22: Menangkap Perasaannya untuk Mencegah Jatuh Terlalu Dalam

119 18 5
                                    

"Aku dengar dari Chan Hyung kalau kalian berpacaran," ucap Felix saat menemani Hyunjin membeli peralatan melukis. Tentu itu membuat Hyunjin membeku, kemudian berpura-pura untuk tidak terpengaruh, tetapi kemudian mendengar, "Apa kamu tidak apa-apa?"

"Tidak apa-apa apanya?"

"Kalau ini hari biasa, aku akan bilang perkataanmu berima." Felix menghela napas panjang. "Jadi kamu memutuskan untuk mengikuti jalan seperti samchoon dan ahjumma?"

Hyunjin mendengarnya hanya berdecak. "Aku hanya berpacaran, bukan menikah dengannya, Felix." Sebenarnya Felix hendak mengatakan sesuatu, tetapi Hyunjin menimpali, "Lagipula aku hanya mencoba untuk menangkap hatiku untuk tidak menjatuhkan kepada orang yang tidak akan melihatku sampai akhir."

Felix tidak mengatakan apa-apa setelahnya dan Hyunjin bersyukur setidaknya mulutnya tidak memberikan informasi tambahan yang akan mengacaukan segalanya. Karena ada beberapa hal yang sebaiknya tidak perlu orang lain ketahui, bahkan Felix yang merupakan orang yang paling dekat bagi Chan.

Koreksi, justru karena dia Felix maka Hyunjin harus menutup rapat mulutnya untuk Bangchan.

"Hyunjin...," panggil Felix yang membuatnya menoleh ke arah sepupunya itu, "bisa temani aku ke toko buku? Novel yang aku pesan ternyata sudah sampai."

"Novel yang mana lagi?"

Felix hanya tertawa dan Hyunjin berkaca pinggang sembari berdecak. Karena rasa-rasanya kamar Felix sudah seperti gudang karena rak bukunya sudah tidak muat menampung semua novel yang dibelinya dan banyak buku berakhir bertumpukkan di lantai. Bahkan saat orang tua Felix sampai membatasi uang jajan sepupunya itu dengan harapan menghentikan obsesinya untuk membeli dan membaca buku, tetaplah tidak begitu berguna karena Felix bekerja sambilan untuk membeli buku-buku yang mau dibacanya.

"Lix, kamu mau simpan bukunya di mana? Ongke bisa membuangnya kalau dia kembali ke rumah."

"Apa gunanya aku punya sepupu dua orang seperti kalian?" tanya Felix sembari tersenyum lebar. "Tentu saja semua bukunya akan berakhir di kamar Yeji dan kamarmu."

"Jadi kamu yang membuat kamarnya menjadi penuh dengan rak buku?!"

Felix hanya tertawa dan Hyunjin mendadak merasa pusing karena membayangkan kamarnya akan bernasib sama seperti Yeji. Bukannya Hyunjin tidak suka, tetapi rasanya setiap bangun tidur dan yang menyambutnya adalah rak-rak buku membuatnya terasa seperti manusia yang sangat intelektual. Tentu terasa seperti lelucon karena Hyunjin bisa naik kelas tanpa nilai di bawah standar adalah sebuah keajaiban.

Bukan berarti Hyunjin tidak suka sama sekali dengan membaca, tetapi sebagai manusia yang sangat amat sadar diri kalau lebih peduli dengan visual daripada konten bukunya sendiri, Hyunjin hanya membatasi bacaannya pada komik. Meski sekarang Hyunjin mencoba untuk membaca novel—yang awalnya terasa seperti siksaan karena semuanya hanyalah tulisan—dan itu juga karena meminta ulasan mini dari Yeji untuk menyakinkan bahwa kemampuan otaknya mampu memproses bukunya sampai akhir.

Setidaknya, Felix bukanlah orang yang penasaran dan akan mengejarnya hingga akhir. Itu membuat Hyunjin lega, karena dia tidak perlu melanjutkan penjelasan hubungannya dengan Bangchan dan justru akan berakhir membuat semuanya lebih berantakan.

Meski Hyunjin merasa lebih baik mengasihani dirinya sendiri. Karena sampai akhir, tidak ada yang benar-benar memang mengharapkan dirinya untuk bersamanya hingga akhir. Orang yang menjadi takdirnya justru menyukai orang lain dan orang yang menjadi pacarnya sekarang sebenarnya menyukai sepupunya.

Namun, menurut Hyunjin apa yang Bangchan rasakan jauh lebih bisa ditolerirnya. Karena setidaknya, Bangchan sejak awal memang sudah memberitahukan Hyunjin. Meski hatinya memang bukan untuknya, setidaknya dia menepati perkataannya untuk memperlakukan Hyunjin dengan baik.

Entahlah. Ini keputusan yang terbaik atau yang terburuk, tetapi Hyunjin sejujurnya sudah menyerah untuk memenangkan perasaannya. Karena setiap Hyunjin membiarkan perasaannya mengambil alih, nyatanya hanya rasa sakit yang tidak bisa dihadapinya yang didapatkan.

Oke, Yeji akan mengomeli Hyunjin jika mengetahui semuanya—juga dengan kemungkinan besar Bangchan akan dipukul oleh kembarannya itu—tetapi dari novel yang terakhir dibacanya, perasaan yang positif adalah tentang kompromi. Hyunjin mencoba melakukannya dengan Bangchan dan sejauh ini, tubuhnya tidak memberikan reaksi yang negatif.

Itu seharusnya lebih dari cukup.

"Bangchan Hyung tidak bergabung bersama kita?" tanya Felix saat sudah setengah perjalanan menuju toko buku yang kemudian dibelokkan menjadi ke restoran daging.

"Dia kuliah, Felix."

"Oh iya, aku suka lupa kalau dia kuliah arsitektur karena terlalu sering muncul disekitarku."

Hyunjin hanya tersenyum mendengarnya, meski itu membuatnya menghela napas. Padahal menurut Hyunjin, sepupunya adalah orang yang lebih peka darinya. Namun, ternyata tidak juga, karena nyatanya kehadiran Bangchan di sekitar Felix tidak berarti apa-apa bagi sepupunya itu.

Mungkin seperti kalimat dari novel yang pernah Hyunjin baca dari rak buku Yeji—atau mungkin milik Felix, entahlah—yang kalau tidak salah intinya tentang karma dunia itu bekerja sesuai dengan yang dilakukan lelaki tokoh utama kepada tokoh utama perempuan.

Jatuh cinta kepada orang yang nyatanya tidak mencintai balik barang sedetik pun.

"Hyunjin, kita makan ayam goreng aja ya."

"Hah?" Hyunjin mengernyit saat mendengar perkataan Felix. "Bukannya kamu bilang mau makan daging? Kita bahkan sudah sampai di depan restorannya."

"Aku sudah tidak berminat makan daging lagi," perkataan Felix membuat Hyunjin berdecak, tetapi membiarkan dirinya ditarik oleh Felix untuk mengikuti langkahnya, "mau half-half atau satu orang satu ayam? Aku yang bayar karena dirimu pacaran dengan Bangchan Hyung."

"Terserahhhh."

"Jawaban lembek macam apa itu, Hyunjin?"

Hyunjin berdecak, tetapi kemudian tertawa karena mendengar Felix tertawa. Semakin lama aroma bumbu dapur yang Hyunjin selalu asosiasikan dengan Jisung semakin memudar dan akhirnya hilang. Membuat Hyunjin merasa lega karena ternyata itu memang aroma yang berasal dari restoran yang tadi mau didatangi olehnya dan Felix, bukan karena aroma Jisung.

"Ckckck ... kasihan sekali tupai ini," perkataan Minho yang terdengar simpatik, sangat tidak sesuai dengan ekspresi wajahnya yang menyeringai, "oke, biarkan aku flexing dengan membayar makan kita semua hari ini."

"Memang giliranmu harus membayar hari ini, bodoh."

"Untung dirimu Seo Changbin jadi aku biarkan dirimu memanggilku bodoh."

Mulut Jisung sudah terbuka, hendak mengatakan protesan kalau dua orang ini lebih baik berpacaran saja daripada seperti sekarang di depannya. Namun, tidak ada suara yang bisa dikeluarkannya, karena kenyataannya kepalanya tidak bisa merangkai kata apa pun.

Hanya karena mendengar Hyunjin berpacaran dengan lelaki yang sejak awal tidak disukai kehadirannya.


Cosmic Railway | HyunsungWhere stories live. Discover now