62. Buaya Besar

79 13 3
                                    

Asrul pulang ke rumahnya di Desa Aranio yang terletak sebelum kompleks PLTA Riam Kanan. Ia membawa sang ibu ke situ dari Pelaihari agar dekat dengannya. Dengan tabungan hasil bekerja sejak lulus politeknik, ia membeli sebidang tanah dan membangun pondok kayu dan toko kecil. Toko itu dijalankan oleh ibunya.

"Ada hasil?" tanya sang ibu saat membukakan pintu.

Asrul menjatuhkan diri di kursi. "Aku harus mengajak Jata ketemu Deka. Kalo nggak, dia nggak bisa membantu."

"Katanya Jata nggak mau ngomong sama kamu? Apa perlu Mama bantu ngomong sama dia?"

Asrul menggeleng. Tidak bijak rasanya melibatkan wanita malang itu lebih lanjut. Wanita itu sudah cukup menanggung malu akibat kasus kemarin. Di desa kecil begini, berita cepat menyebar. Orang sekampung sudah mendengar dirinya diamankan karena percobaan perkosaan. Ibunya telah mati-matian menjelaskan bahwa itu pengaruh makhluk gaib. Siapa yang percaya? Mereka hanya mencibir saja.

Asrul sungguh iba dengan ibunya. Sejak kecil, dirinya sudah dicap sebagai anak haram. Sedangkan ibunya, dicap sebagai perebut suami orang. Sekarang, ia terkena masalah pelecehan seksual. Lengkaplah sudah label hitam untuk keluarga mereka.

"Minum," kata wanita bertubuh kurus kecil itu. Tangannya menyodorkan teh hangat dan sepiring singkong goreng. "Kamu sudah boleh masuk kerja besok?"

"Iya, Ma."

"Kalau begitu kamu bisa bicara dengan Jata di kantor besok."

"Iya, Ma. Akan kucoba."

Asrul menimbang-nimbang sejenak. Walaupun sudah mencari tahu dari Deka tentang keberadaan ayah dan asal usulnya, namun Deka tidak bisa memberi keterangan. Satu-satunya harapan hanyalah sang ibu.

"Ma, cobalah Mama jujur sekali aja sama aku. Aku ini sebenarnya anak siapa?"

Secara hukum, ia memiliki ayah di akte kelahiran. Lelaki itu tinggal di Pelaihari dan masih berhubungan baik dengannya hingga saat ini. Ibunya telah mengandung saat menikah dengan lelaki bernama Bahrul itu. Lima bulan setelah kelahiran, mereka bercerai karena cekcok. Bahrul telah menikah lagi dan memiliki tiga anak. Biarpun begitu, Asrul tetap memanggilnya Abah. Bahrul pun masih tetap menganggapnya anak. Walau ala kadarnya karena kondisi ekonomi yang pas-pasan, Bahrul masih berusaha menyantuni ibunya dan sesekali menyempatkan diri menjenguk mereka.

Ibunya langsung masuk ke kamar tanpa menjawab. Dinding kayu tidak dapat menyembunyikan bunyi dengan sempurna. Asrul bisa mendengar desah tangis sang ibu dari sana.

♡♡♡

Matias dan istrinya tersenyum lega saat mendapati anak dan menantunya sudah mesra kembali ketika menjemput mereka di rumah sakit. Tangan Jata seolah tak mau lepas dari tubuh sang istri. Begitu pula Puput, terus membuntuti suaminya ke mana-mana.

"Sudah tembus?" bisik Matias.

Jata menggeleng. "Baru datang bulan."

"Kamu sudah bisa kencang?"

Jata menggeleng lagi dengan sedih. Matias merogoh kantong celana. "Nih, pakai. Jangan bandel."

Jata menerima benda itu. "Gigi apa ini?"

"Gigi buaya. Itu pusaka leluhur kita. Jauh-jauh diantar oleh om kamu dari hulu Kapuas."

Gigi runcing itu panjangnya sekitar 10 cm, berwarna kuning gading, dan diikat dengan tali dari kulit kayu.

"Pakai!" instruksi Matias.

Jata tidak menurut. Kalung bermata gigi buaya itu ia masukkan ke saku celana. "Gatal pakai kalung beginian."

Matias mengulurkan tangan. "Kembalikan!"

Jata senang. Benda itu berpindah tangan ke Matias kembali.

"Papa bikinkan rantai, biar kamu nggak banyak alasan," sergah lelaki itu dengan muka kesal. Susah benar mengurus anak sulungnya ini. Dilihatnya istrinya cuma senyum-senyum. "Anakmu tuh!"

"Mirip siapa?" balas istrinya dengan telak.

"Kalian pulang ke mana setelah dari rumah sakit ini?" tanya Matias. "Kalau mau naik ke Aranio, Papa dan Mama ikut. Papa mau tahu rumahmu."

"Kasurnya cuma satu, Pa."

"Beli, dong!"

Jata cuma bisa menggaruk tengkuk yang tidak gatal. Siang itu, setelah membeli segala barang yang dibutuhkan, berempat mereka menuju kompleks PLTA Riam Kanan. Hari masih panas ketika mereka sampai di rumah itu.

Puput bergegas ke dapur untuk menyiapkan minum dan makan. Ia bersyukur, ikan mas semalam telah diamankan orang ke kulkas, sehingga bisa dimasak.

Jata dan ayahnya berkeliling halaman. Ayahnya membawa garam yang telah dimantrai oleh seorang sesepuh dari Pangkalan Bun. Mereka menaburkan garam di sekeliling rumah.

"Makhluknya selalu muncul dari arah hutan itu," kata Jata sambil menunjuk. Angin berembus dari arah sana, menerpa wajah mereka, seolah menyampaikan salam perkenalan.

Matias cuma mengangguk. "Esok, kita ajak Dehen memeriksa hutan itu. Kamu siapkan aja sepatu boot dan perlengkapan lain."

Puput memanggil. Rupanya Gani datang bertamu.

"Jat, sudah pulang? Syukurlah. Kacau sekali di lokasi sewaktu kamu nggak ada, Dik." Lelaki itu tersenyum lega.

"Generator aman, kan?" tanya Jata.

"Amaaan, yang nggak aman orang-orangnya."

"Kenapa?"

"Dalam sehari ada dua pasangan meninggal. Riam Kanan semakin angker aja."

Gani kemudian menceritakan bahwa tadi pagi, sepasang muda-mudi menjatuhkan diri dari sebuah anjungan di Matang Kaladan. Tubuh mereka remuk saat ditemukan di jurang.

"Yang sepasang lagi, istri yang menenggelamkan suaminya di danau. Si istri ternyata mengidap gangguan jiwa. Setelah menenggelamkan suaminya, dia telanjang dan masuk area power house, lalu mengacau di sana."

"Ada alat yang dirusak?"

"Nggak ada. Dia lari ke kampung. Tahu-tahu sudah tewas dengan memotong leher dengan pisau."

"Yuk kita ke sana," ajak Matias tiba-tiba.

"Ke mana, Pa?"

"Ke bendungan."

Jata sebenarnya malas. Area Matang Kaladan dan bendungan mengingatkannya pada peristiwa seram tempo hari. Tapi, kalau Matias sudah berkehendak, tak ada yang bisa dilakukan selain menuruti.

Mereka naik ke Desa Tiwingan, lalu turun ke dermaga. Papanya ingin menyewa kelotok[1] untuk menjelajah danau. Namun, Jata dan Gani melarang.

"Situasi sedang nggak enak. Nanti bahaya, Pa," cegah Jata. "Kalau mau lihat bendungan, bisa lewat PLTA."

"Iya, besok pagi saja kalau begitu," kata Matias. "Papa dititipi untuk menaruh sesuatu di air bendungan," bisiknya pada sang putra.

Belum sempat Jata bertanya, terjadi keributan kecil. Dermaga itu merupakan tempat anak-anak sekolah dari desa-desa di seberang bendungan meletakkan kelotok mereka. Setiap hari, mereka pergi ke sekolah naik kelotok dari rumah, kemudian disimpan di dermaga tradisional di Desa Tiwingan. Saat pulang, mereka kembali naik kelotok tersebut. Anak-anak desa itu, biarpun masih SD, sudah terampil mengoperasikan perahu kecil bermesin itu.

Ada empat kelotok kembali dengan membawa delapan anak sekolah yang menjerit-jerit.

"Ada buaya besaaarrr!" teriak mereka. "Kami nggak berani lanjut!"

___________________________

[1] kelotok = perahu kayu kecil yang dilengkapi mesin.

Percobaan 44Where stories live. Discover now