18: Berharap Adalah Awal dari Rasa Sakit

159 25 4
                                    

Hyunjin pikir, saat Jisung memutuskan untuk mengenalnya lebih baik, itu karena dia tahu hal yang sebenarnya. Namun, Hyunjin hanya bisa tersenyum meski rasanya sekarang sesak dan membuatnya berpikir lebih baik mati daripada di situasi ini. Sekaligus menyadari kebodohan Hyunjin karena terlalu berharap kepada Jisung.

Karena berada di antara Jisung dan Jeongin membuat Hyunjin menyadari bahwa takdirnya itu adalah sebuah kesalahan. Meski memang ini pertemuan keduanya bersama Jisung, tetapi bersama Jeongin tidak ada dalam rencananya. Namun, tidak mungkin Hyunjin menunjukkan kekesalannya saat Jeongin ikut bergabung di meja mereka saat melihat keduanya di kafe.

"Hyunjin Hyung, apa kamu sakit?" tanya Jeongin yang membuat Hyunjin mengerjapkan matanya dan melihat lelaki itu menatapnya khawatir.

"Tidak." Hyunjin kemudian secepatnya menambahkan penjelasan ke jawabannya barusan. "Maksudku ... aku tidak apa-apa."

"Benarkah? Hyunjin Hyung tampak murung sejak tadi."

"Aku tidak apa-apa." Hyunjin tersenyum, meski kalau perkataannya dipercaya, dia akan menertawakannya. Kata Yeji, dia pembohong yang payah dan kalau Hyunjin bisa lolos dengan kebohongannya ini, dia perlu mempertanyakan keadaan dunia. "Aku hanya memikirkan tenggat waktu tulisanku."

"Kamu benar-benar menulis webnovel?" tanya Jisung yang membuat mata Hyunjin membesar karena terkejut, lalu menoleh ke arahnya. Jisung tampak heran dengan tatapan Hyunjin yang terlihat terkejut, "Aku tidak salah bertanya, 'kan?"

"Bagaimana kamu tahu?"

"Temanku hampir setiap hari bercerita tentang tulisan Sam Hwang."

"Kenapa yakin sekali kalau aku Sam Hwang?"

"Aku tidak berpikir untuk mempercayai asumsi tidak berdasarku, tetapi kamu sendiri yang memberiku jawaban, Hyunjin."

Hyunjin memutuskan untuk diam dan kembali menatap gelas minumannya. Sebenarnya, Hyunjin tidak menyukai kopi, tetapi belakangan dia meminum ice americano. Bukan untuk membuat Hyunjin terjaga sepanjang malam, tetapi untuk alasan yang bodoh. Mengingatkan Hyunjin kalau takdir kehidupan cintanya itu sepahit minumannya, ice americano.

Meski Hyunjin yakin, Yeji dengan suka rela memukul sebelah bahunya karena bagi kembarannya, minuman pesanannya tidak ada rasanya. Toleransi Hyunjin untuk hal yang pahit memanglah tidak sebaik Yeji.

Rasa sesak itu tentu masih ada dan justru semakin kuat, karena Jisung dan Jeongin mengobrol. Meski Jeongin selalu berusaha melibatkan Hyunjin untuk berbicara, nyatanya itu tidaklah bisa untuk membuatnya berinisiatif untuk ikut dalam obrolan mereka. Aroma Jisung yang satu komposisinya lebih menguat dari biasanya tentu membuat Hyunjin tahu orang yang diharapkan itu bukanlah dirinya. Meski Hyunjin tahu kalau perasaan tidak semudah itu berubah, tetapi bohong kalau dia tidak merasa sesak.

Kemudian, Hyunjin mendengar dering telpon dari ponselnya di meja. Kebiasaan Hyunjin yang selalu membalik layar ponselnya saat sedang berada di luar karena tidak mau mengabaikan orang yang tengah bersamanya. Namun, ironisnya sekarang Hyunjin tengah diabaikan karena menjadi orang ketiga di meja ini.

Karena ponsel Hyunjin memiliki fitur mengangkat telpon otomatis saat ditempelkan ke telinga, jadi dia tidak tahu siapa yang menelepon. Asumsi Hyunjin, mungkin Yeji.

"Halo."

"Hei, Hyunjin. Tidak mau keluar dan pergi bersamaku?" suara itu membuat Hyunjin mengernyit dan kemudian mendengar tawa. "Hahaha ... maaf aku tertawa karena melihat ekspresimu. Aku barusan melihatmu di dalam kafe, Hyunjin. Lalu aku memutuskan untuk keluar dan meneleponmu."

"Oh, oke."

"Sepertinya duduk di sana benar-benar menyakitkan sampai dirimu tidak mencoba untuk mempertanyakan motifku seperti biasanya."

"Tunggu sebentar, aku segera menyusul," ucap Hyunjin, tetapi tidak menyangkal yang dikatakan oleh Bangchan. Kemudian, Hyunjin menyadari kalau ternyata Jisung dan Jeongin sudah berhenti berbicara dan tengah menatapnya. Aroma Jisung menjadi tajam, tetapi Hyunjin tidak mau berpikir alasannya karena rasa sesaknya. "Aku sudah dijemput temanku, tidak apa-apa 'kan kalau aku pergi duluan?"

"Hyunjin Hyung apakah...?"

"Kenapa tidak bilang padaku sejak awal kalau kamu tidak baik-baik saja?" tanya Jisung yang tampaknya tidak menyadari kalau dia memotong perkataan Jeongin.

Tentu Hyunjin tidak paham alasan Jisung yang merasa kesal kepadanya, padahal dia sejak tadi hanya diam. Padahal kalau boleh meluapkan perasaannya, seharusnya Hyunjin yang merasa marah saat ini lantaran Jisung yang membuatnya harus duduk bersama dengan Jeongin.

Namun, Hyunjin hanya menghela napas. Merasa bodoh berharap Jisung untuk mengerti, karena bukankah lelaki itu tidak mengetahui takdir bodoh yang mengikat Hyunjin dengannya.

Kemudian, Jisung berdiri. Menarik sebelah tangan Hyunjin untuk ikut berdiri. Tentu Hyunjin tidak menyangka akan mendapatkan perlakuan seperti ini. Meski akhirnya Hyunjin berdiri, dia cukup limbung. Cengkraman di tangannya yang cukup kuat dan membuat Hyunjin meringis.

"Jisung Hyung...."

Jisung tidak membiarkan Jeongin menyelesaikan perkataannya lagi, karena hanya fokus memandang Hyunjin dan berkata, "Ayo pergi. Aku akan membawamu ke rumah sakit."

"Tapi aku...."

"Kamu sejak awal yang pergi bersamaku, kenapa aku harus membiarkanmu diantarkan pulang bersama orang lain?!" tanya Jisung dengan nada tinggi yang membuat Hyunjin dan Jeongin terkejut.

Apalagi sekarang semua orang sekarang menatap ke arah mereka dan Jisung hanya menghela napas panjang. Mengambil barang-barang Hyunjin dan memasukkannya ke dalam totebag secara asal, lalu membawanya. Menarik Hyunjin untuk mengikuti langkahnya dan meski saat di luar mereka bertemu dengan Bangchan, tidak ada yang bisa dilakukannya. Karena Jisung berjalan dengan cepat dan Hyunjin bahkan baru mulai memproses apa yang tengah terjadi kepadanya.

Hyunjin pikir, jika dia ada di situasi seperti ini, maka dia akan merasa senang karena akhirnya Jisung lebih memilihnya. Namun, nyatanya Hyunjin semakin lama merasa sesak di dadanya bahkan tidak berkurang. Meski sekarang Hyunjin hanya bersama Jisung.

Seharusnya Hyunjin mengingat pesan Yeji untuk tidak menyamakan kehidupan nyata dengan fiksi. Namun, pada situasi ini Hyunjin tidak bisa untuk tidak mempertanyakan orang-orang yang menuliskan cerita bahwa situasi seperti ini di cerita romansa adalah gestur peduli dan menunjukkan cinta.

Karena Hyunjin tahu, ini bukan cinta dan kepalanya semakin merasa sakit. Hal terakhir yang Hyunjin ingat sebelum gelap benar-benar mengambil alih dirinya adalah teriakan Jisung memanggil namanya.

Cosmic Railway | HyunsungWhere stories live. Discover now