28

2.5K 217 6
                                    

Kakinya melangkah dengan lemah, dengan kepala terus menunduk. Sedangkan helaan napasnya terdengar sangat berat.

"Kak.."

Anna menolehkan kepala saat seseorang memanggilnya. Ternyata itu Sona yang sedang berlari ke arahnya.

"Dari tadi aku nunggu kakak di sana," ucap Anna sambil menunjuk ke kursi yang tidak jauh dari ruangan Jeno berada. "Tapi saat kakak keluar dari ruangan itu, kakak kok keliatan sedih gitu? Kepalanya terus nunduk. Ada apa? Bukannya tadi kakak bilang mau ketemu sama seseorang yang selama ini kakak tunggu?"

Anna lantas merubah raut wajahnya menjadi senyum ceria. Karena ia tahu Sona sedang berada di titik jenuh pasca kehilangan keluarga untuk selamanya. Anna tidak ingin terlihat jenuh pula. Maka dari itu Anna berusaha semaksimal mungkin untuk terlihat baik-baik saja. Padahal aslinya tidak.

"Aku udah ketemu kok sama orang yang aku maksud. Dia sehat, dia pulih, dan aku bahagia.."

Sona mengangguk sambil tersenyum senang. Kemudian ia mengajak Anna untuk pergi ke taman rumah sakit sekedar berbagi cerita singkat.

Baru pertama mereka bertemu hari ini, entah kenapa Sona sudah merasa sangat dekat dengan Anna. Mungkin karena selama ini Sona hidup sebagai anak tunggal. Begitu juga dengan Anna.

"Kak.."

"Ya?"

"Aku boleh tau nama kakak siapa?" tanya Sona sambil duduk di kursi taman. Begitu juga dengan Anna yang duduk tepat di sebelahnya.

"Jejena Anna Putri Pangestu. Biasa di panggil Anna."

"Namanya bagus banget. Nggak kayak nama aku yang nggak ada kepanjangannya," ujar Sona sambil tersenyum tipis. Sedangkan Anna hanya bisa mengusap bahu anak itu pelan. "Kak, aku sekarang tinggal sendiri. Next time kalau aku kesepian, boleh aku ajak kakak ketemuan?"

Anna mengangguk antusias. "Kamu boleh dateng ke rumah aku. Nggak jauh dari rumah sakit ini. Kapan-kapan aku bawa kamu kesana buat ketemu mama papa ya."

"Pasti orang tua kakak orang yang baik, ya? Buktinya bisa membesarkan anak sebaik Kak Anna."

Anna tersenyum sambil menyelipkan rambutnya ke belakang telinga. "Kamu juga anak baik. Jangan sedih lagi, ya. Kalau ada apa-apa, hubungi aku," ucap Anna sambil memberi nomor ponselnya. "Aku bakal bantu kamu, semampu ku."

"Makasih banyak ya, Kak."

Tak lama dari itu, Anna mengalihkan atensinya pada seseorang yang baru saja datang sambil berusaha menggerakkan kursi rodanya. Tak lagi lain itu adalah Jeffrey.

"Anna, kita perlu bicara," ucap Jeffrey setelah sampai di dekat Anna. Sedangkan Sona yang tidak tahu apa-apa hanya bisa melirik ke arah Anna, juga Jeffrey secara bergantian. "Na, maafin perlakuan Jeno tadi. Dia nggak bermaksud buat nyakitin perasaan kamu."

Alih-alih menjawab, Anna menolehkan kepalanya pada Sona. "Sona, kita mungkin bisa ketemu lain waktu lagi. Maaf banget aku selalu ada urusan saat kita sedang asik bicara."

"Nggak apa-apa, Kak. Aku ngerti kok.."

Sebelum Sona benar-benar pergi, Anna menitipkan alamat rumahnya supaya lain waktu Sona bisa datang menemuinya. Anna percaya Sona orang baik dan bisa dipercaya. Maka dari itu ia dengan senang hati mempersilahkan Sona untuk main ke rumah kapan-kapan.

Setelah Sona pergi, menyisakan Anna dan Jeffrey. Mereka sempat saling diam untuk beberapa menit, sebelum akhirnya Jeffrey menggenggam tangan Anna dengan erat. Seolah tak membiarkannya pergi.

"Anna.. Kita sama-sama tau kalau Jeno belum bisa di katakan baik-baik saja. Hatinya masih terluka karena permasalahannya dengan ku seminggu lalu. Maaf kalau dia nyakitin perasaan kamu. Maaf kalau dia tiba-tiba nuduh kamu yang nggak-nggak. Dia cuma nggak tau cerita sebenarnya. Tapi—"

"Lebih baik kita udahan."

Belum selesai ia bicara, Anna malah memotongnya lebih dulu. Membuat Jeffrey tak bisa lagi berkata-kata.

"Ini udah saatnya aku berhenti nyakitin perasaan dia dengan membalas cintanya kamu. Kita sama-sama tau kalau Jeno juga suka aku, Jef. Aku nggak mungkin jujur dengan bilang ke dia bahwa aku lebih memilih kamu, papanya. Aku nggak mau Jeno tambah benci sama aku. Jadi lebih baik aku yang ngalah. Aku mau kita nggak melanjutkan ke jenjang yang lebih serius."

Jeffrey menggelengkan kepalanya tak terima dengan keputusan Anna. "Kita bisa bicarakan ini baik-baik, Na.. Kita harus bilang ke Jeno kalau selama dia koma yang merawatnya bukan aku, melainkan kamu. Kamu yang selalu basuh tangan dan kakinya, kamu yang nginep di sana, bukan aku. Kamu juga menghabiskan waktu dengannya. Kalau kita bilang seperti itu, Jeno pasti berterimakasih. Dia akan—"

Anna menggeleng, "Percuma."

"Apa?"

"Yang namanya benci akan sulit untuk di obati. Ingin aku melakukan apapun, dia nggak mungkin lagi peduli."

Keduanya sama-sama diam. Tidak tahu lagi jalan mana yang harus mereka ambil. Semuanya sudah terlalu rumit untuk diselesaikan.

Sampai-sampai Anna melepaskan cincin yang ada di jari manisnya karena sudah menyerah dengan keadaan ini. Kemudian ia memberikan cincin itu pada Jeffrey.

"Ini belum pantas di jari manisku."

Selama ini Jeffrey tidak ingin menunjukkan air matanya pada siapapun. Karena ia ingin terlihat kuat. Tapi untuk kali ini, Jeffrey tak kuasa menahan air matanya saat Anna melepas cincin pemberiannya sebagai tanda ikatnya mereka sebagai tunangan.

Jeffrey terus menundukkan kepalanya sambil mengatur napas berkali-kali. Sedangkan Anna tidak tahu bahwa Jeffrey sedang menangis.

"A-aku minta maaf sekali lagi," ucap Jeffrey dengan nada suara paraunya. Di saat itu pula Anna sadar bahwa suara Jeffrey bergetar seperti orang sedang menangis. Anna menangkup pipi Jeffrey menggunakan tangannya dan menatap mata Jeffrey yang masih di banjiri air mata. "Aku minta maaf atas nama Jeno.."

"Astaga.. Kenapa kamu nangis? Jangan gini, aku jadi nggak tega."

"Kamu beneran mau udahan sama aku? Kamu nggak lagi percaya kalau kita bisa lewati ini sama-sama? Aku janji, Anna.. Aku janji bakal bahagiakan kamu. Mungkin bukan sekarang. Tapi nanti.."

Anna jadi ragu. Kemudian ia melepas tangannya dari pipi Jeffrey. "Aku terlalu takut untuk melewati semuanya."

"Kamu nggak sendiri, kamu punya aku. Sekalipun satu dunia membenci kamu, aku akan jadi satu-satunya seseorang yang berdiri di samping kamu.."

Anna menatap Jeffrey penuh seksama. Sebelum akhirnya mereka berakhir dalam pelukan. Anna menenggelamkan kepalanya di curuk leher Jeffrey sambil menghirup bau khas pria itu berulang kali.

Lalu di menit kelima belas Jeffrey melepaskan pelukannya. Mereka kembali bertatapan, dan Jeffrey memasangkan cincin tadi di jari manis Anna lagi.

"Apapun keadaannya aku harap kamu nggak akan melepas ini," ucap Jeffrey setelah cincin pemberiannya kembali melekat di jari manis Anna.

"Tapi—"

"Aku nggak mau denger alasan apapun dari kamu. Pokonya aku nggak terima kalau kamu melepas cincin ini, apa lagi sampai bilang mau udahan."

"Iya, maaf.."

Jeffrey tersenyum, kemudian menarik Anna untuk masuk ke dalam pelukannya lagi.





















- bersambung -

mari menyambut pagi dengan keuwuan..

[✓] DOSPEMWhere stories live. Discover now