21: Mencari Cara untuk Berhenti Merasa, Meski Hanya Sesaat

134 20 4
                                    

"Apa dia membuatmu bersedih lagi?" tanya Bangchan yang membuat Hyunjin mengangkat wajahnya dan ternyata yang duduk di depannya sekarang adalah lelaki itu. Entah Jeongin berada di mana, tetapi Hyunjin tidak berniat bertanya. "Aku tahu, menangis itu adalah salah satu cara untuk mengeluarkan emosi, tapi rasanya tidak pantas untuk kamu tangisi."

"Tapi...."

"Hyunjin, saat dia membuat orang lain salah paham dengan sikapnya, itu bukan tanggung jawabmu untuk merasa bersalah untuknya karena tidak mengerti maksudnya." Bangchan memotong perkataan Hyunjin, kemudian menyodorkan tisu. "Oke, maaf aku memotong perkataanmu, saat aku yang seringnya memintamu untuk tidak membiarkan orang lain melakukan kepadamu."

Hyunjin tidak menjawab, tetapi mengambil tisu untuk menyeka hidungnya karena ingus yang keluar tanpa peringatan, lalu kembali menundukkan kepalanya. Medengar suara helaan napas dan Hyunjin tidak ada niatan untuk menjawab, karena memang perkataan Bangchan benar. Juga Hyunjin sudah menyerah untuk menjaga citranya di depan Bangchan.

Karena memangnya sejak kapan Hyunjin punya harga diri di depan Bangchan?

"Sudah lebih baik?" tanya Bangchan saat Hyunjin bangkit dari tempat duduknya.

"Belum, tapi aku lapar."

"Aku tahu tempat makan enak dekat sini."

"Oke."

Keduanya berjalan keluar dan Hyunjin merasa sedikit lebih baik karena Bangchan tidak mencoba untuk menghentikannya menangis. Tidak peduli dengan tatapan semua orang saat berpapasan dengan Hyunjin, karena sialnya air matanya tidak bisa diberhentikan.

Entahlah, Hyunjin bahkan tidak tahu tangisannya karena merasa sedih atau untuk perasaan yang tidak bisa didefinisikannya. Mungkin karena Hyunjin masih percaya bahwa kisah cintanya bisa seperti cerita-cerita romansa yang dituliskan oleh semua orang. Padahal Hyunjin sudah berkali-kali diingatkan oleh Yeji untuk tidak menjadikan fiksi sebagai patokan untuk jatuh cinta.

Namun, apa salah berharap meski hanya untuk satu persen bahwa itu bisa menjadi kenyataan?

Ah, memang benar. Segala sesuatu yang berlebihan akan berakhir buruk, termasuk membiarkan perasaan mengambil alih logika.

"Kalau menganggapku menyedihkan, tidak apa-apa," perkataan Hyunjin membuat Bangchan yang baru duduk, mengernyit. "Sejak tadi aku lihat Hyung hendak mengatakan sesuatu, tetapi terus menahannya. Tidak apa-apa, katakan saja kenyataannya."

"Aku tidak berpikir seperti itu."

"Tidak perlu menjaga perasaanku, Bangchan Hyung. Kenyataan memang menyakitkan, tetapi aku lebih baik mendengarnya sekarang."

Bangchan mendengarnya hanya menghela napas panjang. Menatap Hyunjin, lalu berkata, "Dengar, Hyunjin. Aku tidak tahu alasanmu berpikir diriku akan mengatakan hal itu, tapi alasan aku menahan diri untuk mengatakan sesuatu karena aku tahu pertanyaanku tidak ada gunanya."

"Apa yang membuat Hyung berpikir seperti itu saat belum menanyakannya kepadaku?"

"Apa menurutmu saat aku bertanya 'Apakah perasaanmu sudah lebih baik?' saat air matamu terus mengalir itu tidak akan terdengar sia-sia?" tanya Bangchan yang membuat Hyunjin terdiam. "Kadang aku merasa, pertanyaan yang memang ditanyakan untuk menunjukkan rasa kepedulian akan terdengar seperti pertanyaan bodoh saat bisa melihat jawabannya tanpa menanyakannya."

Hyunjin tidak mengatakan apa pun dan saat pesanan mereka di antarkan ke meja, hanya gumaman selamat makan yang diucapkan keduanya. Setidaknya perkataan Bangchan tentang tempat makan yang enak tidaklah berbohong, karena entah menangis mengambil energi Hyunjin begitu banyak sehingga dia menghabiskan kalguksu-nya seolah hanya dengan kedipan mata. Kemudian, Hyunjin baru merasa panik karena dia teringat harus makan menyesuaikan ritme dengan orang yang lebih tua.

"Hyunjin, kamu tidak apa-apa?" tanya Bangchan yang khawatir melihat sikap Hyunjin.

"Aku ... aku minta maaf."

"Apa?"

"Aku makan lebih cepat dari Hyung. Harusnya aku ... aku...."

Hyunjin terlalu panik dan bahkan tidak sadar kalau penjelasannya terhenti di tengah jalan. Mendadak, Bangchan yang ada di depannya memudar dan digantikan dengan sebuah tempat yang familiar. Kemudian Hyunjin melihat Ayahnya yang berteriak karena Hyunjin yang makan lebih cepat darinya.

Entah apa yang dikatakan setelahnya, tetapi saat asbak batu giok yang diangkat Ayahnya dan diangkat untuk mengarah ke arahnya. Hyunjin refleks menutup matanya. Namun, saat kembali membuka matanya, Hyunjin tersadar kalau dia sudah kembali ke tempat makan bersama Bangchan.

Butuh beberapa kali kedipan untuk Hyunjin tersadar kalau Bangchan tidak ada di depannya. Juga butuh lebih banyak waktu untuk memproses kalau sekarang setengah tubuhnya tengah dipeluk oleh Bangchan karena aroma parfum serta rasa yang membuatnya tahu hal ini.

"Hyung, kenapa...?"

Bangchan tidak membiarkan Hyunjin menyelesakan perkataannya dan justru bertanya, "Kamu yang kenapa, Hyunjin?! Kamu seperti orang ketakutan dan baru merespon setelah aku memelukmu."

Pertanyaan itu tidak langsung Hyunjin jawab, karena sejujurnya dia bingung harus memulai penjelasan dari mana. Bahkan, Hyunjin tidak tahu yang dilihatnya tadi adalah momen di tahun kapan, karena dia tidak pernah mengingat bahwa itu pernah terjadi kepadanya.

"Hyunjin, apa kamu masih bersamaku?"

"Hyung ... bisa lepaskan aku? Aku pusing."

Bangchan hanya menghela napas, tetapi memang pada akhirnya melepaskan Hyunjin. Meski jelas sekali kalau lelaki itu mengkhawatirkan Hyunjin dan terus menatapnya seolah kalau tidak dilakukan maka dirinya akan menghilang. Sejujurnya itu justru membuat Hyunjin gelisah, karena mengingatkannya kalau tidak akan pernah lepas dari pengawasan seseorang.

Hyunjin benci hal itu karena merasa dirinya tidak dipercaya untuk bertanggung jawab atas kehidupannya sendiri.

"Aku bisa membayar bagianku," protes Hyunjin saat Bangchan membayarkan makanannya di kasir.

"Lain kali kamu bisa melakukannya."

"Itu adalah jawaban Hyung setiap kita pergi bersama."

Bangchan hanya tersenyum dan menarik Hyunjin untuk menepi, karena ada orang lain di belakang mereka yang mengantri. "Lanjutkan omelanmu di luar, jangan menghalangi orang lain untuk membayar makanannya."

Hyunjin hanya berdecak, tetapi tidak benar-benar mengomel saat berada di luar. Karena terlalu banyak hal yang terjadi pada hari ini dan Hyunjin terlalu lelah. Bahkan rasanya Hyunjin tidak yakin kalau memiliki energi yang cukup untuk pulang ke apartemen. Jadi Hyunjin tidak mengatakan apa-apa saat Bangchan mengantarkannya pulang, meski tahu tempat tinggal mereka berlawanan arah. Meski di saat biasa pun, Bangchan akan melakukannya meski Hyunjin sudah memaksa untuk ditinggalkan karena bisa pulang sendiri.

"Hyunjin...," panggil Bangchan yang membuatnya tersadar kalau sudah berada di depan tower apartemennya.

"Oh," Hyunjin menyadari kalau dia sudah sampai, "terima kasih sudah mengantarku."

Seharusnya, hanya seperti itu. Karena memang biasanya memang basa-basinya Hyunjin kepada Bangchan saat diantarkan pulang oleh Bangchan. Namun, begitu mendengar perkataan Bangchan selanjutnya, butuh beberapa waktu untuk Hyunjin memproses dan tanpa sadar, dia mengerjapkan mata beberapa kali, karena merasa salah mendengar.

"Bangchan Hyung ... tadi bilang apa?"

"Aku bilang...," Bangchan menatap Hyunjin, kemudian menghela napas panjang, "bagaimana kalau kita pacaran? Kita memang bukan pasangan yang seharusnya dibuat oleh 'takdir' sialan itu, tetapi setidaknya aku bisa membahagiakanmu."

Hyunjin bisa mengatakan banyak hal untuk menolak, tetapi dia tidak mengatakan apa-apa tentang ini. Memandang tower apartemennya, kemudian berkata, "Bangchan Hyung hati-hati di jalan. Aku duluan."

Cosmic Railway | HyunsungWhere stories live. Discover now