6. So Let Me Stay in Ur Arms, Just A Little Longer. [Song Bora]

180 25 28
                                    

"Kamu bisa ngajarin matematika sama bahasa Inggris buat sepupu saya?" tanya lelaki berpakaian santai yang duduk di hadapanku sambil bertumpang kaki. Choi Seungcheol. Dia juga salah teman angkatanku, aku tahu betul. Tapi seperti Joshua Hong, dia adalah salah satu mahasiswa yang cukup populer dan memiliki banyak penggemar gadis, tentu saja mustahil kami memiliki lingkaran pertemanan yang sama.

Aku mengangguk pelan. "Ya, bisa."

"Yakin? Sepupu saya paling benci sama matematika, sama bahasa Inggris."

Kugigit bibir bawahku. Bisa, pasti bisa. Aku punya adik yang tak kalah bandel di rumah. "Saya akan usahakan supaya dia bisa tetap belajar."

"Kalo dia benci sama sesuatu dan dipaksain, biasanya dia ngamuk sampe suka lempar barang-barang mahal, lho. Komputer, misalnya."

Glek, spontan kuteguk ludah. Minkyun adikku memang bandel, tapi dia tidak pernah sampai lempar barang-barang di rumah begitu - tentu saja, Ibu akan mengusirnya dari rumah terlebih dahulu sebelum itu sempat terjadi.

Tiba-tiba Seungcheol tertawa renyah.

"Ya elah, bercanda! Enggak segitunya kali," ucapnya santai. "Lo tegang banget sih, kayak lagi interview beneran aja -- ya, emang sih, tapi ya, santai aja lah. Kita masih satu angkatan, kan?"

Aku nyengir saja, mengangguk. Ternyata Choi Seungcheol cukup ramah juga.

"Choi Seungcheol. Temen karib Joshua, pasti dia udah cerita sama lo," ia mengulurkan tangannya padaku.

"Song Bora," kujabat tangannya sejenak. Seungcheol tersenyum. Seketika bahuku terasa lebih rileks. Aku pasti bisa mendapatkan pekerjaan ini. Joshua bilang, feenya lumayan besar.

Ah, Joshua.

Kulirik daun pintu ruangan yang tertutup. Joshua sedang menungguku di baliknya, diminta Seungcheol agar tak mengusik jalannya interview.

Ah, aku masih tak mengerti tentang semua tindak-tanduk Joshua padaku akhir-akhir ini.

Aku juga belum bisa melupakan tatapan mata lembut dan senyum tipisnya itu. Genggaman tangannya pada tanganku. Juga pengakuannya, tentang ia yang mengkhawatirkanku.

Jangan lupa tentang ia yang tiba-tiba memelukku sore itu.

"Bora-ssi?"

Aku tersentak oleh lambaian tangan Seungcheol di hadapan wajahku. "Eh, iya. Maaf, Seungcheol-ssi."

Seungcheol tersenyum geli. "Mikirin Joshua, ya?"

"Eh? ng-enggak kok," cepat-cepat kugelengkan kepalaku, "enggak lagi mikirin apa-apa," timpalku tergagap.

Lelaki bermata sayu itu terkekeh. "Kalian tuh gemesin, ya? Di depan malu-malu, di belakang saling kangen."

Glek.

Aku tersenyum rikuh, menggeleng pelan. Ucapan Choi Seungcheol hanyalah memperparah pikiran berlebih di kepalaku saat ini. Tidak. Tidak mungkin Joshua.. ah. Sudahlah.

"Hmm, jadi kapan saya bisa mulai mengajar sepupunya Seungcheol-ssi?" ucapku, mengalihkan pembicaraan.

Seungcheol tertegun sejenak. "Hmm, mungkin minggu-minggu ini. Lo siapin diri dulu aja, nanti gua chat ya berkas yang harus disiapin. Buat gambaran, si Seungkwan itu bukan tipe penurut, terus, gampang bosenan gitu. Sebenernya dia enggak galak, cuma.. apa ya? Moody. Ya, mood swing banget anaknya. Terus ngomongnya agak nyablak. Itu aja sih PR-nya. Banyak juga, ya?" kekehnya.

Aku mengangguk. Aku pasti bisa. "Oh, iya. Siap."

Seungcheol menatapku sejenak, laluvmengangguk. "Ya udah, segitu doang sih interviewnya. Makasih banyak ya, Bora-ssi. Entar gua kabarin lagi schedulenya."

I DESERVE UWhere stories live. Discover now