Chapter 11

104 37 216
                                    

Semburat kemerahan yang kian meninggi, memperjelas apa yang menjadi pembawa kehangatan sesungguhnya, pun menghilangkan kabut yang menyelimuti bersamaan dengan mencairnya embun dari dunia yang sepenuhnya bangun ini. Keramaian kembali terdengar, aktivitas kembali dimulai. Entah apa pula yang siap menanti hari ini, seakan kuas tinta siap menuliskan kisah pada lembaran kertas yang ada.

Namun, ia yang kisahnya siap tertuliskan ini tampak begitulah terburu-buru meninggalkan kediaman pribadi seolah tidak sudi ceritanya tertulis apalagi terbaca. Yang mana suara gesekan pintu yang dibukakan cukuplah lantang, membubarkan burung-burung yang entah sedang mematuk-matuk apa di halaman bubar dalam kepakan sayap tak menyenangkan.

Akan tetapi, bubarnya burung-burung kecil ini bukan berarti bisa melepaskan begitu saja akan ia yang mengganggu. Melainkan terus memerhatikan, harus bagaimana kiranya membalas manusia berwujud wanita cantik muda ini. Biar kata, hal itu tidak begitu diperlukan karena akan ada hal yang siap membalasnya.

"Xiaojie, tunggu aku!"

Serta merta wanita yang dipanggil nona muda ini menghentikan langkah buru-burunya, tapi bukan karena seruan yang memanggil. Melainkan mendapati ramainya area dari halaman kediaman utama ini dipenuhi akan kotak-kotak merah cerah dalam berbagai jenis ukuran, yang mana pelayan rumah satu demi satu mengangkut, membawa masuk ke kediaman sang ayah.

Apa ini keputusan dari Tuan Liu atas ucapan Da Lin semalam? Terkait percepatan hari pernikahan. Lantas jika memang benar demikian, harus seperti apa Hui Yan menanggapi permasalahan ini? Pun ketidaksenangan akan situasi yang mulai dipahaminya ini, sontak membawa ia mendekati kediaman sang ayah tanpa lupa pula meminta Aching, selaku pelayan pribadi wanitanya ini untuk tidak serta merta mengikuti.

Meskipun memang benar, jikalau masalah pernikahan adalah orang tua yang memutuskan. Namun tetap saja, tidak bisa pula diam-diam seperti ini, bukan? Setidaknya akan lebih baik jika sepatah kata saja diberitahukan, karena hanya dengan begitu Hui Yan akan merasa lebih dihargai dan dihormati sebagai seorang putri dari kediaman ini.

Apa benar sebegitu tidak pentingnya tanggapan dari seorang wanita? Yang bahkan Da Lin, calon dari suaminya sendiri memiliki sifat yang sama saja seperti kebanyakan keluarga bangsawan, merasa diri mereka saja yang terbaik sedangkan orang lain bukanlah apa-apa.

Akan tetapi, ke mana Da Lin pergi? Sama sekali tidak terlihat bayangannya, bahkan Afeng sendiri selaku pelayan pribadinya taklah terlihat. Apa mungkin, setelah ia mengirimkan barang-barang lamaran ini, ia pun pergi begitu saja dengan wajah penuh kemenangan? Begitu percaya diri bahwa pernikahan pasti akan terlaksana.

Lantas, harus bagaimana Hui Yan menyelesaikan masalah ini? Di kala sang ayah sama sekali tidak mendengarkan ucapannya, terus saja sibuk mengarahkan pelayan rumah dalam menempatkan barang lamaran Da Lin ini, pun tanpa lupa meminta berhati-hati. Apakah barang-barang lamaran itu lebih penting ketimbang putrinya? Ataukah hanya alasan saja karena sang ayah tidak ingin mendengar satu pun ucapan dari Hui Yan?

Entahlah apa pun alasannya, yang pasti Hui Yan ingin tahu. Dan bahkan jika itu harus meninggikan suara, atau dianggap tidak sopan ... Hui Yan akan mencoba menahan. Biar kata tahu dengan pasti, sang ayah akan tersulut pula emosinya.

"Aku tanya ... apa maksud semua barang lamaran ini?"

Sang ayah memang tidaklah menjawab langsung, tapi pandangan yang tegas itu lekat diarahkan pada Hui Yan sembari mulut meminta para pelayan sibuk ini keluar meninggalkan mereka, ayah dan anak ini.

"Lusa ... kau akan segera melangsungkan pernikahan dengan Da Lin."

"Bagaimana bisa mendadak seperti ini? Tanpa sepengetahuanku? Bagaimana bisa aku menikahi seorang pria yang sudah menyakiti orang-orangku?"

The Village : Secrets Of Past Life (END)Where stories live. Discover now