36

2.3K 178 4
                                    

Keesokan harinya, saat Anna kembali disibukkan dengan tugas kuliah, di lain sisi Jeffrey sudah datang ke rumah sakit untuk mengecek keadaan putranya.

Saat membuka pintu, Jeffrey menemukan Jeno baru selesai menyantap sarapan dan obat yang harus di konsumsinya.

"Gimana keadaan kamu, Jen?"

"Baik kok, Pa.."

Jeffrey mengangguk sambil membenarkan posisi kursi rodanya mendekat ke ranjang Jeno. Lalu Jeffrey mengulurkan tangannya untuk membenarkan tatanan rambut Jeno yang terlihat berantakan. "Kalau pusing atau ada keluhan bilang ya, Jen."

"Iya, Pa.."

"Papa bawain buah buat kamu," ujar Jeffrey lalu menyerahkan aneka macam buah yang sempat ia beli tadi. Jeno pun menerimanya dengan senang hati. "Dokter udah kesini buat periksa kondisi kamu lagi belum, Jen?"

"Udah, papa.. Bawel banget, sih. Lagian kata dokter nggak ada yang perlu di khawatirkan kok. Aku kan hebat, pasti bisa sembuh," ujar Jeno dengan nada sombong, lalu mengangkat alisnya berniat menggoda sang papa.

Tapi tak lama dari itu, mendadak Jeno teringat dengan kejadian kemarin. Di mana Jeffrey dan Anna hampir bersetubuh di depannya. Untung saja mereka sama-sama sadar bahwa itu belum saatnya. Jadi Jeno tidak menjadi saksi bisu persatuan mereka.

"Pa, Jeno boleh tanya nggak?"

"Mau tanya apa?"

Jeno sempat berperang batin apakah pertanyaan ini wajib ditanyakan atau tidak. Takutnya kalau Jeno bertanya, Jeffrey tersinggung karena Jeno memang ingin membahas kejadian kemarin.

"Kok diem, Jen? Kamu mau tanya apa?" tanya Jeffrey saat Jeno tidak kunjung memberi pertanyaan. Sedangkan yang ditanya hanya diam, juga menatap ke sembarang arah.

Lalu Jeffrey mencolek bahu Jeno membuat lamunan Jeno hilang. Jeno menggaruk tengkuknya yang tidak gatal sambil tersenyum kikuk.

"Kamu kenapa, sih, Jen? Mau tanya apa?"

"A-anu.."

"Apa anu?"

"Susah, Pa, jelasinnya."

Jeffrey berdecak, "Nggak jelas."

Jeno menunjukkan deretan giginya. Kemudian ia mengumpulkan nyawa untuk mempertanyakan ini. "Papa kapan nikah sama Anna?"

Jeffrey mengerutkan kening, "Kenapa tiba-tiba nanya seperti itu?"

"Nggak apa-apa. Lagian usia papa udah cukup kok buat nikah dan minang anak-"

"Papa kan udah punya anak," ucap Jeffrey memotong pembicaraan Jeno.

"Anak kandung, Pa.. Bayi yang keluar dari rahim istrinya papa nanti. Paham nggak, sih?" tanya Jeno geregetan. "Kan kalau aku bukan anak kandungnya papa. Aku juga nggak mungkin bisa di gendong atau di manja-manja. Emangnya papa nggak mau punya anak kandung?"

"Kamu tetep anak papa, Jen.. Anak sulungnya papa."

"Iya aku tau. Tapi-"

"Kalau nikah sama Anna, papa mau nunggu kamu keluar dari rumah sakit dan di nyatakan benar-benar pulih. Begitu juga dengan kondisi papa."

Jeno menganggukkan kepala.

"Soalnya papa mau kamu jadi saksi di pernikahan papa nanti."

Jeno tersenyum tulus sambil memperlihatkan eyes smile miliknya. "Makasih ya, Pa. Papa udah percaya sama aku sebagai anak papa. Beruntungnya aku dipertemukan oleh orang baik seperti papa. Maafin aku dulu suka marah-marah, ngomong kasar, bahkan diemin papa. Sekarang aku ikhlas melepas Anna buat papa dan menjadikannya ibu untukku. Doain aku semoga cepet keluar dari rumah sakit ini dan bisa jadi saksi di pernikahan papa nanti."

Jeffrey tersenyum sambil menganggukkan kepala. Kemudian tak lama dari itu ia menyadari ponselnya yang bergetar. Ada notifikasi dari kontak tak tersimpan.

××××
online

| Jef
| Ini papa Joona
| Papa dapet nomor kamu hasil ngambil diem-diem di ponselnya Anna
| Jadi gini, Anna kan lagi ada di semester terakhir, lagi sibuk kuliah sama skripsinya. Nah, semalam tuh Anna stress sendiri karena harus revisi naskah yang ternyata salah. Papa ngeliatnya kasian, tapi papa juga nggak bisa bantu banyak. Kamu kan dulu dosen pembimbingnya, bisa nggak kalau bantu Anna nyusun skripsinya? Setidaknya kasih contoh yang baik seperti apa. Soalnya Anna cerita dosen pembimbingnya yang baru suka susah di hubungi kalau lagi urgent.
| Kamu mau kan, Jef, bantu Anna?

Oh iya pah |
Boleh banget kok |
Anna malah nggak pernah cerita sama saya kalau lagi kebingungan nyusun skripsi |

| Mungkin Anna takut ganggu kamu
| Anna tipe anak yang gampang nggak enak sama orang. Takut ngerepotin atau mengganggu

Padahal nggak apa-apa |
Nanti saya ke rumah boleh, pah? |
Anna ada di rumah, kan? Soalnya dia nggak bisa saya hubungi |

| Iya Jef
| Dia ada di rumah
| Kalau mau sekarang juga nggak apa-apa. Atau saya jemput kamu aja? Kamu belum bisa nyetir kan?

Saya bisa kesana sama supir |
Papa nggak usah repot-repot |

| Oh iya, Jef, satu lagi..

Apa, Pah? |

| Saya mau pernikahan kalian diadakan setelah Anna selesai skripsi, ya? Setidaknya selesai sidang supaya saat sah nanti Anna sudah tidak ada tanggungjawab di kampusnya.

Oke, Pah |
Itu bisa dibicarakan nanti |
Saya juga mau Jeno benar-benar sembuh dulu supaya bisa ada di pernikahan saya dan Anna nanti |
Omong-omong, saya pergi sekarang, ya, pa? |

| Oke Jef
| Terima kasih ya

Santai aja pah hehe |

Lalu Jeffrey kembali menyimpan ponselnya di dalam saku. "Jen, papa mau ke rumah Anna, ya. Soalnya tadi papa Joona chat papa, katanya Anna lagi stress sama skripsinya. Boleh, kan?" 

Jeno mengangguk. "Boleh, Pa. Hati-hati, ya."

Jeffrey mengusap kepala Jeno dengan lembut sambil memberikan senyum terbaiknya. Lalu setelah itu ia pergi keluar dari ruangan Jeno.

















- Bersambung -

[✓] DOSPEMWhere stories live. Discover now