thirty two

309 37 10
                                    

Bara duduk dikursi tunggu tepat disebelah ruangan bersama Agatha yang tak henti-henti merasa panik.

Melirik gadis itu sekilas, Bara menghembuskan nafas. "Tenangin diri lo, Alin nggak akan kenapa-napa"

"Tapi Kak, " Agatha berujar panik, "dia phobia ruang sempit. Dia sudah didalam sejak 12 jam yang lalu. Aku takut dia–"

Agatha berhenti melanjutkan ucapannya ketika dirasa tangan Bara yang menggenggamnya halus, lalu gadis itu menghela, "aku takut dia kenapa-napa"

Bara menatapnya dengan tatapan penuh kelembutan seakan ingin menyuruhnya untuk tenang, "nggak akan."

Tak lama kemudian, suara ketukan sepatu yang beradu dengan lantai, menghampiri ruangan dengan wajah panik.

"Tante?"

Lantas wanita itu melirik Agatha yang memanggilnya, "Agatha, gimana keadaan Alin, nak? Alin kenapa?"

"Aku masih belum tau keadaannya. Tapi dia jadi kaya gini gara-gara phobia-nya." ujar Agatha melemah.

Rana mengusap rambutnya, tubuhnya merosot berjongkok dilantai. Menutup mulutnya dengan kedua tangan sambil menangis tersedu. Ini semua karena-nya. Dia lah yang membuat Alinza seperti ini.

Agatha menghampiri Ibu dari temannya, mengusap bahu Rana. "Alin...bakal baik-baik aja, Tan"

Berujar itu meski dirinya sama khawatirnya dengan Rana.

Rana masih menangis. Phobia itu. Dia yang menciptakannya. Dan dia menyesal.

Ingatannya terlempar begitu saja ke-hari itu. Hari dimana dia mengurung Alinza didalam gudang yang sempit. Bukan tanpa alasan Rana melakukannya, dia hanya ingin membuat Alin jera. Pasalnya anak perempuan itu selalu berbuat ulah disekolahnya, selama itu Rana hanya bersabar. Menasihati Alin agar tidak berbuat kembali. Namun, lagi-lagi anak itu seakan tidak mendengar perkataannya. Anak itu membuat masalah berulang-ulang hingga sampai pada puncak kemarahannya. Rana hanya ingin membuat anak itu jera....
pada awalnya.

Dia mengunci Alin selama 5 jam. Sebenarnya dia juga tidak berniat untuk mengunci selama itu, niatnya hanya setengah jam. Tetapi karena dia tak sengaja tertidur disela-sela pekerjaannya. Saat bangun, Rana langsung panik dan berlari menuju gudang. Mendapati Alin yang pingsan disana membuatnya langsung sesenggukan. Merasa menjadi ibu paling jahat didunia. Merasa dirinya menjadi tidak berguna sebagai orang tua.

Suara kenop pintu yang berbunyi menyadarkan Rana. Dia mendongak melihat seorang Dokter cantik yang baru saja keluar dari ruangan itu. Lantas dia bangkit, menghampiri dokter itu.

"Dok, bagaimana keadaan anak saya?"

"Untuk saat ini, dia sudah baik-baik saja. Pasien butuh istirahat yang cukup dan pola makan yang sehat. Saya juga akan resepkan obat dan vitamin." ujar Dokter itu, saat hendak melangkah, dia tak sengaja bertemu pandang dengan seseorang.

"Bara?"

Rana yang masih berdiri disebelah dokter cantik itu juga menoleh, baru menyadari kehadiran anak laki-laki disana. Dia mengernyit, merasa tidak asing dengan anak itu, seperti sering melihatnya.

Ah, dia ingat. Anak lelaki itu sering terlihat bersama dengan anaknya. Tidak sekali dua kali Rana melihat mereka pulang bersama, seingatnya anak itu juga pernah mampir kerumahnya beberapa kali.

"Kamu ngapain disini?" Tanya Dokter seumuran Daddy-nya.

"Dia teman aku," Bara melirik ruangan tersebut membuat Dokter Brisya mengerti. Lalu memandangnya penuh selidik, "bukannya pacar kamu? setau Tante kamu jarang punya temen cewe?"

Harmony ; family relationshipTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang