46. Janji

218 25 6
                                    

Jata agak terlambat ketika sampai di rumah, karena harus melakukan pengecekan rutin generator yang sempat tertunda karena melihat peristiwa anak tenggelam tadi. Hari masih terang saat Jata sampai di rumah. Aroma durian dan masakan menyambutnya di depan pintu.

"Dapat durian dari mana, Put?" tanya Jata seraya meletakkan ransel lalu mengeluarkan dompet, laptop, dan ponsel.

"Kak Asrul tadi datang ke sini mencari Kakak sambil ngantar durian," jawab istrinya yang masih sibuk menata meja makan.

Jata mendekat dan mengamati makanan di atas meja. "Ini apa?"

"Itu sup sumsum tulang kambing, Kak. Kata orang bagus untuk memperkuat stamina laki-laki."

Jata terheran. "Kamu tadi ke pasar? Naik apa?"

"Aku nggak ke pasar. Aku titip sama Bu Gani. Nanti gantian, kalau aku turun ke pasar, Bu Gani titip. Biar praktis, gotong royong dengan tetangga."

"Hmm, pintar kamu," puji Jata.

"Kenapa pulang terlambat? Kak Asrul sudah pulang sedari tadi," tanya Puput.

"Ada orang tenggelam di bendungan. Aku ikut melihat tadi," jawab Jata. Perasaannya kembali tidak enak dengan nada pertanyaan Puput.

"Oh, yang tadi diceritakan Kak Asrul," jawab Puput datar.

Kini nama Asrul pun turut memicu perasaan tidak enak di hati Jata. "Ngapain aja dia di sini?"

Puput menoleh, terheran dengan nada sinis itu. "Kenapa bertanya begitu? Dia cuma datang di teras buat mengantar durian. Nggak lama terus pulang. Cuma begitu aja. Kakak pikir dia mau ngapain?"

"Aneh aja. Tadi kulihat dia juga ikut melihat jenazah di bendungan. Ketemu aku tapi nggak ngomong apa-apa malah datang ke sini membawa durian."

Puput mendongak dan mengamati wajah suaminya dengan saksama. Ia merasakan ada yang aneh setiap Jata menyebut bendungan dan jenazah. "Kak Jata ngapain aja di bendungan tadi? Ketemu Wina?"

Tembakan itu membuat Jata kelimpungan. Bagaimana Puput bisa tahu ia bertemu Wina? Apakah Asrul ... tidak mungkin! Asrul tidak akan berbuat serendah itu.

"Kenapa nanya itu?"

Puput tidak menjawab. Tangannya meraih tangan Jata dan mulai mengendus badan tegap itu. "Bau apa ini, kok mirip kembang setaman?"

Jata mengendus bajunya. Tidak ada apa-apa selain bau keringat dan debu. Dari mana Puput tahu aroma Wina? "Mana ada? Aku nggak bau apa-apa. Kamu pikir aku petugas pemakaman?"

"Siapa perempuan yang lengket-lengket ke kamu, Kak? Ayo jujur, kamu ketemu Wina, kan?"

Jata menelan ludah. Dilihatnya wajah Puput mulai memerah karena marah. Gawat, pikirnya. "Aku tadi...."

Kata-katanya Jata tersekat. Ia kembali mengingat kejadian aneh bersama mantan pacarnya itu. Di sana tadi, ia tidak menampik bahwa perasaannya tiba-tiba berbunga saat jemari Wina menyentuh tangannya. Kenangan indah semasa SMA, di mana mereka sering menyusuri selasar pertokoan dengan bergandengan tangan, kembali membuncah dengan sangat gamblang. Oh, apa yang mereka perbuat di tepi bendungan tadi? Mengulang potongan masa lalu? Dirinya seperti hilang akal saja.

"Kak! Ayo jujur, kalian ngapain aja?" desak Puput. Tangannya meraih tangan Jata lalu mengendusnya. Wajahnya menegang setelah melakukan itu. "Ada bau kembang setaman juga di sini," gumamnya lirih. Sesudah itu ia mendongak, menatap suaminya dengan terluka dan berkaca-kaca. "Kalian ngapain aja?" tuntutnya.

Jata terpaku menatap wajah sendu itu. Di sela keheranan karena Puput dapat mengetahui perbuatannya dengan Wina, rasa bersalah mulai menggunung.

Melihat suaminya terdiam, tangis Puput pun pecah. Diamnya Jata adalah pengakuan. Ia berlari ke kamar, terduduk meringkuk di sudut ruang dengan tersedu. Sakit sekali hatinya dikhianati seperti itu.

Percobaan 44Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang