Lamaran Asrul

490 47 1
                                    

Pagi itu, Jata berpapasan dengan Gani di ruang kontrol generator. Dari jauh sudah terlihat rekan kerjanya itu tersenyum-senyum simpul. Begitu berdiri bersebelahan di depan ruang panel, Gani menyenggol lengannya.

"Gimana videonya? Hot, kan?" Senyum Gani semakin lebar saja.

Jatah melengos. "Hot banget!" sambar Jata dengan muka masam. Bagaimana tidak hot? Dalam tidur pun tangannya bergerilya gara-gara video itu.

"Jadi sebentar lagi saya bakal punya keponakan, dong?"

Jata mendengkus. "Boro-boro keponakan. Belum berhasil, Pak!"

Gani menatap dengan prihatin kepada rekan kerjanya. "Kelihatannya kamu harus segera mencari orang pintar, Dik."

Jata tidak menjawab. Gani mengambil ponsel lalu memberikan nomor telepon seseorang.

"Coba kamu telepon orang ini. Tinggalnya di dekat Danau Loksado. Saudara saya sakit dibuat orang, sudah berobat kemana-mana tidak sembuh. Cuma sekali datang ke sana langsung sehat sampai sekarang."

Jata mengucapkan terima kasih, namun dalam hati tidak ingin menuruti saran itu. Lebih baik ia menghubungi ayahnya terlebih dulu. Untuk hal sepenting itu, ia tidak mau gegabah. Dan ayahnya adalah tempat bertanya yang lebih logis dibandingkan dukun entah siapa ini.

"Coba bawa istrimu ke dokter kandungan buat konsultasi. Siapa tahu dia memang punya masalah hormon atau organ dalam sehingga tidak nyaman berhubungan seksual," saran Matias melalui telepon siang itu.

Saran itu masuk akal. Sebelum akhirnya banting setir ke hal-hal gaib, mengapa tidak mencoba pendapat ahli yang memiliki dasar ilmiah terlebih dulu? Yang menjadi persoalan adalah bagaimana mengajak Puput ke dokter. Ketika mereka tengah duduk-duduk santai menonton televisi sepulang kerja sore itu, Jata mengungkapkan niatnya.

"Buat apa ke dokter kandungan? Nggak mau. Aku nggak sakit, kok." Puput langsung membantah sesuai dugaan.

"Apa ke dokter itu harus saat sakit? Justru sebelum sakit kita perlu berkonsultasi supaya tidak jatuh sakit." Jata mulai berargumentasi.

"Nggak mau! Nanti aku harus buka-bukaan pantat di depan orang lain. Malu banget, tahu!"

Jata maklum. Membuka daerah intim depan suaminya saja Puput ketakutan, apalagi di depan orang tak dikenal. "Nanti kita cari dokter kandungan perempuan."

"Aku nggak mau, Kak Jata. Aku takut sama dokter!" kilah Puput dengan sengit.

"Aneh banget alasanmu, Put. Nggak pantas, tahu, sarjana ngomongnya kayak anak TK." Jata pun terpancing membalas dengan sengit.

"Kamu mengajak berantem sore-sore?" Mata Puput melebar karena gusar.

Jata kehilangan kesabaran. Dengan menggunakan kekuasaan seorang suami, ia memaksa, "Aku mau cari jadwal praktek dokter kandungan. Kamu tinggal ikut aja. Nggak susah, kan?"

"Kakak nyebelin banget, ya! Aku yakin suatu saat nanti pasti bisa. Sabar sedikit lagi kenapa, sih?"

"Aku rela kamu sebelin. Yang penting kamu datang ke dokter demi masa depan kita."

"Masa depan kita dan kenikmatanmu kan, Kak?"

"Hey! Kok gitu ngomongnya? Apa kamu nggak akan menikmati juga?"

Puput mengambek. Sepanjang sore itu ia mogok bicara. Anehnya, saat Asrul datang berkunjung, sikapnya mendadak merubah.

"Kak Asrul? Lama nggak ketemu? Masuk, Kak," sambut Puput pada lelaki bertubuh gempal itu.

Wajahnya gadis itu semringah, terang benderang bak matahari pagi. Gerakannya lincah saat menyuguhkan kopi dan donat seperti karyawan yang baru mendapat gaji ketiga belas. "Dicobain donatnya, Kak. Aku bikin sendiri, loh."

Asrul langsung terpaku pada mata lebar nan bening. Tanpa diperintah, jantungnya berdenyut lebih bersemangat hingga denyutannya terasa sampai kepala. Astaga, Asrul! rutuknya dalam hati. Diliriknya Jata. mata lelaki itu bergantian mengamati istrinya dan dirinya dengan tatapan yang sulit dimengerti.

"Makasih, Put. Aku mau bicara dengan suamimu," kata Asrul kemudian.

☆☆☆

Jata mengamati sahabatnya yang duduk dengan gelisah di ruang tamu. Entah mengapa, sikap Asrul saat berjumpa dengan Puput tadi, walau sekilas dan sangat halus, terasa aneh. Ia sebenarnya tidak ingin mencurigai teman sendiri, apalagi Asrul telah dekat semenjak mereka bekerja di tempat ini bertahun lalu. Ia bahkan sudah menganggap lelaki itu saudara. Wajah manis Asrul yang berbinar saat menatap istrinya tadi mau tak mau mengganggu perasaannya. Ditelisiknya lelaki di hadapan itu dengan cermat. Kedua tangan Asrul mengetuk-ngetuk pegangan kursi. Kakinya pun demikian, bergerak naik turun seperti sedang menjahit. Melihat tingkah seperti itu, Jata segera tahu bahwa sahabatnya itu mengalami masalah.

"Kok malah bingung? Mau ngomong apa?" tanya Jata seraya menyeruput kopi tanpa melepaskan pandangan dari lelaki berwajah bulat namun memiliki dagu runcing di depannya.

"Gini, Jat. Aku mau minta pendapatmu. Minggu depan aku lamaran. Pening kepalaku, Jat." Asrul membuka sesi curhatnya.

"Kenapa pusing? Lamaran tuh seharusnya bikin senang. Abah ikam[1] setuju dengan Fitri, kan?"

Gerakan tubuh Asrul semakin keras. Setiap mendengar kata "ayah", sebuah gumpalan gelap menyeruduk di dalam dada. Kata itu selalu mengingatkan kepada masa lalu di mana hari-harinya kelam.

Jata menjadi yakin, masalah yang dihadapi temannya kali ini benar-benar pelik. "Fitri baik-baik aja?"

"Nah, itu dia masalahnya. Fitri itu...." Asrul tidak melanjutkan kalimat. Tampak sekali hatinya ragu. "Dia itu sudah...."

Jata membiarkan Asrul menenangkan diri. Semenjak dituduh terlalu memaksa oleh Puput, ia mati-matian mengendalikan diri. Akhirnya setelah membuat suasana ruang tamu sunyi untuk beberapa detik, Asrul pun membuka suara.

"Fitri udah nggak perawan," desis Asrul lirih, nyaris ditelan angin lalu. Sesudah itu dengan gugup ia menyeruput kopi.

"Waduh?" Jata memahami kegalauan Asrul. Bagi sebagian lelaki, keperawanan adalah syarat mutlak untuk kebahagiaan berumah tangga. Bahkan sejak dulu, keperawanan dianggap simbol nilai tinggi budi pekerti seorang perempuan. "Kenapa sampai begitu?"

Asrul menggeleng. "Dia nggak mau cerita. Setiap kutanya jawabannya hanya menangis."

"Kamu sudah bicara dengan orang tuanya?"

"Sudah. Kata orang tuanya, Fitri begitu karena perbuatan mantan pacar pertama. Mereka melakukan itu saat SMA. Katanya sih Fitri diguna-guna biar nggak sadar. Tapi aku nggak percaya."

Jata paham. Dua remaja yang tidak tahu bahaya, terdorong oleh hormon yang membuncah, dibumbui rasa ingin tahu yang besar, tenggelamlah mereka dalam lumpur. Akan tetapi soal diguna-guna? Jata sependapat dengan Asrul. "Orang tuanya sudah tahu sejak dulu atau baru saja?"

"Sudah sejak dulu. Tapi mereka semua bungkam, tidak ada yang berniat memberi tahu aku jauh-jauh hari." Asrul terlihat kesal saat mengucapkan itu. "Kamu tahu, aku merasa dibohongi. Kukira dia perempuan baik-baik."

Jata sangat mengerti perasaan Asrul. Bagi seorang yang sangat menjunjung tinggi adat istiadat, hal semacam itu tentulah tidak dapat diterima. Akan tetapi, menuduh Fitri bukan perempuan baik-baik karena satu kesalahan masa lalu pun semena-mena. "Fitri kan memang perempuan baik-baik, Srul."

Asrul berdecak tanda tak setuju.

"Keluargamu tahu soal ini?" tanya Jata lagi.

"Aku sudah memberitahu Abah." Asrul menatap Jata dengan wajah memelas." Abah kecewa banget. Tapi semuanya terserah aku. Gimana menurutmu, Jat? Aku udah males banget melanjutkan hubungan ini."

Jata pun ikut menjadi bingung. Ia takut memberi saran karena bila salah dipahami bisa mengakibatkan masalah. Akhirnya ia hanya bertanya, "Masa segitu aja cintamu? Dipikir baik-baik dulu, jangan sampai menyesal sesudahnya."

"Kayaknya aku batal lamaran aja dah, Jat. Uyuh banar! [2]"

____________________

[1] Abah ikam = ayah kamu dalam bahasa Banjar.

[2] uyuh banar = melelahkan sekali, merepotkan

=== TBC ===

Percobaan 44Where stories live. Discover now