64. Ayo Kembali

4K 276 70
                                    

[Untukmu_Imamku]

Evi Pov's

Malam ini aku dibuat bingung oleh Arvi, dia terus menangis padahal sudah aku pastikan dia tidak mengompol, atau mungkin lapar dan ku coba memberikan payudaraku namun dia menolak dan terus menangis.

Pikiranku bingung tambah lagi aku tidak ingin Albi terbangun hanya gara-gara suara tangisan adiknya, jadi aku memilih keluar kamar sambil terus momong Arvi yang tetap menangis kencang.

Aku bingung, benar-benar bingung harus apa, walau sudah memiliki pengalaman satu kali, tapi tetap saja hal seperti ini masih tabu untukku, hingga Ibu turun tangan karena merasa kasihan pada Arvi.

Tapi tetap saja, anak itu masih menangis terus sampai sesegukan dan wajahnya yang memerah, tubuhnya agak hangat itu membuatku khawatir takut terjadi sesuatu padanya.

Aku masih awam dengan ini semua, panik juga makin menjadi, hingga rasanya ingin menangis kencang meluapkan kegundahan yang menyesakkan dada, Ibu menegur untuk tidak panik karena akan semakin membuat sang bayi ikutan bingung.

Tapi walau sudah diberikan saran oleh Ibu tetap saja aku tak bisa mengontrol rasa panik dan khawatirku, pikiran negatif semakin menjadi mempengaruhi pikiranku, yang semakin menjadi beban.

Apakah air susuku ada masalah?

Atau aku kurang teliti dalam mengurusi Arvi?

Akh! Rasanya aku ingin teriak dan menangis kencang, pikiran 'aku bukan ibu yang baik' semakin membuatku bimbang.

"Wes! Sekarang ndak usah ngebantah! Telpon Ayahnya Albi, suruh ke sini, itu anakmu pasti ngerasain pengen ketemu Ayahnya Nduk." Untuk sesaat aku terdiam, egoku mengatakan tidak usah karena pasti nanti Arvi mau diam, mungkin dia sedang tidak enak badan bukan karena rindu Ayahnya.

Lagi pula, Ayah yang mana? Bukannya dia sudah tak mengakui Arvi anaknya, anaknya cuman Albi dan Albi sedang dalam keadaan baik, jadi mana mungkin dia akan datang untuk anak yang tidak ia harapkan.

Sambil mengendong Arvi, aku melirik pada Ibu yang berada tak jauh dariku. "Ndak usah Bu, pasti tar lagi Arvi udah diem kok, orang dia cuman gak enak badanya bukan yang lain." Dikalimat terakhir aku memelankan suaraku, sambil menyakinkan dalam hati bahwa itu benar adanya.

Arvi hanya sakit, tidak rindu dengan siapun.

Yah, hanya itu saja.

Ibu berdecak, dia terlihat kesal dan marah. "Ndak usah ngeyel toh Nduk! Ndak liat anakmu sampe nangis kayak gitu? Mau dia sampe dirawat dirumah sakit?" Aku menggeleng lirih, Ibu mana yang mau anaknya sakit hingga harus dirawat ke rumah sakit, tidak aku tidak mau.

"Yo wes mangkanya! Telpon cepet, ndak usah egois kasian anakmu, dia masih kecil loh udah kamu paksa pisah sama Ayahnya, kalau ada masalah itu bicarain baik-baik, gak usah kayak gini, sampe pisah rumah juga, bok yo mikir anakmu itu sudah ada yang besar, kalian bukan setahun dua tahun menikah tapi kok masih kayak gini sih? Kalau kamu masih mau egois, jangan salahin Ibu buat ambil anakmu biar ikut Ibu, apa? Walau pun udah punya orang tua kok kayak ngak ada, sekarang telfpon cepet! Jangan sampe Ibu turun tangan sendiri, apa ndak malu kalau sampe Ibu ikut campur sama masalah kalian?"

Air mataku menetes, mendengar omelan panjang Ibu yang berhasil menyadarkan pikiranku sedikit, Albi dan Arvi serasa tidak punya orang tua, padahal mereka punya.

Untukmu ImamkuWhere stories live. Discover now