40. The More I Like U, The More I Brave. [Song Bora]

95 12 0
                                    

Sepulang dari Sokcho, aku sudah menyiapkan diri untuk menahan rasa lapar sampai pagi saja dan langsung tidur setelah rambutku dikeringkan.

Nyatanya, Ibu terbangun gara-gara kedatanganku.

Selepas mandi, aku langsung disuruh duduk di meja makan dan dihadapkan dengan sepanci ramyeon panas yang dibuatnya. Rencanaku batal seketika. Cacing-cacing di perutku sama sekali tidak bisa diajak kompromi.

Dan sekarang Ibu sedang duduk tepat di depanku dan memperhatikanku makan.

Oh, canggung sekali.

"Kamu ke Sokcho sama pacar kamu?" tanya Ibu tiba-tiba. Nyaris saja bikin aku tersedak konyol. Mana pedas sekali kuah ramyeonnya.

Kuanggukkan kepalaku. "Dia ikut bantu beres-beres juga."

Ibu manggut-manggut samar.

"Dia nggak macam-macam sama kamu, 'kan?"

Duh. Kontan kuurungkan suapan mie-ku. "Joshua bukan orang kayak gitu, Bu."

"Ah.. jadi J itu Joshua, ya."

Lalu aku merasa bersalah, menyadari Bibi yang lebih dulu tahu nama pacarku daripada Ibu. Lagi-lagi.

"Tetep aja, dia itu laki-laki. Ibu juga tau orang pacaran itu kayak apa, Ibu juga pernah muda. Kamu pinter-pinter jaga diri aja, ya. Tau batasan. Jangan sampai ngelakuin sesuatu yang ngerugiin masa depan kamu. Ibu percaya, kamu bisa jaga diri. Tapi setiap kamu mau melewati batas, inget ucapan Ibu," omel Ibu panjang lebar.

Kali ini, aku benar-benar menaruh sumpit dan mengangkat wajahku untuk menatap Ibu. Wanita yang selalu tampak lelah dan nyaris tidak pernah melakukan sesuatu untuk dirinya sendiri. Sekalinya ia mengambil keputusan untuk dirinya, aku malah memarahinya sambil mabuk-mabukan.

Dan sekarang, dia masih mengkhawatirkanku sampai tidak bisa tidur.

Ibu langsung memalingkan pandangannya begitu kami beradu tatap.

"Ah, Ibu malah bikin kamu canggung, ya," lirihnya, lalu bangkit dari kursinya. "Ibu.. tidur duluan, ya. Kamu juga, cepet makannya, jangan tidur kemaleman."

Ha, selalu begini. Masalah diantara kami selalu digantung dalam ketidakjelasan.

'You deserve a chance to express your own feeling too.'

Aku harus beranikan diriku.

"Bu."

Langkah Ibu terhenti di depan pintu kamarnya.

Buru-buru aku berdiri dari kursiku. Kutelan ludahku dalam-dalam.

"Bora.. nggak pernah nyesel dilahirin sama Ibu. Bora juga nggak nyesel.. dibesarin sama Ibu. Bora bukan Bora.. kalau bukan karena Ibu."

Dapat kulihat jelas mata lelah Ibu berkedip dua kali mendengar ucapanku itu.

Hening yang menjeda setelahnya.. rasanya membuatku ingin kembali menarik ucapan menggelikan itu dari mulutku.

Sial. Memangnya sejak kapan aku mengungkapkan sesuatu semacam ini pada Ibu? Aku merinding sendiri jadinya.

Ibu sampai menahan tawa karenanya.

"Kamu.. kejedot apa sih, sampe tiba-tiba ngomong begitu? Sana, habisin ramyeonnya. Kalo ngembang nanti nggak enak."

Begitulah Ibu mengakhiri percakapan kami malam ini, sebelum masuk ke kamarnya dan meninggalkanku begitu saja. Sudah kuduga. Aku memang konyol, sih.

Aku masih harus belajar lagi mengungkapkan perasaan dengan benar.

Setidaknya sekarang aku tahu, tidak ada masalah yang berarti diantara aku dan Ibu.

I DESERVE UDonde viven las historias. Descúbrelo ahora