16. Pondok

2.4K 168 0
                                    


Jam sudah menunjukan angka sembilan tapi mataku masih belum bisa di ajak kompromi, Mas Arbi tak ada di kamar dia sedang berada di warung Dek Vina berkumpul bersama teman lamanya.

Mencoba terpejam namun lagi-lagi tak bisa, aku sudah terbiasa tidur jam sepuluh jadi jam segini biasanya aku akan berbicara berdua dengan Mas Arbi bertukar cerita selama seharian beraktifitas.

Ku ambil ponsel mencoba mengalihkan kejenuhan yang yerjadi, memainkan apa saja di ponsel itu, musik aku hidupkan agar berasa hidup aja suasanya.

Mataku melirik ke arah pintu di mana Mas Arbi datang, karena aku sudah larut dalam permainan ponsel jadi ku biarkan Mas Arbi, dia mengganti baju kokohnya dengan kaos yang sering pakai tidur, setelahnya Mas Arbi naik ke atas kasur merangkak menujuku.

"Mas!" tegurku karena Mas Arbi lansung mengambil ponselku dan menaruhnya di samping tubuhnya, dia tak peduli dia lansung menarik wajahku dan mencium bibirku.

Aku memcoba menahan Mas Arbi agar berhenti karena pasti dia akan kecewa nantinya, Mas Arbi menarik tubuhku agar berada di bawahnya tangah kokohnya pun sudah bergerak liar di tubuhku, aku menggeliat karena rasa geli yang Mas Arbi ciptakan namun aku masih menahan tubuhnya dan ingin menjauh.

Ku lepas pangutan Mas Arbi dengan paksa, nafasku dan nafasnya memburu hawa disekitar kami sudah panas akibat perbuatan kami tadi, dari bawah aku bisa melihat mata Mas Arbi yang tengah menyiratkan nafsu yang sudah menguasainya.

"S-stop," cicitku saat Mas Arbi kembali mendekatkan wajahnya, alisnya ditekuk mendengar ucapanku mungkin dia bingung kenapa aku menolak untuk berhubungan badan.

Memang ini bukan pertama kalinya terjadi, karena Mas Arbi sering lansung menyerangku bila sudah sangat bernafsu, dan kalau aku bisa pun aku langsung melayaninya tapi tidak untuk sekarang.

Tak mendengarkan ku Mas Arbi kembali memcium bibirku dengan rakus, dalam hatiku hanya meminta maaf bila akhirnya nanti ia akan kecewa, tangan Mas Arbi pun kembali memainkan dadaku terus turun sambil memberiku rangsangan, tangannya sampai dibawah dan saat tangannya merasakan hal aneh barulah Mas Arbi berhenti dan memandangku dengan wajah yang sudah kacau.

"Dek?"

"Aku lagi dateng bulan Mas." Aku memandang takut Mas Arbi, wajah terkejut dan kecewa tercetak jelas di wajahnya yang sudah memerah karena menahan nafsu.

"Astagfirullah!" Mas Arbi menarik tubuhnya dan duduk ditepi ranjang dengan memunggungiku, aku yang tadinya tidur telentang kini bangkit dan merapikan piyama ku yang sedikit terbuka karena ulah Mas Arbi, telingaku menangkap jelas suara deru nafas Mas Arbi diikuti dengan ucapan istigfar yang selalu keluar.

Aku menunduk takut, rasanya tak becus menjadi istri pada saat-saat seperti ini, Mas Arbi masih disana dengan mengatur nafas juga nafsunya.

"M-maaf." Hanya kata itu yang berhasil keluar dengan sempurna dari mulutku, aku memilin piyamaku mencoba berfikir positif namun tak bisa, Mas Arbi pasti marah padaku.

"Sejak kapan?" Ku lirik Mas Arbi yang mengadah dengan memejamkan matanya, nafasnya sedikit teratur namun aku yakin pasti Mas Arbi masih merasakan nafsu itu.

"Perasaan tadi kamu sholat," sambungnya, aku menunduk mencoba untuk tidak melihat mata kecewanya yang membuatku sakit, ku rasakan ranjang bergerak namun aku masih setia menunduk enggan sekali untuk menngok.

"Hey, kenapa? Kok ngak dijawab pertanyaan Mas?" Aku mendongak kala Mas Arbi memegang wajahku, mataku sudah berkaca-kaca melihat perlakuan Mas Arbi yang tidak marah.

"Maaf." Lagi itu yang aku katakan, Mas Arbi membawaku ke dalam pelukannya, jantung Mas Arbi masih berdetak dua kali lipat dari biasanya, perasaan bersalah lagi-lagi melingkup hatiku.

"Udah ngak papa kok, Mas yang salah gak nanyak dulu sama kamu, udah ya jawab pertanyaan Mas tadi," imbuhnya sambil mengelus rambutku yang sedikit berantakan, aku melepas pelukan itu dan menatap wajahnya.

"Tadi, aku rasa perutku gak enak dan dicek ternyata aku haid," ucapku sambil memilin ujung piyamaku, gugup dan takut menjadi satu namun rasa itu hilang saat Mas Arbi mengenggam kedua tanganku.

"Yaudah sekarang tidur, ini udah jam sepuluh besok mau ikut 'kan?" Aku mengangguk, kini perlahan tubuhku merosot ke bawah untuk tidur, aku menarik selimut untuk menutupi tubuhku Mas Arbi demikian dia juga tidur menghadap ke arah ku.

"Sekali lagi maaf Mas." Mas Arbi tak menjawab dia menarikku dalam pelukannya dengan bebantalkan lengannya, beruntung tadi lampu kamar sudah dimatikan jadi kita tak perlu mematikan lagi, aku mendekap erat Mas Arbi mencari kenyamaan dalam pelukannya, hingga tampa sadar kami terlelap bersama.

•••

Umi sibuk membuat makanan yang lumayan banyak, aku, Mbak Risma dan Mbak Amel membantu ibu untuk melakukan pekerjaan itu, sedangkan para lelaki sibuk memanasi mobil untuk kami pakai setelah ini.

Rencanya hari ini kami akan pergi menjemput Hanin di pondoknya, karena hari ini adalah ulang tahun pondok pesantren tempat Hanin memuntut ilmu, semua keluarga ikut untuk menyaksikan penampilan Hanin yang ia tampilkan nanti di sana.

"Udah siap belum Umi? Kalau udah berangkat sekarang aja kata Abah." Mas Zidan datang sambil megendong Vino yang sudah rapi, Umi mengangguk karena memang persiapan kami sudah selesai, kami membawa perlengkapan itu menuju mobil yang sudah disiapkan oleh para lelaki.

Mobil pertama diisi Abi dan Umi, juga ada Kak Zidan dan Mbak Amel dan Vino pun turut serta juga Lisa yang berada di mobil itu, mobil kedua diisi olehku Mas Arbi, Kak Arif suami Mbak Risma, juga Mbak Risma sendiri dan kedua anak Mbak Risma.

Perjalan diisi dengan canda tawa karena adanya anak Mbak Risma yang selalu membuat tertawa, kini Arka sedang mepet-mepet padaku sepertinya ingin bermanja padaku.

"Ate cantik deh, kok mau aja sih sama om Arbi yang jelek." Aku tertawa mendengar ucapannya, tak tau saja Mas Arbi itu tampannya luas biasa.

"Heh, kata siapa Om jelek dan gak cocok sama Atenya? Orang Om ganteng kok." Aku hanya tersenyum mendengar ucapan Mas Arbi yang meladeni ucapan Arka.

"Ih Om itu jelek! Gak cocok ama Ate, Ate cocokan sama Arka ya 'kan Umi?" Semuanya lagi-lagi dibuat tertawa oleh ucapan Arka, kini Kak Arif yang menjawab ucapan Arka.

"Heleh Ka, mana mau tantenya sama kamu orang kamu masih kecil kok." Arka lansung cemberut mendengar penuturan dari Abinya, kini dia ngambek dan memelukku dari samping aku pun membalas pelukannya yang manja.

Perjalanan kami sudah sampai, pondok pesantren tempat Hanin sangat ramai, ya maklumlah pondok di sini sangat terkenal dan banyak orang menuntut ilmu di sini.

"Abah Umi!" Hanin keluar dengan wajah senangnya, dia lansung memeluk Abah dan Umi dengan erat menyalurkan rasa rindu yang lama tak tersalurkan, setelahnya Hanin menyalami kami semua sebagai tanda hormat.

Hari ini kami habiskan waktu di pondok pesantren ini, karena banyak acara yang diselenggarakan oleh pak kyai, mungkin sampai malam sekaligus melihat pengajian.

[B E R S A M B U N G]

Soory for booring ya gusy😅

Ajak temen-temen kalian semua buat baca cerita ini juga! Biar tambah banyak pembacanya:)

Share juga ke medsos kalian bila suka ya:)Makasih🙏

Follow
Ig: qn_vhi17
Wp: Evi_Rs

Salam Manis💋
Bi😈

Untukmu ImamkuWhere stories live. Discover now