18

3.5K 323 12
                                    

Tok tok tok..

"Jeno.. Ayo sarapan dulu. Papa udah buatin makanan kesukaan kamu lho.. Kita makan sama-sama, yuk!" ajak Jeffrey dari depan pintu kamar Jeno.

Beberapa menit kemudian Jeffrey tidak mendapati jawaban. Ia pikir Jeno masih tidur. Jadi dengan perlahan, Jeffrey membuka pintu kama Jeno yang tidak terkunci dan menemukan kasur kosong.

"Jen?"

Jeffrey berjalan ke sekeliling. Mengecek balkon berulang kali, siapa tau Jeno ada di sana. Tapi nyatanya tidak. Akhirnya Jeffrey mengetuk pintu kamar mandi, namun tidak ada jawaban juga.

Rasa khawatir mulai menyeruak saat Jeno tidak terlihat di mana-mana. Di panggil berulang kali pun Jeffrey tetap tidak mendapatkan jawaban.

Jeffrey menuruni anak tangga dan pergi keluar. Lalu menemukan Jeno sedang berdiri memegangi selang yang bercucuran air, namun atensi Jeno terfokuskan pada anak laki-laki sebayanya yang sedang berbincang dengan sang ayah.

"Jeno.."

Jeno menolehkan kepalanya. Kemudian ia segera mematikan air keran tersebut agar tanamannya tidak terus basah.

"Kamu ngapain?"

"Seperti yang papa liat."

Jeffrey paham bahwa Jeno ingin seperti anak tetangga itu. Hanya saja Jeno tidak ingin mengatakannya karena gengsi. Jadi Jeffrey hanya menganggukkan kepala sebagai jawaban.

"Masuk, yuk. Papa udah masakin menu sarapan kesukaan kamu lho," ucap Jeffrey sambil merangkul bahu Jeno. Dan Jeno hanya diam saja tidak memberikan respon seperti berontak, atau lain sebagainya.

Selama sarapan tidak ada yang mereka bahas. Karena Jeffrey pernah bilang pada Jeno kalau sedang makan tidak boleh sambil bicara. Tapi entah kenapa tiba-tiba Jeffrey memanggil nama Jeno, dan membuka pembicaraan lebih dulu.

"Hari ini kamu ada jadwal apa?"

Jeno yang sedang sibuk memakan makanannya, hanya diam saja. Hatinya masih kesal dengan Jeffrey atas kejadian kemarin.

"Kalau nggak ada jadwal, temenin papa nonton film, yuk! Papa punya recommend film bagus lho," ucap Jeffrey dengan nada gembira. Bahkan Jeffrey terus tersenyum sepanjang obrolan itu. Sementara yang di ajak bicara masih sibuk memakan makanannya.

Jeffrey mulai mengerti dengan keadaan ini. Lantas ia menaruh alat makannya dan menggenggam tangan Jeno. Tetapi karena Jeno tak ingin di pegang, Jeno menepis tangan Jeffrey dengan kencang.

"Maafin papa, Jen.. Papa tau papa salah. Sekarang papa udah ambil cuti untuk menuruti kemauan kamu. Kita bisa menghabiskan waktu sama-sama. Atau kalau kamu mau kita foto keluarga ya... Ruang tengah belum ada foto kita berdua lho.."

Selera makan Jeno tiba-tiba menghilang. Tanpa membalas ucapan Jeffrey, Jeno pergi meninggalkan ruang makan dan memasuki kamarnya lagi.

Dari depan, Jeffrey terus mengetuk pintu kamar Jeno berharap anak itu mau mendengarkan penjelasannya terlebih dahulu.

Tapi Jeno di dalam sana malah menekuk kakinya dan menutup telinga menggunakan tangannya supaya suara Jeffrey tidak terus terdengar.

"Papa tau kamu marah. Tapi kita bisa memperbaiki semuanya. Papa janji mulai sekarang akan menghabiskan waktu lebih banyak bersama kamu, ketimbang pekerjaan papa.."

"TELAT! SEMUANYA UDAH TELAT, PAA!"

"Nggak, Jen.. Nggak ada yang telat."

"JANGAN GANGGU JENO!" teriak Jeno sambil melempar benda yang ada di dekatnya. Dan itu membuat Jeffrey semakin sakit mendengarnya. "Nggak ada yang harus dipertahankan di dunia ini. Semua orang sama aja. Mereka nggak menganggap adanya aku.."

BRAK BRAK BRAK !

Sekuat tenaga Jeffrey mendobrak pintu kamar Jeno. Berulang kali ia lakukan, hasilnya tetap tidak ada. Tapi Jeffrey tidak ingin menyerah. Ia terus berusaha, sampai akhirnya pintu itu terbuka secara paksa.

Jeffrey berlari menemui Jeno yang keadaannya saat ini terlihat sangat kacau. Anak itu menangis sambil terus menjambak rambutnya.

Kehadiran Jeffrey membuat tangis Jeno sedikit mereda. Jeno mengatur napasnya sambil memejamkan mata. Lagi-lagi ia memanfaatkan bahu Jeffrey sebagai sandaran.

Jeno tidak ingin munafik bahwa ia merindukan pelukan ini. Bahkan setelah tangisnya mereda, tangan Jeno memeluk tubuh Jeffrey dengan sangat erat.

Keduanya berpelukan setelah sekian lama merenggang hubungan antara ayah dan anaknya. Mereka saling melepas rindu dengan akhiran Jeffrey mengecup kepala anaknya.

"Jeno mau maafin papa, kan?"

Jeno menundukkan kepala, tidak berniat membalasnya.

"Maaf, Jen.."

Lagi dan lagi Jeno tidak memberikan jawaban. Karena Jeno masih marah pada Jeffrey, walaupun tidak separah hari sebelumnya.

"Papa boleh tau tentang penyakit kamu?" tanya Jeffrey lagi membuat Jeno mendongakkan kepala, tapi tidak dengan menjawabnya. "Jangan sembunyikan hal penting ini, Jen.. Papa harus tau apa penyakit kamu, supaya papa bisa mempersiapkan dokter yang tepat untuk kesembuhan kamu."

Jeno menghela napasnya. Lalu mengambil surat dokter yang ia dapatkan beberapa bulan lalu. Ia memberikannya pada Jeffrey dan membiarkan Jeffrey membacanya.

Di dalam sana sudah tertera bahwa Jeno mengalami kerusakan ginjal stadium tiga. Itu artinya akan sulit di sembuhkan bila tidak secepatnya di tangani.

Usai membaca surat tersebut, Jeffrey menatap Jeno dengan raut khawatir. Sedangkan yang di tatap malah tersenyum tipis sambil berkata, "Selamat ya.. Sebentar lagi impian papa terwujud. Nggak akan ada lagi yang ganggu kehidupan papa. Nggak ada lagi anak manja yang minta diberikan kasih sayang. Papa akan hidup bebas, semaunya papa tanpa ada rasa tanggungjawab."

Detik itu pula tangis Jeno kembali. Tapi bedanya, kali ini ia menangis sambil tersenyum.


















- bersambung -

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

- bersambung -

Buat kalian yang bertanya kok jadinya sad, sih?
Tenang aja. Nanti akan ada squel dari cerita ini, dengan judul yang berbeda. Nanti di sana akan lebih banyak romancenya ketimbang angst.

tetep stay yaa..
🥺🥺🥺

[✓] DOSPEMWhere stories live. Discover now