14. Terluka

816 45 3
                                    



Pagi itu, sepasang pengantin baru yang semalam saling memunggungi itu bangun dengan membisu. Mata mereka beradu pandang, namun menyorot dingin. Puput sengaja bangun lebih awal. Pagi ini ia dan Jata harus ke bandara untuk melanjutkan perjalanan ke Banjarbaru. Walau diabaikan, ia tetap pergi ke dapur untuk menyiapkan sarapan bagi suaminya dan seisi rumah. Dua anak asuh ayah Jata membantu dengan membersihkan bahan makanan.

Nasi goreng dengan cabai dan terasi adalah menu kesukaan Jata yang ia ketahui dari mama mertua. Entah mengapa ia ingin memberikan sesuatu yang sebisa mungkin untuk menyenangkan sang suami. Geraman Jata masih terngiang jelas. Sungguh pilu bila mengingat kejadian semalam. Jata berhenti di detik-detik terakhir. Sesaat ia merasa lega karena terlepas dari ancaman rasa sakit. Namun wajah terluka Jata membuatnya tahu bahwa suaminya tidak tega melanjutkan hubungan seksual itu. Dia pasti kecewa mendapati istrinya ketakutan alih-alih menikmati kebersamaan mereka. Air mata menetes tanpa disadari ke pipi.

Nasi goreng dengan telur dadar dan sosis tersaji di meja makan beberapa saat kemudian. Puput berjalan ke kamar lalu membuka pintu dengan hati-hati. Jata tengah membereskan barang-barang untuk dimasukkan ke dalam koper.

"Kak, sarapan dulu," panggil Puput.

Jata menoleh. Tatapannya sudah tidak semerana semalam, pun tak sedingin tadi saat bangun pagi. Akan tetapi, tatapan itu juga bukan tatapan lembut. Sorot sepasang mata elang itu kini lebih mirip sorot seseorang yang terluka. Bagi Puput keduanya sama saja. Biar ditatap dingin maupun ditatap terluka, hati Puput sama-sama teriris.

Jata memberi isyarat dengan tangan agar Puput masuk. Dengan menahan napas, Puput berjalan mendekati suaminya yang berjongkok di samping koper. Begitu telah dekat, suaminya berdiri dan langsung terasa menjulang. Mereka bertatapan sejenak, berusaha saling merasakan hati masing-masing.

Tiba-tiba Jata meletakkan tangan di bahu Puput, mengelusnya sejenak dengan lembut. Tanpa terduga lelaki itu membenamkan Puput dalam dekapan. Kepalanya membungkuk untuk meletakkan dagu di lekuk leher gadis itu. Tangannya mengelus lembut punggungnya. Embusan napas jelas terasa di leher Puput. Embusan napas yang membawa beban berat dari hati.

Perlakuan itu seketika membuat Puput meluruh. Air matanya berurai. "Aku minta maaf, Kak. Aku membuatmu kecewa terus," rintihnya.

Jata tidak menjawab, hanya tangannya semakin erat memeluk.

"Kak?" Puput semakin sedih didiamkan begitu.

"Sssshhh! Sudah, sudah. Ayo kita sarapan. Jangan sampai kita ketinggalan pesawat."

Jata mengusap air mata Puput lalu menggandengnya menuju ruang makan. Mereka tidak banyak bicara lagi sampai berada dalam pesawat yang membawa mereka ke Bandara Syamsudin Noor di daerah Landasan Ulin, Banjarbaru.

☆☆☆

Seorang pemuda berkulit sawo matang bertubuh sedang namun gempal menyambut mereka di pintu kedatangan. Begitu melihat sejoli itu, senyumnya terkembang menunjukkan sederet gigi yang kecil-kecil namun rapi.

"Bro!" tangannya langsung menyalami Jata. "Wah, lain juga nih aura pengantin baru. Lesu-lesu bergairah gitu. Habis berapa ronde semalam, Jat?"

Jata hanya nyengir pahit menanggapi godaan ini. Berapa ronde? Apanya? Berantemnya? gerutunya dalam hati. "Kenalin, ini Puput. Put, ini Asrul, teman sekantor."

Puput menjabat tangan Asrul dengan tersenyum. Entah dari mana, tiba-tiba angin dingin berembus membelai tengkuk. Rasa dingin yang menggetarkan menyusup ke dada. Matanya teralih ke Asrul begitu saja, tanpa tahu mengapa. Dan tiba-tiba saja ia merasa akrab dengan lelaki berdarah asli Banjar itu.

Asrul mendekati Jata saat mereka berjalan beriringan menuju parkiran.

"Serius mau tinggal di rumah itu?"

Percobaan 44Where stories live. Discover now