Chapter 6 : Talk about life

26.5K 3.6K 53
                                    

Jaehyun ingat di saat pertama kali dirinya bertemu dengan Taeyong. Saat itu dua pihak keluarga mengadakan jamuan makan malam di restoran. Jaehyun datang dengan setelan jasnya dan Taeyong datang dengan pakaian semi formalnya. Di mata Jaehyun si mahasiswa setengah lugu yang tergila-gila dengan dunia perhitungan, Taeyong adalah sosok yang begitu cantik hingga Jaehyun sendiri keliru apakah Taeyong seorang perempuan atau laki-laki.

Mereka duduk berhadapan saat makan malam. Taeyong memberikan senyumannya sambil menganggukkan kepala pertanda bahwa ia menghargai kehadiran Jaehyun dan keluarganya.

Selama itu Jaehyun tidak bisa mengalihkan perhatian terhadap Taeyong. Parasnya, suaranya, tawanya, semua itu Jaehyun ingat hingga tidak bisa tidur rasanya. Jaehyun akan menikah dengannya, menikah dan membangun rumah tangga. Ia tidak peduli jika orang-orang akan memandang aneh kepadanya yang menikahi seorang laki-laki di masa modern ini.

Terutama di saat Taeyong berkata bahwa ia mengandung setelah dua bulan pernikahan mereka. Memberikan alat tes kehamilan dan surat resmi dari rumah sakit kepada Jaehyun yang sedang sibuk dengan tugas kuliahnya, detik itu pula Jaehyun melupakan tugas-tugasnya dan bersimpuh di hadapan Taeyong. Memeluk perutnya sesekali mengecupinya.

Taeyong juga ingat wajah polos Jaehyun saat itu. Bagaimana tidak? Seorang mahasiswa semester tua yang sudah menikah, terlihat lebih hidup di tengah tugas-tugasnya yang menumpuk setelah mengetahui bahwa istrinya mengandung anak pertama mereka.

"Setelah wisuda nanti, aku akan bekerja di kantor ayah untuk menafkahi kalian. Jangan khawatir."

Kalimat itu Jaehyun katakan sambil memakaikan kaos kaki untuk Taeyong, lalu mengikat surai panjangnya pula. Taeyong tersenyum, meraih pipi tirus Jaehyun lantas memandangi matanya. Ia belum bisa mencintai sosok tulus di hadapannya, sosok setengah lugu yang bahkan selalu memberikan cintanya.

Anak pertama.
Anak kedua.
Dan anak ketiga.

Taeyong berhasil melahirkan tiga anak laki-laki yang sehat, suatu keajaiban untuknya karena kemungkinan hidup setelah melahirkan hanya sekitar 25%. Jaehyun semakin bertambah dewasa, ia mengerti bahwa tidak seharusnya ia memaksa Taeyong untuk membalas cintanya. Yang ingin Jaehyun lakukan adalah hidup tenang bersama istri dan anak-anaknya tetapi semua itu hanya menjadi khayalan semata.

Taeyong pergi, tanpa alasan apapun.
Meninggalkan anak-anak hingga 12 tahun lamanya. Tidak, Taeyong pergi bukan karena keegoisannya atau karena ia tidak siap memiliki anak. Ia punya alasan tersendiri untuk pergi.

"Bagaimana kabarmu?" Kalimat pertama Jaehyun kepada Taeyong, pria mungil itu sedang berdiri memandangi bulan yang bersinar terang di cuaca dingin malam ini.

Tidak ada jawaban untuk beberapa saat. Taeyong masih setia memunggungi Jaehyun sambil memandangi bulan.

"Aku baik."

"Duduklah di sini, aku ingin melihatmu."

Kemudian keduanya duduk di kursi taman yang tersedia. Memberi jarak di tengah-tengah meski mereka masih berstatus menikah. Semuanya terasa begitu asing.

"Kenapa kau pergi?" Pertanyaan itu, pertanyaan yang ingin Taeyong hindari. Ia tidak bisa mengatakan apapun terkecuali menatap lurus ke depan. Jaehyun terus memandanginya, memandangi wajah istrinya yang memang tidak berubah. Hanya terlihat sedikit tirus dari terakhir kali mereka bertemu.

"Taeyong, bisakah kau menjelaskan semuanya kepadaku? Aku suamimu."

Lantas Taeyong pun menoleh, "setelah aku pergi meninggalkanmu dan tidak mencintaimu, kau masih sudi berkata bahwa kau adalah suamiku?"

Ada sesuatu yang menancap di hati Jaehyun saat Taeyong membalas kalimatnya, "kita belum bercerai."

"Yah, secepatnya."

Jaehyun menghela nafas. Ia pun mendekat, meraih tangan kurus Taeyong yang terasa dingin. Taeyong tidak menolak, hanya saja ia masih setia memandang lurus ke depan.

"Aku dan anak-anak merindukanmu, hyung. Sangat merindukanmu." Bisik Jaehyun lalu memberikan kecupan di punggung tangan itu. Sepasang mata Jaehyun berkaca-kaca, ia sangat merindukan Taeyong. 12 tahun bukanlah waktu yang singkat untuk mencoba melupakan cinta pertamanya.

Taeyong langsung menarik tangannya dan menyembunyikannya di balik saku mantel. Ia menghela nafas panjang, menahan air mata agar tidak turun.

"Kenapa kau pergi?" Tanya Jaehyun sekali lagi, "aku akan menerima apapun alasannya."

"tidak semua orang mengerti apa yang aku rasakan, bahkan kau sekalipun." Jawab Taeyong, sedikit melenceng dari pertanyaan Jaehyun karena ia berbicara sesuai dengan apa yang ada di kepalanya saat ini.

"apa yang tidak aku mengerti darimu? Pulanglah, anak-anak ingin melihatmu dan mereka membutuhkanmu."

Kepala pria berwajah cantik itu menoleh, bertatapan langsung dengan iris coklat tua milik Jaehyun, "aku tidak bisa."

Lalu keduanya terdiam. Sibuk berperang dingin di dalam kepala. Anak-anak sudah beranjak dewasa, mereka mulai mengerti dengan dunia luar. Taeyong tidak bisa membayangkan apa yang ada di pikiran anak-anak jika mereka mengetahui bahwa ibu kandung mereka adalah seorang laki-laki. Selain itu ibu kandung mereka meninggalkan mereka begitu saja tanpa alasan yang jelas.

Apakah Taeyong bisa diterima oleh mereka?

Taeyong memilih pergi karena ia tidak ingin anak-anaknya menanggung malu karena mereka lahir dari rahim seorang laki-laki. Taeyong ingin bercerai dengan Jaehyun sehingga Jaehyun bisa menikah dengan seorang perempuan yang bisa menjadi ibu dari anak-anaknya nanti.

Taeyong rasa ini adalah pilihan yang tepat saat itu.

Bohong jika Taeyong tidak ingin melihat bagaimana paras anak-anaknya ketika berusia remaja. Bohong jika Taeyong tidak ingin memberikan pelukan hangat dan ciuman selamat malam untuk mereka.

"Masuklah, hari sudah larut." Jaehyun berdiri tegap sambil memasukkan tangan kanannya ke saku celana.

"Kau bisa mengunjungi anak-anak kapanpun kau mau, aku akan mengirimkan alamatnya kepada ayah mertua." Jaehyun tersenyum kecil, membuat dua lesung pipinya muncul begitu saja, "selamat malam, hyung."

Jaehyun ingin membawa Taeyong keluar bersama mobilnya. Membawanya makan bersama dan menghabiskan waktu bersama seperti di saat mereka muda. Saling bertukar pesan atau mengatasi rindu setelah 12 tahun berpisah tanpa kabar.

Taeyong memandangi punggung Jaehyun yang perlahan menjauh dari pandangannya. Tubuh pria itu terlihat lebih besar dan kokoh, meski wajahnya menyiratkan raut kelelahan tetapi ketampanannya sama sekali tidak luntur.

Malam itu Minhyung, Jeno, dan Sungchan memandang bingung ke arah ayahnya di meja makan. Sang ayah pulang dengan raut lelah sekaligus sedih membawa dua kotak ayam goreng hangat. Sang ayah tidak banyak berbicara hanya memakan dua potong ayam lalu berpamitan masuk ke dalam ruang kerjanya. Melihat itu, Minhyung pun menyuruh adik-adiknya masuk ke dalam kamar dan tidur sedangkan dirinya yang membenahi meja makan serta mematikan lampu.

Ayahnya terlihat berbeda malam ini.

"Hyung... Ada apa dengan appa?" Tanya Sungchan menahan tangan Jeno ketika mereka sampai di lantai atas, nadanya ia buat berbisik.

"Entahlah."

"Apa perlu kita hubungi eomma?"

Tiba-tiba Minhyung naik ke lantai atas melalui anak tangga, ia berdiri di hadapan dua adiknya yang masih berbincang di depan pintu kamar Jeno.

"Appa sedang lelah, lebih baik kita masuk ke kamar. Besok bangun lebih awal karena eomma tidak di sini."

Mau tidak mau si tengah dan si bungsu mengangguk patuh, mereka masuk ke kamar masing-masing. Setelah memastikan adik-adiknya masuk ke dalam kamar, akhirnya Minhyung pun masuk ke dalam kamarnya juga. Ia harus belajar untuk ulangan besok.




.
.
.
.
.
.

To be continue

.
.
.
.
.
.



- navypearl -

Home | JungFamily✔️Where stories live. Discover now