08: Cara untuk Mengontrol Rasa Sakit Hati, Tahu Definisi Cinta Itu Sendiri

239 43 11
                                    

"Kalau saranku ya, daripada sakit hati cuma bikin sesak sampai rasanya mau mati, mendingan kamu ubah jadi tulisan terus masukin ke website kepenulisan." Saran Felix saat sepupunya menginap di apartemennya dan Yeji masih belum pulang dari akademi. "Siapa tahu diterima buat jadi cerita berbayar. Menyeka air matamu dengan uang sepuluh ribu won lalu meremasnya terdengar keren."

Hyunjin mendengarnya hanya menggelengkan kepalanya. Imajinasinya Felix rasanya lebih tinggi daripada milik Hyunjin, tetapi pada akhirnya dia melakukan perkataan sepupunya itu seminggu kemudian. Karena seharusnya perjalanan membelikan obat nyeri ke apotek serta tart stoberi di 7/11 tidaklah diharapkan seperti membuatnya hampir mati karena sesak akibat rasa sakit.

Siapa lagi yang bisa membuat Hyunjin seperti itu kalau bukan Jisung? Juga Hyunjin berharap dia tidak pernah bertemu dengan Jisung sejak awal atau setidaknya, tidak pernah bertemu di akademi sehingga dia tidak tahu orang yang tengah bersama lelaki itu adalah orang yang dicintainya.

Yeji tampak hendak mengamuk saat Hyunjin membuka pintu apartemennya, tetapi sepertinya dia melihat kembarannya yang menyedihkan—karena dirinya paling payah menyembunyikan rasa sakit—dan membuatnya mendengar, "Kemari, kamu bisa menangis di bahuku."

Hyunjin berharap dia tidak begitu perasa dan bisa seperti Yeji yang mampu menyembunyikan semuanya dengan rapi. Satu-satunya jejak Yeji menumpahkan semua perasaannya adalah di akun menulis online yang menuliskan cerita fanfiksi idola yang sesama jenis. Hyunjin tidak begitu ingat nama grupnya, tetapi jumlahnya ada 11 orang dan grup yang mampu membuat Yeji yang biasanya kuat menghadapi semuanya, menangis 4 hari berturut-turut hingga tidak masuk sekolah karena berita pembubaran grup tersebut. Membuat Yeji di hari kelima mengalami demam hingga tidak sadarkan diri dan Hyunjin tersadar dia tidak pernah siap ditinggal sendirian oleh kembarannya untuk selamanya.

Namun, tidak menyenangkan memiliki kembaran yang sejak lama menjadi penulis—meski hanya fanfiksi online—adalah Hyunjin sampai dipaksa untuk duduk dan membaca buku dasar-dasar kepenulisan karena memberikan 1 bab awal ceritanya untuk dinilai. Rasanya, lebih mudah menggambar daripada menulis. Terlalu banyak kata berbeda yang maknanya sebenarnya sama harus diingatnya, rima yang harus diperhatikannya, tanda baca yang harus diletakkan secara sesuai, dan paling terpenting, membuat semuanya harus memiliki emosi yang terkoneksi oleh orang-orang yang membacanya.

"Sebenarnya, menggambar lebih menghasilkan uang daripada menulis," perkataan Yeji saat mengoreksi tulisan Hyunjin ketujuh kalinya dalam rentang waktu 4 hari, "jadi kalau dirimu lelah dengan semua revisi dan belajar dasar menulis, ada alternatif lainnya."

Mungkin maksud Yeji baik, tetapi Hyunjin merasa tersinggung karena diremehkan. "Aku bisa menulis, Yeji!"

"Aku tidak memarahimu, kenapa aku dibentak?"

Hyunjin mendelik dan Yeji hanya bisa menghela napas. Terkadang dia lupa kalau Hyunjin itu sensitif dan bahkan kalimat yang tidak bermaksud untuk menyinggung bisa ditangkap berbeda dari yang dimaksud oleh Yeji. Meski sebenarnya Yeji tidak begitu paham alasan Hyunjin keras kepala untuk menulis cerita dan dari bab yang terus direvisinya, ini seperti tentang kembarannya dan Jisung. Yeji berharap kalau membunuh bukanlah tindakan kriminal, dia sudah sejak lama menyingkirkannya karena dia juga ikut merasa sakit hati setiap melihat Hyunjin yang memperlihatkan rasa sakit hanya karena menyadari Jisung berada disekitar mereka dengan seseorang.

"Hyunjin," panggilan Yeji hanya dijawab dengan gumaman karena lelaki itu tengah membuka kamus lantaran tidak tahu arti kata yang dituliskan olehnya sebagai kata ganti kata yang terus diulang pada cerita yang ditulisnya, "kamu saat bersamanya apa pernah merasakan debaran seperti jatuh cinta?"

Pertanyaan itu membuat Hyunjin berhenti membuka halaman kamus yang super tebal—bayangkan kamusnya seberat 3 kilogram karena jumlah halamannya mencapai 2040—dan melihat Yeji yang tengah memangku laptop dan mengenakan kacamata. Meski penglihatan Yeji tidak ada masalah, dia selalu menggunakan kacamata jika ingin fokus terhadap sesuatu yang dikerjakannya. Diam-diam Hyunjin berpikir untuk membeli kacamata yang sama dengan Yeji untuk bisa membuatnya fokus dalam menulis dan bukannya malah mengalami mental breakdown saat melamun untuk plot ceritanya.

"Hyunjin, aku bertanya kepadamu." Panggilan Yeji membuat Hyunjin tersadar dia mengabaikan kembarannya.

"Sorry, gak dengar tadi." Bohong, Hyunjin jelas mendengarnya dan satu-satunya cara untuk selamat dari omelan Yeji adalah dengan alasan ini. "Kenapa tiba-tiba bertanya hal seperti itu?"

"Hanya penasaran, apa konsep jatuh cintamu memang seperti orang-orang gambarkan meski kalian adalah bentuk penyimpangan?"

"Berhenti berbicara dengan puitis, ini bukan cerita fanfiksimu."

Yeji berdecak dan Hyunjin menghela napas panjang. Karena benar juga, setelah dipikirkan kembali, dia tidak pernah benar-benar berdebar seperti deskripsi komik cantik yang Yeji koleksi—yang sebenarnya bodoh sekali mencari refrensi cinta dari cerita fiksi yang plotnya terlalu sederhana—atau pun dari beberapa novel yang dibacanya. Hyunjin membaca novel juga baru-baru ini sebenarnya, karena dia sudah kehabisan refrensi kafe lucu untuk membolos dan membuatnya berakhir di toko buku.

Jadi sebenarnya Hyunjin rasakan kepada Jisung itu apa?

Hanya reaksi alamiah karena Jisung adalah takdirnya, tetapi hatinya Hyunjin tidak benar-benar jatuh kepada lelaki yang menjadi takdirnya atau bagaimana?

"Pertama, jangan mencari refrensi jatuh cintamu dari fiksi," perkataan Yeji membuat lamunan Hyunjin buyar dan menatap kembaranya yang masih fokus mengetik, "kamu tahu kenapa novel, komik, film, lagu, dan segala turunannya disebut fiksi? Karena kebanyakan tidak benar-benar dari realitas dan menuliskan versi ideal dari pemikiran pembuatnya."

"Tapi...."

"Meski mereka bilang menggunakan riset sekali pun, Hyunjin, tetap ada bagian dari cerita itu yang dibuat dengan berlebihan agar mencapai versi ideal yang membuatnya." Yeji berhenti mengetik dan menatap Hyunjin. "Kedua, kalau kamu berpikir sebenarnya rasa sakitmu karena reaksi mencintai Jisung, maka bisa jelaskan kepadaku apa yang membuatmu menyukainya?" Hyunjin terdiam, karena tidak tahu harus mengatakan apa dan rasanya waktu berlalu begitu lambat sampai akhirnya mendengar Yeji menghela napas panjang. "Kalau tidak bisa, mungkin kamu hanya mencintai konsepnya, bukan orangnya, Hyunjin."

Hyunjin kadang lupa, meski Yeji selalu bilang tidak suka belajar dan lebih banyak terlihat bermain, bukan berarti dia mudah untuk dibantah jika tengah beradu argumen. Yeji dan pikiran logisnya karena banyak membaca—apa pun, bahkan koran yang tidak menarik pun akan baca—dan meski Hyunjin sering meledek hobi kembarannya yang terlihat intelektual tidak sesuai dengan penampilannya, tetapi pada akhirnya dia sendiri yang sering meminta jawaban atas pertanyaan-pertanyaannya.

"Ketiga, kamu mungkin tidak bisa mengubah takdirmu. Pun kamu mungkin tidak bisa menghindari rasa sakit saat melihatnya." Yeji menatap Hyunjin tanpa emosi dan sejujurnya, itu menyeramkan. Serius, Hyunjin lebih terima Yeji dengan ekspresi terganggu atau siap mengomelinya tiap melihatnya daripada tidak menampilkan emosi apa pun. "Tapi mungkin kamu bisa mengurangi rasa sakitnya dengan menyadari definisi cinta untuk dirimu. Jangan tanya kepadaku, jangan bergantung kepada fiksi atau artikel, tapi tanya kepada dirimu sendiri."

"Tapi aku tidak tahu mauku seperti apa?!"

"Memangnya semua orang punya jawaban atas pertanyaannya?"

"Kamu pasti punya!"

"Aku tidak punya. Sebenarnya, semua orang tidak punya jawaban pastinya." Yeji menatap layar laptopnya dan kemudian mulai mengetik kembali. "Cinta bukan matematika, karena setiap orang memiliki formulanya sendiri yang tidak akan pernah sama. Sayangnya, yang tahu formulanya hanya dua orang yang menjalaninya."

"Yeji."

"Hmm?"

"Bahasamu teknis sekali, aku pusing."

Sebenarnya Hyunjin hanya bercanda, tetapi mana dia menduga kalau Yeji melempar bantal sofa tepat ke wajahnya dengan sekuat tenaga. Membuatnya meringis dan mendramatisir keadaan kalau dia kesakitan. Yeji tidak merespon apa pun karena memasang earphone, tidak ingin mendengar lebih banyak dramatisasi Hyunjin yang nanti berujung membuatnya overthinking saat waktunya tidur.

Cosmic Railway | HyunsungDonde viven las historias. Descúbrelo ahora