupkannya kedua tangan ke bawah badan gadis itu, berniat untuk menggendongnya ke dalam dan membaringkannya di kasur. Baru setengah jalan tangan itu menyusup, kepalanya dihantam dari samping hingga ia tersungkur. Tubuhnya pun dihantam dengan keras sebelum sempat melihat sang penyerang. Tanpa ampun, ia terpelanting melampaui teras dan mendarat dengan keras di hamparan rumput.

Mata Asrul seketika berkunang karena kepalanyaterbentur tanah. Dengan menggapai-gapai, ia berusaha menegakkan tubuh. Setelahmengerahkan seluruh tenaga, akhirnya ia bisa duduk. Matanya segera mengarah keteras. Di sana, ia melihat Jata berjalan sambil menggendong istrinya.

☘☘☘

Jata pulang begitu masalah sinkronisasi generator selesai. Ia heran menemukan pintu depan terbuka dan sepeda motor Asrul masih terparkir di halaman. Benarkah Asrul harus selama itu bertamu padahal hanya mengantar ikan? Apakah lelaki itu sengaja menunggu ia datang untuk membicarakan sesuatu? Jata segera menepis pikiran buruk yang tiba-tiba bersemi. Seharusnya ia bersyukur Asrul datang. Dengan demikian ada yang memastikan istrinya baik-baik saja.

Jata masuk ke rumah dan semakin terheran. Ruang tamu itu kosong, begitu pula ruang tengah. Ia malah mendapati angin berembus dari arah pintu dapur yang terbuka. Dengan perasaan yang mulai tidak enak, ia pergi ke dapur.

Tidak ada siapa-siapa di sana. Semuanya sunyi. Saat menoleh ke arah pintu ke teras, akalnya langsung hilang. Apa yang terlihat sungguh mengagetkan. Asrul, sahabatnya, tengah membungkuk di samping istrinya yang tergolek tak bergerak. Celana lelaki itu terbuka. Torpedonya masih menyembul dari balik celana dalam. Demikian juga istrinya, bagian depan dadanya terbuka.

Apa yang terpikirkan oleh seorang suami yang mendapati lelaki lain dengan celana terbuka berada di samping tubuh istri yang juga terbuka? Pantas saja dirinya begitu ingin pulang. Ia bahkan mengebut untuk sampai secepatnya. Ternyata firasat itu tidak meleset.

Dengan amarah di dada, ia mendekat. Matanya terbelalak mendapati wajah Puput berlumuran darah. Hilang sudah kontrol diri. Tinju melayang diikuti dengan tendangan. Tubuh Asrul yang tak siap menghadapi serangan seketika terlempar ke halaman.

Puput menggeliat saat Jata menyusupkan tangan ke bawah punggung. Kepalanya terasa pening. Ada cairan hangat meleleh di wajah. Refleks, tangannya menyentuh daerah itu dan melihat cairan yang menempel di jari. Matanya terbelalak saat tahu itu darah.

"Kak Jata?" desah gadis itu. Bibirnya pucat dan matanya ketakutan. "Kak?"

"Sssh. Nggak papa. Kamu aman sekarang."

Puput lemas dalam gendongan Jata. Ia hanya mengingat samar-samar kejadian sebelumnya. Yang ia ingat dengan jelas adalah saat menunggui Asrul membersihkan ikan lalu menerima baskom berisi daging dan telur ikan yang sudah dibersihkan. Sesudah itu semuanya bagai terjadi dalam mimpi. Oh, ia begitu ingin menangis saat ini.

Tangisnya ini, entah tangis karena apa. Ada perasaan sedih yang sangat, seperti kehilangan sesuatu yang sangat besar. Ada rasa putus asa yang melumpuhkan. Dan ada kekecewaan mendalam yang ia sendiri tidak mengerti penyebabnya. Seperti ada yang meremukkan tubuh dari dalam. Dibenamkannya wajah di dada Jata yang bidang dan hangat. Ia menemukan ketenangan di sana.

Jata menggendong Puput ke mobil. Dengan tergesa, dibukanya pintu lalu mendudukkan istrinya di jok dan memasang sabuk pengaman.

"Kaak!" Puput tersedu, enggan melepaskan lengan dari leher suaminya.

"Sssh. Tenang, tenang. Kita ke rumah sakit." Ia mengambil saputangan, lalu menekan luka di kepala Puput. "Tekan begini," instruksinya kepada Puput.

☆-Bersambung-☆

Komen, pleaseee ....

Percobaan 44Where stories live. Discover now