05: Aroma Pengharum (Stella) yang Samar Selalu Ditemukannya Jika Ada Dia

287 56 11
                                    

Jisung tahu kalau second gender-nya memiliki satu kemampuan yang tidak begitu berguna yaitu sensitif dengan aroma. Karena hal ini juga, Jisung diharapkan untuk menjadi dokter oleh Ayahnya. Meski sebenarnya Jisung lebih suka menggambar, tetapi dia tahu tidak akan bisa lari dari keinginan Ayahnya lantaran Kakak lelakinya yang tinggal bersama Ibunya di Serawak sana, jelas tidak menjadi dokter dan rumah sakit milik keluarganya membutuhkan penerus.

Siapa bilang anak pertama yang akan mendapatkan beban maksimal untuk menjadi keinginan orang tuanya? Apalagi bilang anak kedua adalah manusia paling menyenangkan karena tidak perlu mengikuti terlalu banyak aturan serta harapan dari orang tuanya, karena jelas kehidupan Jisung tidaklah seperti itu.

Bahkan sebenarnya Jisung sendiri tidak paham dengan status keluarganya. Ayah dan Ibunya hidup terpisah sejak Jisung kelas 4 SD. Membuatnya berpindah-pindah negara untuk bersekolah di Seoul dan Serawak karena orang tuanya ingin dirinya merasakan kasih sayang secara adil.

Memangnya tidak bisa dengan hal sederhana Ibunya yang kembali ke Seoul dan bukan Jisung serta Kakak lelakinya yang dilempar kesana kemari seperti bola pingpong?

Kemudian, Jisung berhenti melangkah dan menoleh karena samar mencium aroma jeruk yang selalu diasosiasikan sebagai pengharum Stella. Pengharum yang varian Jisung sukai jika naik mobil, tetapi Kakak lelaki dan Ibunya tidak menyukainya karena katanya membuat pusing. Sepertinya Jisung benar-benar minoritas di tengah hujatan netizen Indonesia dan Malaysia dengan varian jeruk ini.

Tanpa sadar, Jisung bergumam, "Hyunjin."

Seharusnya, Jisung bisa mengabaikan aroma ini dan melanjutkan perjalanannya menuju rak buku yang hendak dihampirinya. Bukan melangkah mengikuti aroma jeruk—yang akhirnya Jisung menyadari tidak benar-benar persis seperti Stella karena ada aroma vanilla—dan saat akhirnya bisa menghentikan langkahnya untuk tidak menyapa Hyunjin, jarak mereka mungkin hanya 1 meter. Lelaki itu membelakangi Jisung, meski entah kenapa setiap berbicara dengan Hyunjin membuatnya merasa nyaman—hal yang jarang terjadi jika baru mengenal seseorang—tetapi dia tidak pernah mencoba untuk mengenal lelaki itu lebih jauh.

Anggaplah Jisung penakut—apalagi untuk ukuran Alpha sepertinya seharusnya perasaan ini tidaklah eksis—tetapi dia menyadari jika kembaran lelaki itu tidak pernah menyukai kehadirannya. Bahkan Jisung harus menahan diri untuk menghampiri ruang rawat Hyunjin keesokan harinya, padahal sudah berada di lorong rawat inap yang mengarah ke kamar lelaki itu. Namun, seolah semesta berusaha untuk membuat Jisung kembali bertemu Hyunjin.

Tiba-tiba Jisung mencium aroma samar yang mengingatkannya dengan pengharum Stella di akademi melukis milik Kakak Ibunya. Di lain hari, Jisung samar menyadari ada aroma yang membuatnya menemukan Hyunjin tengah melihat kembaran perempuannya—yang kalau tidak salah ingat bernama Yeji—serta lelaki blonde yang tengah bertengkar. Padahal di sekeliling mereka aroma bulgogi yang dimasak sangatlah kuat dan dengan logika Jisung, seharusnya aroma setipis itu tidak akan bisa dideteksinya.

Namun, nyatanya Jisung bisa menemukan Hyunjin.

Kemudian, Jisung menyadari Hyunjin berhenti menganggukkan kepala, mengangkat kepalanya dan berbalik ke arahnya.

Itu hanya senyuman yang mungkin sebagai bentuk keramahan, tetapi kenapa rasa nyaman dan aman tiba-tiba muncul dipikiran Jisung?

"Hai, Jisung." Hyunjin mengangkat sebelah tangannya yang ternyata masih memegang apple pencil yang terselip di antara jari telunjuk dan dari tengahnya. Mungkin karena Jisung tidak kunjung merespon, ekspresi Hyunjin yang tadinya terlihat senang, berubah menjadi khawatir. "Han Jisung ... kamu tidak apa-apa?"

"Hah?" Kebiasaan Jisung, mengucapkan kata yang dipelajarinya dari teman-temannya dari Indonesia di Serawak jika refleks merespon sesuatu. "Oh maksudku ... tidak. Tidak apa-apa." Karena Jisung merasa sudah sampai sejauh ini dan tidak menghampiri Hyunjin akan terasa aneh, jadi dia melangkah mendekatinya. "Kamu sedang apa?"

"Oh..." Hyunjin tiba-tiba menutup iPad yang membuat Jisung yang tadi melirik, heran. "Bukan sesuatu yang penting."

"Benarkah?"

Hyunjin tersenyum dan tatapannya bertemu dengan Jisung. "Ngomong-ngomong, ada janji dengan seseorang ya di sini?"

"Janji?" Jisung mengernyit. "Aku kemari karena ingin membeli buku."

"Ohh...."

Jisung melihat Hyunjin menganggukkan kepalanya, lalu keduanya menoleh ke meja kasir karena menyebutkan nomor antrian. Hyunjin beranjak dari kursinya dengan membawa struk yang sepertinya menyebutkan namanya. Membuat Jisung melihat meja yang ditinggali Hyunjin dan menyadari ada buku sketsa yang terbuka. Namun, bukan gambar yang dilihatnya, melainkan tulisan yang seharusnya membuat Jisung sadar itu bukanlah hal yang boleh dibacanya.

Nyatanya, Jisung membacanya dan ternyata sepotong cerita. Tepatnya sebuah ringkasan cerita yang membuatnya merasakan sesak yang tidak bisa dijelaskan, padahal biasanya Jisung tidak begitu terpengaruh dengan hal-hal melankolis dari berbagai media yang dikonsumsinya.



Judul:
Destiny

Sinopsis:
Dirinya adalah epitome tragedi bernama Bulan. Berotasi kepada Bumi yang dianggapnya sebagai pusat dunianya, tetapi yang menjadi dunia Bumi adalah Matahari. Apa dia harus membuat gerhana agak bisa untuk sekali ini dilihat oleh Bumi?



"Jisung." panggilan itu membuatnya menoleh dan mendapati Hyunjin melihatnya dengan heran. Jisung merasa pandangannya memburam dan memandang ke arah lain untuk menyeka air mata yang ada di matanya, tetapi tidak sampai menetes itu, lalu berbalik ke arah Hyunjin sembari tersenyum. "Kamu benar tidak apa-apa?"

"Aku oke," bohong, Jisung merasakan kesedihan yang tidak bisa dijelaskannya hanya karena membaca tulisan Hyunjin, "hanya tiba-tiba teringat dengan adegan sedih saat mendengarkan lagu ini."

Hyunjin mengerjapkan matanya, tetapi sepertinya tidak ingin memperpanjang urusan. Lalu akhirnya mereka berdua duduk bersebelahan karena sejak tadi Jisung belum duduk. Kemudian menyadari nampan yang dibawa oleh Hyunjin berisi 2 minuman dan sepotong tart dengan topping jeruk dan tart lainnya dengan topping stroberi.

Apa memang Hyunjin menyukai jeruk hingga aromanya terasosiasikan dengan jeruk?

Tidak ... tidak, aroma jeruk itu pasti hanya kebetulan atau mungkin hidung Jisung yang mengalami gangguan. Beta seperti Hyunjin tidak mungkin memiliki aroma.

"Untukmu," suara gelas yang diletakkan membuat Jisung memandangi meja di depannya, lalu menoleh ke arah Hyunjin, "aku lupa kalau Yeji tidak akan bisa menyusulku kalau jam segini. Kebiasaan selalu membeli apa pun dengan jumlah dua."

"Berapa harganya? Aku ganti."

Hyunjin menggeleng sesaat dan memberikan gestur menolak dengan mengayunkan telapak tangannya ke kiri lalu ke kanan dalam tempo cepat. "Tidak perlu, aku tidak akan bisa menghabiskan minumannya sendiri. Oh benar, kuenya ada dua. Mau yang mana?"

Jisung akhirnya mengatakan sesuatu karena menyadari Hyunjin tidak berhenti memandangnya dan tiba-tiba kenyataan itu membuatnya gugup. "Yang tidak ingin kamu makan."

Hyunjin memberikan tart stroberi, padahal tadinya Jisung pikir akan diberikan yang jeruk. Pada akhirnya, mereka tidak mengatakan apa pun karena Hyunjin kembali sibuk dengan buku sketsanya. Jisung tidak melihat banyak tulisan seperti sebelumnya, tetapi dari lirikannya dia bisa melihat beberapa gambar yang dibuat dengan pensil HB.

Lalu kenapa Jisung merasa kesal sendiri saat melihat sketsa bintang jatuh yang tengah menatap bulan?

Cosmic Railway | HyunsungWhere stories live. Discover now