20. Perdebatan Pertama

2.7K 187 5
                                    


Hari ini adalah hari sibuk bagi rumah Umi, karena hari ini adalah hari di mana panen raya dimulai, para laki-laki ikut ke sawah untuk membantu panen sedangkan para perempuan membantu masak di rumah.

"Umi sayurnya udah mateng nih," kataku pada Umi, yang tadinya Umi sedang memotong tempe lansung bergegas ke arahku dan memeriksa sayur yang berada di dalam panci, Umi tersenyum dan mangangguk membenarkan.

"Iya udah mateng, kamu angkat ya nduk, bisa 'kan?" Kepalaku mengangguk mengerti, setelahnya aku mulai mengerjakan perintah Umi.

Beberapa jam kemudia masakan banyak sudah tersaji, rencananya kami akan membawanya ke sawah untuk para lelaki yang bekerja, tradisi ini sering terjadi bila ada orang yang sedang panen atau sedang memulai bekerja di sawah.

"Umi, udah selesai apa belum?" Mas Arbi tiba-tiba datang dari arah depan bersama Mas Arif.

"Udah kok tinggal bawa aja," jawab Umi dengan halus, Mas Arbi dan Kak Arif mulai membawa makanan itu dibantu oleh kami pastinya, sawah milik Umi tak terlalu jauh jadi tak membutuhkan waktu banyak kami sudah sampai di sawah.

Banyak orang di sini untuk membantu panen, sawah Umi sangat luas dan ditanami beragam tumbuhan, tapi yang paling banyak adalah padi.

"Mau makan dulu?" tanya Umi pada mereka yang bekerja, aku menaruh makanan yang tadi aku bawa di pondok yang memang disediakan, semua keluarga ikut ke sini untuk meramaikan, apa lagi Arka dan Vino yang mulai tadi bermain-main di sawah dengan riang.

"Nanti dulu lah." Jawaban Abah dibalas anggukan oleh Umi, lalu Umi berjalan ke pondok tempat di mana para perempuan berpijak.

"Nduk Evi, kamu pulang aja ya di sini panas," kata Umi sambil memegang lengannku, alis ku mengerut mendengar itu kenapa aku harus pulang?

"Iya, pulang aja sono lo!"

"Lisa!" teguran dari Mas Arbi tak dihiraukan oleh Lisa, Umi juga ikut menegur Lisa karena kurang sopan padaku.

"Kamu pulang aja ya, di sini panas." Aku semakin bingung kenapa aku harus pulang, seperti aku adalah barang yang harus dijaga ketat dan aku tak suka akan hal itu.

"Kenapa aku harus pulang?" Alisku mengerut sambil bertanya, mereka seakan tak memperbolehkan aku untuk ikut membantu.

"Di sini panas nduk, liat tuh pipi kamu udah merah, udah pulang duluan sana sama Risma." Tanganku secara reflek memegang pipiku yang memang panas, tapi beneran merah?

"Lo kayak orang kota, jadi gak pantes kayak lo di sawah, tar banyak orang bilang kalo Umi memperkerjakan mantunya dengan paksa, padahal Umi tau kalau orang kayak lo pasti gak pernah turun ke sawah, jadi lebih baik lo pulang gih! Tidur cantik biar kulit lo terjaga dan gak panas kayak di sini." Jujur hatiku sakit mendengar ucapan Lisa, memang benar aku tak pernah turun ke sawah tapi aku itu bukan orang kota, aku juga orang desa yang seharusnya mengenal sawah.

"Iya! Kamu bener Sa, aku emang gak pernah turun ke sawah, alesan utama adalah karena ibuku gak pernah punya sawah, jadi kami anak-anaknya gak pernah turun ke sawah untuk panen atau menanam, tapi aku dan Mbak Eva gak pernah jadi orang kota kami masih orang desa." Setiap kata aku tekan agar Lisa mengerti, aku tak suka saat orang menyebutku atau Mbak Eva sudah bukan jadi anak desa melainkan anak kota, karena pakaian dan perilaku kami yang mirip anak kota tapi percayalah bila aku dan Mbak Eva masih sama kayak anak desa.

Untukmu ImamkuWhere stories live. Discover now