44. Sepasang Korban

230 23 6
                                    


Sebenarnya tidak semua hal yang ditulis Billy tidak masuk akal. Ada beberapa yang sempat Jata ingat. Di antaranya adalah memakan sup sumsum tulang kambing dan kecambah. Ia sudah mendengar dari beberapa orang bahwa kedua hal itu sangat bagus untuk kejantanan dan kesuburan.

Belum lama keluar dari gedung administrasi, Jata mendapati beberapa orang berjalan dengan tergesa.

"Ada apa?" tanyanya pada salah seorang pekerja kontrak yang kebetulan melintas.

"Ada mayat ditemukan di dekat power house, Pak."

"Di bendungan atau di aliran keluar?"

"Di bendungan, Pak. Ada dua orang, laki-laki dan perempuan. Polisi sudah menuju ke sana."

"Kalau begitu aku ikut kamu ke sana." Jata kemudian membonceng sepeda motor orang itu.

Sampai di bendungan, kondisi sudah penuh orang. Sebagian adalah pekerja PLTA, sebagian lagi aparat desa setempat. Beberapa polisi juga tengah mengamankan lokasi.

Kedua jenazah sudah di baringkan di tepi bendungan. Menilik kondisi tubuh korban yang masih utuh, mereka belum lama meninggal.

"Kelihatannya bukan orang dari daerah sini," bisik pegawai kontrak itu tadi.

Jata mendekat ke jenazah. Keduanya masih sangat muda. Mungkin seumur anak SMA. Yang perempuan malah terlihat lebih mudah lagi, barangkali masih SMP.

"Mereka jatuh dari sampankah?" tanyanya.

Salah seorang dalam kerumunan itu menjawab, "Kelihatannya perahunya terbalik lalu mereka tenggelam."

Tak berapa lama, datang dengan setengah berlari dan menjerit-jerit, dua pasang suami istri. Sepertinya mereka adalah orang tua kedua remaja tersebut. Menilik dari pakaiannya, mereka orang berada.

Dua pasang suami istri itu mendekat, kemudian menangisi jenazah. Setelah itu mereka terlibat pertengkaran hebat. Rupanya kedua remaja itu adalah pasangan yang tidak direstui orang tua mereka. Si wanita sudah hamil duluan, tetapi keluarga lelaki tidak mau mengakui. Akhirnya mereka kabur dari rumah. Tak disangka, keduanya malah berakhir tanpa nyawa di danau ini.

Pegawai kontrak yang berdiri disamping data berbisik, "Kata orang-orang dari Desa Tiwingan, mereka sempat tertangkap basah sedang berciuman mesra di area terlarang kira-kira tiga bulan yang lalu. Mereka sempat diingatkan. Katanya sih, mereka menurut lalu pulang setelah dijemput orang tua. Tadi pagi, mereka datang lagi, menyewa sampan. Katanya cuma menyewa buat foto-foto, makanya yang punya sampan tidak menunggui. Ternyata mereka bohong, sampannya diam-diam dibawa pergi. Yang punya sampan sampai mencari ke mana-mana. Ternyata sore ini ketemu sudah begini."

Tiba-tiba hati Jaga kembali galau. Kesedihan itu mendesak masuk tanpa ampun. Di dalam dada, bergemuruh jerit penderitaan, lengking keputusasaan, serta desah kematian. Jata sudah hafal fenomena apa ini. Matanya segera berkeliling untuk mencari keberadaan makhluk-makhluk itu.

Pasukan hitam dengan mata merah menyala itu sudah hadir di tempat itu, melayang-layang di sekeliling mereka. Pantas saja kekalutan itu datang lagi. Ia yakin sekali makhluk-makhluk itulah yang membawa perasaan itu kepadanya.

Ditatapnya makhluk-makhluk itu dengan jantung berdebar. Semakin berusaha menatap, dadanya semakin nyeri. Akhirnya Jata membuang pandangan dan segera mencari air putih. Setelah meminum air itu ia berlari ke tepi waduk untuk membasuh kepala dan wajah dengan air sesuai anjuran Pak Dehen. Tindakan itu tidak mengusir pasukan hitam, tapi nyeri dadanya berkurang banyak.

Jata kembali ke kerumunan orang. Desakan-desakan perasaan itu terus mengikuti, namun ia sudah lebih kuat. Maksud hati ingin melihat dengan jelas kedua jenazah. Jaraknya tinggal beberapa langkah ketika ia melihat makhluk-makhluk itu bergerak dengan cepat ke arah kedua jenazah. Mereka menarik sesuatu dari keduanya. Ternyata semacam energi, bayangan tipis pucat yang berbentuk mirip dengan kedua jenazah itu. Kedua bayangan itu meronta-ronta sekuat tenaga, tidak ingin dibawa pergi. Apa daya, mereka begitu lemah, sehingga dengan mudahnya diseret menjauh.

Jata bergerak ingin melakukan sesuatu. Mulutnya ingin berteriak. Namun, tenggorokannya tersekat dan kedua kakinya terpaku ke tanah. Belum sempat berpikir, kepala-kepala pasukan gaib itu menjulur ke arahnya secara bersamaan. Mulut mereka terbuka, memperlihatkan gigi runcing kuning berkerak yang berbau busuk. Mereka meneriakkan geraman keras mirip auman singa yang memekakkan telinga seraya bergerak mencaplok kepala Jata.

Serangan itu membuat Jata sangat kaget. Mulut-mulut menyeringai itu terasa benar-benar dekat dan hendak menelan kepalanya. Otomatis ia berjingkat mundur. Malang, keseimbangannya hilang. Ia jatuh terjengkang menghantam batang kayu.

Pasukan hitam itu tidak jadi menyerang. Mereka surut begitu saja seperti diberi komando. Dalam satu kedipan mata, semua makhluk itu menghilang ke balik kabut hitam bersama arwah kedua anak itu.

Jata bangkit dengan mengerang. Rasa nyeri menusuk pantatnya. Ngilu sekali untuk berdiri. Kedua tangannya terasa sedingin es. Tubuhnya tiba-tiba menggigil. Ia menyingkir ke batang pohon yang agak jauh dari kerumunan untuk bersandar dan memulihkan diri.

Dalam hati, Jata miris dengan kejadian tadi. Ternyata itu nasib para korban. Jiwa mereka ditarik ke kabut hitam. Jata bertanya-tanya sebenarnya apa di balik kabut misterius itu. Untuk apa mereka mengambil jiwa-jiwa manusia?

Lolong tangis kedua ibu korban membuat suasana semakin memilukan. Salah satu ibu bahkan pingsan beberapa kali. Mereka pasti lebih terpukul bila mengetahui nasib anak-anak itu yang sebenarnya.

Jata semakin pusing. Semua hal tentang dunia gaib sama sekali tidak dimengerti. Jauh lebih rumit daripada mempelajari arus kuat atau sistem pembangkit listrik.

"Kamu kenapa? Kok bengong sendiri di bawah pohon?" Entah kapan datang, tahu-tahu Wina sudah berada disampingnya. Aroma parfum yang seperti bunga tabur kuburan langsung tercium dan membuat Jata mual.

"Kamu pake parfum apa, sih? Baunya kayak bau bunga kuburan."

Bahunya langsung dipukul dengan keras oleh perempuan itu. "Ngawur! Aku pake Channel." Wina menyebutkan sebuah merek terkenal.

"Minyak nyong-nyong kamu bilang Channel."

Wina mendengkus keras. "Kamu ini dari dulu bikin aku marah aja. Kapan bikin aku senang?"

Jata menjauh. Malas sekali menghadapi candaan yang menjurus itu. Ia bisa menduga arah pembicaraan Wina. Semenjak dirinya pulang dari bulan madu, Wina semakin menjadi saja.

Wina belum menyerah. "Sama siapa kamu ke sini?" tanya Wina dengan manja. Ia mendekat dan meraih tangan Jata.

Angin dingin yang tiba-tiba berembus dari arah waduk menghadirkan suasana aneh. Jarang sekali ada angin sedingin itu di tengah hari yang cerah. Jata menggigil kembali. Seluruh bulu halusnya berdiri.

"Win! Jangan kayak gini!" tegur Jata dengan sorot mata tajam. Tidak seperti kejadian sebelumnya, kali ini Jata tidak menarik tangannya. Genggaman hangat Wina seolah menyelamatkannya dari angin dingin.

Wina terpesona dengan kedekatan itu. Tangan hangat dan besar milik Jata membawanya kembali ke kenangan semasa SMA, ketika cinta baru merekah. Tangan hangat itu dulu miliknya, pun bahu tegap itu, tempat ia biasa bergayut. Matanya terpaku pada mata Jata begitu saja, membuat lelaki itu tertegun. Celakalah mereka. Waktu bisa melapukkan segalanya, kecuali hati karena hati manusia itu selalu menyimpan segala kenangan dengan sangat baik. Saat dipanggil kembali, memori itu akan muncul seperti baru saja terjadi. Cukup beberapa detik tangan dan mata tertaut untuk menyeret hati keduanya ke perasaan cinta masa lalu.

☆-Bersambung-☆

Komen, pleaseee ....

Percobaan 44Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang