14. Ngambek

3.1K 182 3
                                    



Jam sembilan tepat aku dan Mas Arbi sampai di rumah ibu, kerutan dahiku muncul saat banyak orang yang juga sepeda motor terpakir di depan rumahku dan rumah Dek Rara.

Apa lagi banyak orang yang mondar mandir dari rumah ke rumah, ada apa ini sebenarnya?

"Ada apa ya Mas, kok banyak orang gini?" bisikku pada Mas Arbi yang baru turun dari atas sepeda motor begitu pun denganku, banyak bapak-bapak juga remaja cowok yag berada di halaman depan rumahku juga rumah Dek Rara, mereka semua melihatku juga Mas Arbi.

"Tante Evi!" Aku menoleh saat suara Dek Rara memangilku, ponakanku itu berlari menuju pada ku dan Mas Arbi berdiri, setelah sampai ku lihat Dek Ra masih mengatur nafasnya yang tak beraturan.

"Baru juga mau nelfon tante, eh tante udah dateng tau dari siapa, Tan?" Kerutan Lagi-lagi muncul di dahiku saat Dek Rara berbicara tak jelas padaku.

"Tau apa?" tanyaku padanya sambil menatap penasaran padanya, sedangkan Mas Arbi ku lihat sedang meneliti keramaian itu.

"Loh gimana sih? Tante pulang karena mau ngelayat ke rumahnya pak Yono 'Kan? Tante tau 'kan kalau pak Yono meninggal tadi pagi?" Pertanyaan beruntun itu membuatku sedikit blank.

"Innalilahi wa innailaihi Raji'un," ucapku bersamaan dengan Mas Arbi juga, pak Yono adalah tetanggaku depan rumah beliau sangat baik walau aku dan dia jarang berbicara, memang beliau sudah tua dan sering sakit-sakitan dan aku cukup terkejut saat mendengar beliau sudah meninggal dunia, pantas saja di sini banyak orang.

Tradisi di kampung kami bila ada yang meninggal akan ada acara tuju harian, selama tujuh hari itu para ibu-ibu akan sibuk di rumah yang meninggal untuk membantu masak-masak, sedangkan para lelaki tahlil setiap malam.

Tradisi ini memang di lakukan di desaku, dan tetap bertahan sampai sekarang, suasana duka akan sedikit menghilang karena kebersamaan tetangga yang berkumpul di rumah duka.

"Tante mau ke sana 'kan?" tanya Dek Rara padaku, perlu di tanyakan tah?

"Ya mesti lah, tapi tante mau narok tas dulu di rumah, tungguin ya," ucapku yang ia balas anggukan, aku menoleh pada Mas Arbi yang masih setia berada di sampingku.

"Mas di sini aja, nanti bantu ngemakamin," jelasnya padaku, aku mengangguk mengerti setelah itu aku berjalan ke rumah hanya untuk menaruh tas, sedangkan Mas Arbi berjalan pada segerombolan pria yang nanti juga ikut bantu memakamkan.

Setelah menaruh tas aku pergi ke rumah duka di temani Rara, melirik sebentar pada Mas Arbi yang juga sedang memerhatikanku bersama segerombolan pria itu yang juga ikut melihatku, aku menundukan pandangan karena malu diperhatikan oleh mereka ya walaupun ada Mas Arbi, siapa sih yang tidak malu bila berjalan disegerombolan laki-laki yang sedang berkumpul apa lagi mereka pasti melihat ke arah kalian?

Sampai di rumah duka aku lansung melihat pemandangan di mana ada orang yang terbujur kaku, dengan di tangisi oleh sebagian orang mungkin keluarganya.

Mataku tak sengaja melihat ke arah ibu, dengan senyum kecil aku menghampirinya dan mencolek bahunya, ibu menoleh padaku dengan wajah terkejutnya.

"Assalamualaikum, Bu," ucapku sambil mencium tangannya.

"Kamu kok di sini? Di telfon Rara?" Pertanyaan itu keluar dari mulut ibuku, kini sebagian ibu-ibu melihat ke arah kami banyak juga yang tadi menyapaku.

Untukmu ImamkuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang