62. Retakannya sebuah hubungan

3.1K 275 126
                                    


[Untukmu_Imamku]

Rumah terasa makin ramai saat setelah kehadiran Arvi, suara Albi beradu padan dengan suara Arvi saat sudah menangis minta susu, tiada hari tanpa membuat keributan, Albi benar-benar berlaku seperti kata itu.

Namun ada kalanya Albi lelah bermain sendiri dan memilih mendekat pada sang adik, mencoba mangajak bicara walau tidak ditanggapi oleh sang adik, si adik baru lahir masa sudah bisa bicara 'kan tidak mungkin.

Sebagai seorang Mas, Albi tak segan menunjukkannya dihadapanku, kadang saat sibuk aku suruh Albi untuk menjaga sang adik saat aku tengah memasak, maka anak itu mau asal dimasakkan jamur goreng tepung.

Kadang juga Albi bisa terlelap tidur disamping sang adik, yang membuatku menghangat karena Albi malahan lebih senang saat tau kalau sang adik adalah laki-laki, tidak kecewa seperti Ayahnya.

"Bunda, tok adiknya butan peyempuan? Tata Ayah duyu peyempuan." Itu katanya saat sedang bergelanyut manja padaku sambil minum susu kotak rasa pisang.

"Emang kalau bukan perempuan, Mas Albi gak mau main sama adik? Bukannya Mas Albi bilang pengen adik cowok dari pada cewek, berarti Allah 'kan dengerin doa Mas buat bisa punya adek cowok, sekarang gak seneng karena bukan perempuan?"  Pertanyaanku lontarkan padanya saat itu.

Dia menggeleng sambil sedikit bersendawa yang lansung membuatnya terkikik geli karena lupa menutup mulut saat bersendawa. "Upa Bunda, ndak ya Mah Aybi ceneng tok, adiknya lati-lati butan peyempuan, bica diajat ain lobot-lobotan." Mendengar jawabannya aku tersenyum sambil mengelus kepalanya juga mencium pipinya, dia balas mencium kala itu.

Semakin hari Albi tumbuh menjadi anak pintar, bahkan kosa katanya selalu menambah setiap harinya, pertanyaan yang menbuatku atau Mas Arbi bingung mau menjawab apa, makin menambah.

Melihat kedua anakku yang terlelap dengan mulut yang sedikit terbuka membuatku tersenyum hangat, tapi ada perasaan lain saat mengingat Mas Arbi masih berlaku dingin padaku dan Arvi, sampai sekarang Mas Arbi belum sama sekali mengendong Arvi.

Hatiku tak terima, tak juga ingin buka suara yang mengakibatkan kita berdua bertengkar, hanya saja moodku yang turun naik pasca melahirkan membuatku menangis diam-diam, hanya untuk merepati diri dan bertanya-tanya.

Apa kesalahan Arvi harus tidak diterima seperti itu?

Dia lahir dengan normal tak ada kekurangan satu pun, tapi kenapa Mas Arbi harus begitu? Pada akhirnya segala pertanyaan yang bersarang dalam kepala hanya dijawab oleh angin.

Bolehkan aku berharap? Berharap bahwa suatu hari nanti kedudukan Arvi di mata Mas Arbi akan sama dengan Albi, aku ingin menunjukkan bahwa Arvi sama dengan Albi.

Tak ada bedanya.

Jadi tak sepantasnya Mas Arbi bersikap begitu, mereka juga anaknya itu jelas, lalu kenapa ada ketidak adilan disini?

Lagi-lagi hanya hening yang menjawab, di dapur saat ini aku kembali menangis untuk kesekian kalinya, mengingat kenapa sikap Mas Arbi yang berbeda pada Arvi, padahal anak itu butuh sentuhan Ayahnya juga.

Saat aku tak bisa buka suara akan rasa sakit juga kecewa, maka pilihannya hanya menangis, sampai rasa sesak di dada hilang seiringnya air mata yang keluar.

Untukmu ImamkuWhere stories live. Discover now