10. U R The Hardest Project I've Ever Had. [Song Bora]

146 22 10
                                    

Sudah sepuluh menit Joshua meninggalkanku dan pulang ke apartemennya, dan selama itu pula aku duduk berjongkok di dekat pintu belakang restoran, memeluk lutut, menghadapi kecamuk kepala dan hatiku.

Menjadi tak berdaya dan mendapati diriku bergantung pada orang lain adalah hal yang selalu berusaha kuhindari. Namun sekalinya Joshua berdiri di depanku, membuka lebar dua tangannya dan memintaku untuk jatuh ke pelukannya..

..seperti orang bodoh, aku tak pikir dua kali untuk menghambur kepadanya.

Ini tidak beres. Rasionalitasku mulai kacau. Kemana segala keraguan pada Joshua yang selama ini terus memenuhi kepalaku? Sadar, Bora. Sadar. Kendalikan pikiranmu.

"Pacar Kakak udah pulang?"

Dan suara berat Sangkyun dari arah pintu rasanya nyaris membuat satu-satunya jantungku copot dari tempatnya.

Kutelan ludahku dalam-dalam. Sudah cukup sentimentilnya malam ini, Bora. Tidak perlu bersikap konyol di depan adikmu juga.

"Apa sih, jangan ngaco deh. Bibi salah paham, dia cuma temen," aku bangkit, menggulung lengan kaus panjangku dan segera masuk ke dapur sambil menghindari tatapan mata si Sangkyun. Segera kutenggelamkan diri dalam kesibukan mencuci alat masak kotor di bak cucian.

Setelah membuang sampah, Sangkyun kembali dan turut berpacu dengan piring berbusa.

"Sejak kapan emang jadiannya? Atau baru jadian?" ucapnya selagi sibuk membilas piring-piring dibawah basuhan air keran.

Aku hanya berdecak pelan. Sangkyun ini jarang bicara, sekalinya bicara.. ia mendakwaku. Intuisinya tajam sekali. Dan aku cukup payah dalam berbohong.

"Cocok, kok. Asal Kakak bisa dandan terus jangan pake baju kucel, kalian bisa kok keliatan serasi."

Ya, lidahnya juga sama tajamnya. Tidak kejam sebenarnya, dia hanya terlalu rasional. Lelaki adalah makhluk visual yang menyukai keindahan rupa, aku juga tahu. Itulah mengapa perihal Joshua Hong yang menjadi pacarku, masih belum juga diterima nalarku.

Tapi tetap saja, dibilang kucel oleh adik lelaki sendiri tiba-tiba membuatku merasa gagal jadi perempuan.

"Pemikiran macem apa itu? Kalo mau berubah ya harus demi diri sendiri dulu lah, bukan orang lain," ucapku persisten.

"Ya kalo buat nyenengin pacar Kakak, apa salahnya?"

"Tapi tetep aja, Kakak enggak akan sampe dandan cuma gara-gara pacar--" ah, sial. Aku terjebak argumenku sendiri. "Aish."

Sangkyun tertawa tertahan.

"Enggak akan dibilangin ke Ibu, kok. Kalem," ucap bocah itu selagi membilas piring bersabun terakhir dari bak cucian. "Aku juga enggak akan minta uang diem."

Cih. Aku juga tidak mau sampai buang-buang uang hanya untuk membungkam mulut pedasnya itu. Lebih baik kualihkan fokus pembicaraan saja.

"Enggak belajar? Bentar lagi CSAT lho. Jangan leha-leha. Disini karyawan Bibi udah banyak, kamu fokus belajar aja di rumah, enggak usah repot-repot kesini."

Sangkyun tersenyum miring. "Kenapa? Kakak takut kepergok pacaran lagi?"

Sial. "Sangkyun, Kakak serius."

Senyum Sangkyun perlahan pudar. Ia meraih lap bersih untuk mengeringkan tangannya. "Aku enggak akan lanjut kuliah."

"Hah?"

"Aku enggak akan lanjut kuliah."

"Iya, Kakak enggak budek," seruku, "Kenapa?"

Sangkyun membisu. Kini giliran ia yang tidak berani menatapku.

I DESERVE UTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang