64. Serangan Kepada Matias

70 11 1
                                    


Setelah berjalan kaki sejenak, Asrul mencapai posnya. Tidak seperti biasa, beberapa orang pekerja harian pemelihara bangunan fisik bendungan berkumpul di sana. Orang-orang itu seperti membicarakan sesuatu yang serius. Begitu melihat dirinya datang, mereka melambai mengajaknya bergabung.

Asrul menanggapi sapaan itu. Ia bersyukur masih memiliki rekan yang tidak memperpanjang tuduhan perkosaan tempo hari. Tuhan selalu adil. Di saat orang lain mengecam dan memandang hina, selalu ada orang yang tulus menghargai keberadaannya.

"Bang, barusan ada perkembangan baru," kata salah satu di antara mereka. "Ada buaya di waduk."

"Saya sudah dengar dari teman di Tiwingan. Ada anak-anak sekolah yang melihat penampakan buaya putih," jawab Asrul.

"Loh, yang itu saya malah baru tahu. Abang dapat kabar dari mana?"

"Biasa, viral di grup WA desa," jawab Asrul. Ia memang membuat grup WA orang-orang kunci di setiap desa sepanjang aliran Sungai Riam Kanan untuk urusan pemantauan lingkungan waduk.

"Yang ini baruuuu aja. Ruslan yang lihat. Segerombolan buaya berenang di pinggiran waduk."

"Segerombolan? Banyak?" Asrul langsung tertarik. Seumur-umur menjelajah sungai, baru kali ini mendengar ada buaya di waduk, segerombolan pula.

"Buanyak, dan nggak cuma di satu tempat."

Asrul langsung merasa ada yang tidak beres. "Kalau begitu, besok kita pergi pemantauan."

Asrul mengetik pesan di grup WA desa untuk memperingatkan warga agar berhati-hati kalau turun ke waduk. Sesudah menyelesaikan pekerjaan sebentar, ia mengambil kunci motor dan meninggalkan tempat itu.

Hari tiba-tiba mendung dan berangin kencang saat Asrul meninggalkan kompleks PLTA Riam Kanan. Jarak antara kantor dan rumah hanya sekitar 10 menit berkendara. Itulah mengapa ia menyukai tinggal di desa kecil Aranio. Selain dekat, ibunya bisa berjualan sembako di sana.

Angin semakin kencang dan berputar di beberapa tempat, membawa debu dan daun kering. Sebagian menyelip di kaca mata Asrul, membuatnya mengerjap karena pedih. Mula-mula angin itu seperti angin biasa. Semakin lama, terasa semakin keras menerpa wajah. Bunyinya mendesis seperti desahan aneh. Asrul merinding. Dilajukannya kendaraan dengan maksud agar segera mencapai rumah.

Sungguh aneh. Perjalanan yang seharusnya singkat itu terasa panjang. Padahal tak ada yang berubah dari jalanan itu. Semua sama seperti yang biasa dilalui selama bertahun-tahun. Akan tetapi, mengapa rumahnya tak kunjung terlihat?

Dada Asrul tiba-tiba merasakan desakan aneh. Seperti rasa sedih yang berat, putus asa, kecewa, dan marah, secara bersamaan menumpuk dan menggumpal menjadi satu. Seolah segala kesakitan yang terjadi sejak masa kecil hingga dewasa dialami kembali secara bersamaan. Semua emosi karena dirinya di-bully, dibuang, dicampakkan, serta dilecehkan, semua mendesak ingin keluar tiba-tiba. Asrul berteriak sekencang-kencangnya dengan air mata berderai, tanpa tahu mengapa.

Sepeda motor melaju melewati sebuah belokan tajam bertepi jurang. Perasaan itu semakin kuat. Asrul tiba-tiba marah dan putus asa. Segala perjuangan selama ini terasa sia-sia. Masa depan terlihat gelap dan menyakitkan. Tepi jurang itu menjadi demikian menarik, seperti celah indah yang menawarkan ketenangan dan akhir penderitaan. Dengan teriakan keras, tangannya menarik gas dan membelokkan setang ke arah jurang. Sepeda motor berwarna merah itu bagai melayang ke sana.

Di detik-detik terakhir itu, dari sudut mata, Asrul melihat deretan makhluk berbaju hitam, berwajah hitam, dan bermata merah menyala di kedua tepi jalan. Segera ia sadar, semua perasaan itu bukan miliknya. Ditariknya rem, dibelokkannya setang dengan serta merta. Sayang, sudah terlambat. Laju sepeda motor tidak dapat dibendung lagi.

♡♡♡

Matias dan Jata memutuskan pulang terlebih dulu untuk mandi sebelum berangkat ke Banjarmasin. Kegiatan hari ini cukup melelahkan, sehingga mereka merasa perlu untuk menyegarkan diri dengan air bersih yang dingin.

Jata membuka baju di dalam kamar mandi. Sang adik terlihat masih terkulai dalam tidur panjang yang kunjung usai. Sejenak ada rasa sedih, seperti kehilangan jati diri. Sejenak kemudian timbul rasa ingin tahu, benarkah kalung itu berpengaruh juga terhadap si adik? Ia mengambil sabun dan mulai bekerja. Benar! Alatnya itu bereaksi terhadap sentuhan. Jata melanjutkan dengan bersemangat. Setelah mencoba beberapa saat, rasa kecewalah yang didapat. Si adik memang mengeras, tapi tidak maksimal, belum berdiri tegak. Apa boleh buat. Setidaknya sudah ada perkembangan. Ia mengguyur kepala dengan air dingin, berusaha meredam harapan yang sempat naik ke ubun-ubun.

Jata baru mengenakan celana pendek saat mendengar desahan yang terbawa angin. Bulu kuduknya berdiri seketika.

"Jaaaa-taaaa...."

Dengan segera, ia keluar kamar mandi dengan bertelanjang dada. Matias ternyata telah menunggu di depan pintu dengan dua mandau di tangan. Ternyata lelaki itu membawa pusaka keluarga mereka dari Pangkalan Bun.

"Mana kalungmu?" hardiknya.

Jata melepas kalung itu sebelum mandi. Ia terpaksa kembali ke kamar untuk mengambil kalung dari gantungan.

"Ayo!" seru Matias. Satu mandau dilemparnya ke Jata. "Kalian jangan keluar!" instruksinya pada Puput dan Maria. Kedua perempuan itu saling memeluk dengan tatapan ngeri.

Dengan bergegas, mereka keluar ke teras belakang. Jata menelan ludah. Pantas saja ia merasakan desakan perasaan kacau itu. Ternyata mereka datang. Makhluk-makhluk hitam bermata merah menyala telah berjejer di tepi hutan.

"Itukah mereka?" bisik Matias.

"Iya. Tapi yang ini cuma rendahan. Pimpinannya tadi memanggil aku, tapi sekarang nggak kelihatan."

"Ayo serang!" Ajak Matias tanpa ragu.

"Hah?" Jata serta merta menoleh tidak mengerti.

Matias cuma berdecak sekali. Detik berikutnya, ia mengacungkan mandau. Sambil meneriakkan pekikan perang, lelaki itu berlari ke arah makhluk-makhluk itu.

Jata kaget. "Pa! Paa!" cegahnya. "Tunggu, Pa!" Mau tak mau Jata turun ke halaman menyusul ayahnya.

Di seberang, makhluk-makhluk itu pun bergerak maju. Jata mulai khawatir dengan keselamatan ayahnya. Masa makhluk gaib sebanyak itu mau dilawan dengan mandau saja?

"Pa, stop! Mereka menyerang!"

Tiba-tiba terdengar kembali desah dari alam gaib itu. Namun, kali ini tidak jelas apa yang dikatakan. Hanya desahan panjang yang membuat badan Jata menggigil. Desahan itu tidak hanya mempengaruhi Jata, akan tetapi juga makhluk-makhluk hitam itu. Mereka menghentikan gerakan lalu mundur dan menghilang dalam kabut hutan.

"Pa, ayo kembali. Mereka sudah pergi," ajak Jata.

Matias tak bereaksi. Hanya diam mematung menghadap hutan. Dengan keheranan, Jata memanggil sekali lagi sambil mendekati sang ayah.

"Pa, ayo kembali! Buat apa mengejar mereka?"

Matias menoleh. "Kenapa diam saja? Ayo serang!" Matias mengangkat mandau dan memasang kuda-kuda.

"Hah?" Jata kaget bercampur heran. Apakah ayahnya sudah hilang ingatan? Mengapa malah mengarahkan mandau kepadanya?

Matias menatap tajam. Saat itulah terlihat sekilas matanya merah menyala. Detik berikutnya, Matias memekik keras dan meloncat sambil menghunus mandau ke anaknya. Jata baru sadar bahwa ayahnya kerasukan.

"Hiiaaakkhh!" pekik Matias dengan sengit. Mandaunya menebas berkali-kali dengan beringas.

Jata berusaha menghindar. Walau dari SD hingga kuliah rutin berlatih pencak silat, berperang menggunakan mandau bukan keahliannya. Apalagi yang dilawan saat ini adalah ayahnya sendiri. Tidak mungkin ia balas menebas.

"Papa! Papa! Berhentiiii!" Jata memekik dengan kalut. Ia berusaha menahan tebasan Matias dengan mandau yang dipegang.

Beberapa kali mandau mereka beradu, menimbulkan bunyi berdenting dan bahkan percikan api. Matias benar-benar hebat. Jata sampai kewalahan menahannya.


////////////////

Jangan lupa dukung Fura dengan voment, ya....

Percobaan 44Donde viven las historias. Descúbrelo ahora