14

3.5K 355 8
                                    

"Kayaknya papa nggak ada, Na.."

Anna melihat kesana kemari setelah sampai di rumah besar milik Jeno dan papanya. Rumah ini terlalu besar untuk Jeno tempati sendirian. Sedangkan papanya jarang ada di rumah. Pantas saja Jeno selalu bilang bahwa ia kesepian.

"Papa pasti udah berangkat kerja lagi. Padahal sebelumnya papa sempet ngehubungin gue dan nanya keberadaan gue. Gue pikir saat itu papa bener-bener khawatir. Tapi nyatanya nggak."

Anna tidak bisa melakukan apa-apa selain mengusap bahu Jeno dan memberikan ketenangan. Setelah itu mereka masuk ke dalam rumah dan duduk di sofa ruang tengah.

"Rumah lo bener-bener nggak ada foto, Jen? Foto bokap lo, foto lo atau apa gitu.. kok cuma lukisan aja?" tanya Anna heran saat melihat ruang tengah Jeno yang terlihat kuno dan membosankan.

"Gimana mau ada foto sama papa, kalau papanya aja jarang pulang," ucap Jeno sambil menatap Anna dengan sendu. "Lo kan fotografer, kapan-kapan mau ya fotoin gue sendiri buat kenang-kenangan."

"Iya, Jen.. Siap!"

Jeno tersenyum mendengarnya. Kemudian ia bangkit dari duduknya membuat Anna kaget. "Lo mau ngapain?"

"Mau ambilin lo minum. Lo pasti haus, kan?"

Anna mengibaskan tangannya, "Gue nggak haus kok. Santai aja. Udah sini duduk lagi, kita ngobrol dulu sebentar."

Jeno menuruti perintah Anna untuk duduk di sebelahnya lagi. Dalam beberapa menit mereka terus berbincang dan tertawa. Sampai akhirnya Anna pun sadar bahwa ia sudah lama berada di sini. Alhasil Anna pun memutuskan untuk pulang.

Namun di perjalanan Anna tidak sengaja melihat seseorang yang perawakannya sangat ia kenali. Seorang pria yang sedang duduk di kursi cafetaria sambil menyeruput kopinya beberapa kali, membuat atensi Anna teralihkan.

"Pak, turun di sini dulu ya.. Saya mau ketemu orang itu," ucap Anna pada supir pribadinya sambil menunjuk ke arah Jeffrey.

Anna menyeberangi jalan dengan perlahan. Niatnya ia ingin mengagetkan Jeffrey. Tapi Jeffrey sudah menyadari kehadiran Anna terlebih dahulu.

"Kamu mau ngapain?"

"Harusnya bapak pura-pura nggak tau kalau saya dateng," ucap Anna sambil memajukan sedikit bibirnya. Kemudian ia duduk di kursi depan Jeffrey sambil menopang dagunya dengan satu tangan. "Bapak ngapain nongkrong di cafetaria gini? Gayanya kayak anak jaman now aja."

"Saya kan emang anak jaman now. Inget ya.. Saya tu masih muda, masih butuh healing, refreshing."

Anna hanya mengangguk sebagai jawaban.

"Omong-omong kamu ngapain di sini?"

"Abis anter temen saya pulang. Semalem dia nginep di rumah saya soalnya," ucap Anna membuat Jeffrey mengerutkan keningnya. Melihat perubahan ekspresi dari Jeffrey, Anna jadi bingung. "Ada apa, Pak?"

"Anak saya semalam nggak pulang. Saya hubungi juga dia nggak mau balas. Apa mungkin dia marah sama saya, ya? Karena akhir-akhir ini saya nggak punya waktu untuknya."

"Namanya juga anak-anak. Pasti butuh dukungan dari orang tuanya, sekalipun usia dia sudah dewasa," jelas Anna. "Jangan kayak temen saya yang nggak mendapatkan haknya sebagai seorang anak. Sampai dia sakit pun papanya nggak tau. Parah banget kan. Kalau saya ketemu sama papanya, saya bakal ajak ribut sih.."

Jeffrey tertawa kecil mendengar tuturan Anna. Apa lagi ekspresi Anna sangat mendalami.

"Serius, Pak.. Saya benci banget sama papanya. Ya walaupun saya belum pernah ketemu, tapi saya benci aja. Masa temen saya yang orangnya baik gitu bisa ditelantarkan?"

"Iya, saya tau perasaan kamu. Tapi saya juga belum baik jadi orang tua. Saya kurang waktu berdua dengan anak saya. Komunikasi juga nggak pernah."

Anna hanya mengangguk. Sebelum akhirnya ia berpamitan karena supirnya sudah menunggu sejak tadi. Kasihan kalau harus menunggu lebih lama lagi.

"Hati-hati, ya, Na."

"Oke," ucap Anna sambil menunjukkan jempolnya. Anna juga memberikan senyum terbaiknya. "Have fun, Pak!"

Jeffrey pun membalas dengan acungan jempol.















- bersambung -

Kapan mau up bapaknya Jeno?

[✓] DOSPEMWhere stories live. Discover now