Chapter 9 : Sebuah kenyataan pahit yang Jeno dengar

29.9K 3.9K 139
                                    

Keesokan paginya Jeno memutuskan untuk tidak sarapan bersama keluarga, ia memilih membawa bekalnya lalu segera masuk ke dalam mobil ayahnya meski Jaehyun dan dua saudaranya masih sibuk sarapan. Awalnya Yeseul ingin menghampiri tetapi Jaehyun menahannya, Jaehyun yang akan berbicara dengan Jeno nanti.

Sepanjang perjalanan hanya keheningan melanda. Sikap Jeno berubah begitu saja sejak tadi malam. Saat sampai di gedung sekolah, Jeno turun lebih dulu dan masuk ke gedung sekolahnya. Hal itu membuat Minhyung sebagai kakak sulung berdecak, ia harus menegur sikap Jeno.

Jeno sulit sekali berkonsentrasi terhadap pelajaran hari ini. Pikirannya selalu tertuju pada Taeyong, seorang pria yang membantunya merangkai bunga dan juga pria yang datang ke rumahnya malam itu juga.

Jeno mendengar segalanya meski samar-samar. Ia yakin, ada sesuatu yang terjadi di keluarganya. Selama ini sang ayah pasti menyembunyikan sesuatu dan semua itu menyangkut dengan sosok Lee Taeyong. Pria yang sangat cantik wajahnya, dan berbinar cerah sepasang matanya.

"Jung Jeno, silahkan kerjakan nomor delapan di depan kelas." Guru mata pelajaran matematika meminta Jeno untuk mengerjakan soal di depan kelas, Jeno pun segera berdiri dan meraih spidol merah. Tenang saja, Jeno merupakan siswa yang pandai di bidang matematika.

Jeno menyendiri ketika makan siang. Ia menghabiskan bekalnya di kursi paling belakang kelas, sendirian sambil memandangi keluar jendela. Siswa teladan dengan surai hitam mengkilap itu terus memikirkan sesuatu di kepalanya, berperang dingin sesekali menghela nafas panjang.

Satu pelajaran berlalu, si bungsu Jung pun membereskan segala barangnya bersiap untuk pulang. Namun ketika ia bertemu dengan kakak dan adiknya, ia berkata bahwa ia harus pergi ke rumah teman untuk kerja kelompok. Dengan tatapan penuh curiga, Minhyung mengintimidasi adiknya yang satu itu. Biasanya Jeno bekerja kelompok di perpustakaan, bukan di rumah temannya.

"Pulanglah duluan." Ujar Jeno, ia bertingkah seperti sedang menunggu seseorang.

"Kembali sebelum jam lima sore, Jung Jeno." Ujar Minhyung sebelum berjalan keluar area sekolah bersama Sungchan. Sungchan melambai kepada Jeno lalu berlari kecil menyusul kakak sulungnya.

Jeno harap ia masih ingat jalan menuju toko bunga itu.


.
.
.
.
.
.


"Terima kasih, sampai jumpa."

Taeyong tersenyum manis kepada pelanggannya. Ia melambaikan tangan lantas menyimpan uang di laci kasir. Setelah itu ia menghela nafas panjang, mendudukkan diri kemudian kembali mencatat barang-barang yang ia butuhkan. Ia akan membelinya sepulang kerja.

Kemudian Taeyong menguap, menggaruk tengkuknya yang tidak gatal lantas berdiri dari duduknya. Baru saja ia hendak berjalan menjauh tetapi bel pintu berdenting. Pintu kaca dengan stiker nama toko bunga itu terbuka, membuat Taeyong menoleh ke belakang bersiap menyambut pelanggannya.

"Selama-"

Ucapannya terpotong. Sepasang mata bulatnya menyendu bersamaan dengan jantungnya yang berdegup kencang. Mereka berdua saling bertatapan satu sama lain, membuat Taeyong menelan ludahnya.

"Jeno." Mulutnya berucap tanpa aba-aba, seharusnya ia tidak menyebut nama anak keduanya itu.

"Siapa kau sebenarnya?" Tanya Jeno, tubuh bongsornya masih berdiri di dekat pintu. "Jelaskan padaku, kenapa kau datang ke rumahku?"

Mematung.
Tidak ada yang bisa Taeyong katakan selain memandangi si tengah terus menerus. Anaknya tumbuh dengan baik, Jaehyun merawatnya dan mengasuhnya. Jeno tumbuh menjadi remaja yang tampan, mirip seperti ayahnya. Jika Taeyong boleh meminta bisakah ia memeluk Jeno hanya untuk sesaat?

Home | JungFamily✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang