20. Nothing Really Change, But Now.. I'll Try To Be Brave. [Song Bora]

156 22 30
                                    

Ayah..

Putri sulungmu ini baru saja dicium seorang lelaki untuk pertamakalinya.

Wajahnya tampan. Senyumnya manis. Asalnya dari Amerika, tapi fasih sekali bicara bahasa kita. Nada bicaranya lembut dan menyenangkan untuk didengar. Sikapnya sopan dan santun, Bibi Hani juga suka sekali padanya.

Mungkin IPK-nya memang bukan yang tertinggi, tapi dia cukup kooperatif diajak belajar bersama. Makannya banyak, apalagi kalau makan tteokbokki.

Ayah, aku jadi ingin sering-sering memasakkan makanan enak untuknya.

Dia selalu tersenyum meski sedang banyak masalah, itu menyakitkan. Saat matanya berkaca-kaca, dadaku ikut sesak. Dan saat ia mendekat untuk mengecup bibirku.. aku diam saja.

Kita ingin mengorbankan apapun untuk membantunya menghadapi kesulitan. Kita jadi bertingkah bodoh dan kehilangan kontrol diri karena berdebar-debar hanya oleh sentuhan fisik sederhana.

Apa Ayah juga jadi sekonyol itu saat dulu berkencan dengan Ibu?

"Bora, udah tidur?"

Suara Ibu dan ketukan tangannya di pintu kamar yang sedang kusandari menarikku kembali pada realita. Cepat-cepat kutaruh bingkai foto Ayah di meja belajar dan menemui Ibu di balik pintu.

"Lagi belajar?" sambut Ibu. Ibu baru mandi malam. Rambut keritingnya yang masih basah dibalut handuk kecil.

"Enggak."

Ya, mana bisa aku konsentrasi belajar sementara kepalaku masih penuh oleh berbagai kejadian mengejutkan hari ini?

"Ada apa, Bu? Ibu perlu sesuatu?"

"Enggak, cuma.. itu, Ibu mau bicarain sesuatu. Ayo, Ibu bikinin teh panas."

"Oh, Bora aja yang bikin--"

"Enggak, sama Ibu aja. Kamu tunggu aja di meja sana. Ibu beli bungeoppang barusan."

Wah, bungeoppang. Tumben sekali ibu membeli camilan kesukaanku.

"Oh.. ya udah."

Kuikuti langkah Ibu menuju ruang makan, dan seperti titahnya, duduk di meja makan dan menunggu teh panas datang.

Kutatap bungkusan berisi kue-kue berwujud ikan itu dalam hening. Adik-adikku sudah terlelap di kamarnya masing-masing, tentu saja, sekarang sudah pukul sebelas.

Kutatap punggung Ibu yang sedang sibuk menjerang air di kompor. Pasti mau mengobrolkan hal serius. Dan tak kan jauh dari masalah finansial.

"Tadi kamu ngajar?" ucap Ibu selagi meletakkan dua cangkir teh kantong di atas meja dan duduk di hadapanku.

"Iya," kutarik teh panas jatahku.

Kepalanya manggut-manggut, mereguk teh panas miliknya lalu mencomot sekeping bungeoppang. Tidak dimakan, hanya dipegang dan ditatap lekat. Kucomot sebuah juga. Menggigitnya pelan.

Oh, frekuensi pertemuan itu memang sangat mempengaruhi keakraban antara dua orang, ya. Canggung sekali bicara malam-malam berdua dengan Ibu seperti ini. Tak peduli seenak apapun kue di tanganku ini, tetap saja terasa sulit ditelan.

"Kuliah kamu lancar?"

Sebelah tanganku mendekap cangkir teh yang masih panas itu. "Enggak pernah lancar juga, tapi masih bisa keatasi."

Basa-basi memang bukan keahlian kami. Durasi hening yang menyela terasa lebih lama daripada patahan kata yang terucap. Menanyakan kerjaan Ibu? Aku tahu, jawaban Ibu tidak akan beda jauh dari jawabanku.

"Mau bicara apa, Bu?" tanyaku akhirnya.

Kudengar helaan napas panjang nan beratnya sebelum melontar jawaban.

I DESERVE UWhere stories live. Discover now