17

3.6K 347 17
                                    

Di kediaman Abichandra saat ini keadaan sedang hening dan tegang, membuat kedua orang yang ada di ruang tengah kalut dengan pemikiran masing-masing

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Di kediaman Abichandra saat ini keadaan sedang hening dan tegang, membuat kedua orang yang ada di ruang tengah kalut dengan pemikiran masing-masing.

Saat Jeno masih mengatur emosinya, di lain sisi Jeffrey sedang bingung harus membahas permasalahan ini dari mana. Kakinya melangkah kesana-kemari, sementara tangannya memijat pelipis yang kian membuatnya pusing.

"Jelasin sama papa, Jen.."

Jeno hanya diam. Karena ia rasa tidak perlu ada yang harus di jelaskan. Jeno merasa tidak bersalah, karena di sini dia adalah korban.

Semakin Jeno diam, semakin kesal pula Jeffrey menerima kekacauan ini. Jeffrey menyisir rambutnya menggunakan jari, sebelum akhirnya berdiri tepat di depan Jeno.

"Jelasin, Jen.."

"Nggak ada yang harus aku jelasin. Di sini aku korban, bukan pelaku. Yang seharusnya menjelaskan permasalahan ini itu papa."

"Kenapa jadi papa?"

"Karena selama ini masalahnya ada di papa. Papa nggak pernah punya waktu untuk aku, sampai aku terlalu nyaman dengan Anna. Aku suka dan sayang sama dia melebihi dari seorang sahabat. Bahkan aku sudah menganggapnya sebagai rumah singgah dengan segala keluh kesah. Aku ingin Anna. Aku ingin menghabiskan waktu dengannya. Tapi papa merebut dia, sampai-sampai dia nggak pernah temui aku lagi."

PLAK

Dunia Jeno seakan runtuh setelah mendapatkan perlakuan kasar dari seseorang yang ia sayang. Seseorang yang selama ini ia harapkan kehadirannya, tapi saat sudah ada di depan mata, ia malah berbuat seenaknya.

Mata Jeno berkaca-kaca. Jeno tak bisa berbuat apa-apa selain menunduk sambil memegangi pipinya yang sakit karena tamparan singkat tersebut.

"Kamu pikir papa setiap hari di luar itu selalu berduaan sama Anna?" tanya Jeffrey dengan nada suara meninggi. Membuat Jeno semakin mengkerut takut. "Papa selama ini kerja, Jen. Papa cari nafkah untuk membiayai kehidupan kita. Papa mau kamu hidup berkecukupan. Makan enak, tempat tinggal ada, mau jajan tinggal jajan. Banyak orang di luaran sana yang ingin seperti kita. Sekarang kamu bukannya bersyukur malah nyalahin papa."

"Jeno nggak butuh uang, Pa. Jeno butuh waktunya papa walaupun cuma sebentar. Jeno juga mau merasakan jadi seorang anak yang selalu diberi kasih sayang.. Apa salah Jeno menginginkan itu?"

"Kita nggak bisa hidup hanya mengandalkan waktu. Jaman sekarang apa-apa butuh uang.."

Sambil menangis Jeno mengangguk, "Aku tau. Tapi aku juga butuh waktu sama papa. Karena selama ini cuma papa yang aku punya."

Jeffrey tidak menjawab ucapan Jeno. Ia kembali menyibukkan dirinya dengan melangkah kesana-kemari.

"Kapan terakhir kali papa menanyakan kabar aku? Apa hari ini aku menjalani hari dengan baik atau tidak. Kapan terakhir kali kita berbincang dengan iringan tawa? Mungkin tujuh atau sepuluh tahun lalu, ya? Saat aku masih kecil," ucap Jeno sambil menatap mata Jeffrey dengan mata masih mengeluarkan air mata. "Jeno kangen papa yang dulu. Yang selalu ada saat Jeno susah. Yang selalu siap siaga saat Jeno mulai jatuh sakit. Tapi sekarang.. Jeno pergi ke rumah sakit pun papa nggak tau, kan? Papa nggak tau Jeno sakit apa. Yang tau cuma Anna dan keluarganya."

Saat Jeno membahas penyakitnya, Jeffrey mengubah ekspresinya menjadi khawatir. Padahal sebelumnya pria itu terlihat sangat marah.

Jeno menghela napasnya dan memegangi dada kirinya. "Sakit banget, Pa.. Setiap malam Jeno menahan ini semua, karena Jeno nggak mau ganggu papa istirahat. Setiap malam Jeno masuk ke kamar papa secara diam-diam hanya karena mau liat wajah papa. Jeno seneng papa bisa tidur dengan damai. Sedangkan Jeno harus perang sama sakitnya tubuh Jeno."

"Jen.."

"Jeno nggak pernah cerita tentang sakit yang Jeno derita karena Jeno nggak mau ngerepotin papa. Jeno nggak mau buat papa sedih. Sebisa mungkin Jeno jaga perasaan papa. Tapi sekarang papa yang sakiti Jeno melalui tangan itu," ucap Jeno sambil menunjuk tangan kanan Jeffrey yang tadi sudah menamparnya. "Salah Jeno apa? Kenapa papa lakuin itu? Apa karena Jeno cuma anak angkatnya papa, sehingga papa bisa berlaku seenaknya?"

Jeffrey menggelengkan kepalanya, "Papa nggak pernah mikir kamu anak angkat atau bukan. Papa sayang sama kamu tulus. Maaf kalau papa lancang sakitin kamu."

Tangis Jeno semakin kencang membuat Jeffrey yang melihat itu semakin sakit. Jeno menekuk kedua kakinya yang sudah merasa lelah. Ia menangis sambil terus memukuli dadanya.

"Stop, Jen.. Jangan pukul diri kamu sendiri. Papa minta maaf."

Jeno tidak menggubris. Ia terus memukul dadanya berulangkali. Padahal Jeffrey sudah menahan tangannya. Tapi Jeno tetap tidak peduli.

"Jeno dengerin papa.. Jangan pukul diri kamu seperti ini. Nanti kamu semakin sakit."

"Jeno nggak peduli."

"Papa minta maaf, Jen.."

DUG DUG DUG DUG !

"GUE BENCI SEMUANYA. GUE BENCI SEMESTA YANG NGGAK BISA BERLAKU ADIL SAMA ANAK CACAT SEPERTI GUE!" teriak Jeno setelah menyelesaikan pukulan terakhirnya. Kemudian ia berakhir di pelukan Jeffrey yang selama ini sangat ia rindukan. Jeno terus menumpahkan tangisnya dan memanfaatkan bahu Jeffrey sebagai sandaran. "Jeno cape, Pa.. Mau istirahat."

Jeffrey melepaskan pelukannya dan mengangguk. Ia mengantar Jeno kembali ke kamar untuk merebahkan tubuhnya yang lelah.

Namun setelah merebah lelah, Jeno memejamkan matanya sambil mengatur napasnya kembali.

Jeffrey yang melihat anaknya seperti itu lantas mengusap rambut Jeno dengan perlahan sambil menatapnya dengan sendu. "Papa minta maaf, Jen. Papa udah ambil kebahagiaan kamu. Papa nggak peka sama apa yang kamu mau. Maaf papa belum bisa menepati janji untuk selalu ada."

Tanpa Jeffrey sadar, Jeno sudah memejamkan matanya untuk beristirahat.


















- bersambung -

Aku nggak tau ini sedih atau enggak. Tapi berharap sih iya. Maaf ya kalau cringe. Jarang bikin yang sad soalnya 🥺

[✓] DOSPEMWhere stories live. Discover now