14. I Just Wanna Make It Sure. [Song Bora]

132 22 21
                                    

"Kamu dapet pekerjaan baru, huh? yang gajinya lebih gede?" Manajer Kwak menyambutku tanpa mengalihkan pandangan dari setumpuk berkas penjualan di mejanya. "Ha, ya, gaji disini emang kecil, mau gimana lagi kalo kamu mepet butuh duit. Tapi inget, jaga kesehatan! Jangan sampe bos baru kamu kesel karena punya karyawan penyakitan."

Tiba-tiba ia mendongak padaku dengan alis beradu. "Tau enggak? waktu itu saya shock, takut dikira enggak pernah kasih makan karyawan sampe-sampe ada yang dibikin pingsan! Untung jantung saya masih sehat. Aigoo, emang ya anak jaman sekarang, lemah-lemah."

Sedikit lagi.

Ya. Aku hanya perlu menahan diri dari semua gerutuan pedas Manajer Kwak sedikit lagi, hingga jam kerja hari ini berakhir bersama dengan berakhirnya masa kerjaku di toko buku ini. Aku cukup lihai melakukannya. Satu tahun digerutui seperti itu, siapapun pasti akan terbiasa dan lama-lama menganggapnya angin lalu, 'kan?

"Ya udah, sana balik kerja. Nanti sebelum pulang, ambil upah terakhir kamu di keuangan, enggak usah pamit lagi sama saya, saya lagi puyeng sama rekapan, aigooo.. mana deadline-nya besok--"

"Kalo gitu, saya pamit dari sekarang Pak. Terimakasih atas bantuannya selama ini," aku membungkuk pamit, lalu Pak Kwak mengibaskan tangan di depan mukanya seperti sedang mengusir kesialan hidup.

Aku cukup terbiasa dengan hal seperti itu. Kebencian tanpa alasan. Teman sekelas yang sinis pada penerima beasiswa. Bos galak. Pelanggan cerewet. Meski selalu dibilang lemah, aku selalu berani menghadapi setiap jenis orang-- ah tidak, kecuali orang dalam pengaruh alkohol. Pemabuk lebih mengerikan dari apapun, bahkan seringkali mengalahkan orang berakal sehat. Variabel terburuk yang paling sulit dikendalikan. Orang yang dipandang lemah sepertiku lebih baik menghindari pemabuk selagi ada kesempatan.

Tentu saja toko buku ini adalah tempat kerja yang paling mustahil didatangi orang mabuk. Katakanlah, zona ternyaman kerja paruh waktuku?

Tapi Manajer Kwak sudah tanggung melabeliku karyawan penyakitan setelah melihatku pingsan satu kali di depan toko bukunya. Aku juga sudah janji pada Joshua untuk berhenti jadi robot, belajar beristirahat seperti manusia dengan mengurangi jam kerja paruh waktuku.

Kemarin malam, Sekretaris Lim menghubungiku dan meminta jadwal rinci kegiatanku dalam satu minggu untuk membuat jadwal tutor Seungkwan. Ya, aku lolos!

Tentu saja, mengundurkan diri dari pekerjaan ini adalah keputusan akhir yang mutlak.

Aku berjaga di meja kasir di hari terakhir kerjaku. Pandanganku beralih ke balik dinding kaca di samping kiriku. Ah, benar. Aku pingsan di sebelah situ. Lalu Joshua menghampiriku, menggendongku ke rumah sakit, dan menemuiku di restoran Bibi Hani keesokan harinya. Memelukku. Lalu menawariku lowongan pekerjaan baru. Dan.. menjadi pacarku.

Benar. Hari-hariku yang biasanya monoton perlahan mengalami perubahan ritma sejak Joshua -- yang entah disengaja atau tidak -- menjadi dekat denganku. Kadang aku kewalahan. Hatiku merasa lelah dan terhibur karenanya dalam satu waktu.

Kedengarannya, tak masuk akal, 'kan?

"Song Bora?"

Aish, sempat-sempatnya aku melamun di tempat kerja-- eh?

"Sungjae-ssi, halo," sapaku buru-buru.

Yook Sungjae, koordinator kelasku yang jangkung dan ramah itu tersenyum lebar, dengan beberapa buah buku referensi yang akan dia bayar di tangannya.

"Lo jadi part timer disini? Gua baru liat, padahal udah beberapa kali gua kesini," celotehnya selagi menyerahkan bukunya untuk kuhitung.

Aku mengangguk. "Tapi ini hari terakhir, saya mau berhenti."

I DESERVE UWhere stories live. Discover now