32. It's Not That I Don't Trust U. [Song Bora]

141 14 1
                                    

Ibu masuk IGD. Kabar itu kudapatkan dari Bibi Hani lewat chat di tengah santap siang -- dan seketika mengaburkan rasa laparku.

Meski Joshua sedang duduk persis di hadapanku dan menyadari perubahan moodku saat menerima kabar itu, tidak semudah itu aku bercerita tentang kondisi Ibu padanya. Joshua baru saja membawa kabar gembira tentang dirinya yang dipilih Professor Han menjadi moderator seminar akhir tahun di Kampus Global. Rasa senangnya tidak perlu dirusak oleh kabar ini.

Aku diminta Bibi untuk segera menyusul ke rumah sakit setelah kuliahku selesai. Nyatanya, Ibu terlanjur pulang ke ruko Bibi sebelum kakiku sempat menginjak halte bus. Kuharap, bukan karena Ibu yang tidak mau bayar biaya rawat inap.

Masih untung aku tidak sampai salah naik bus karena lokasi rumah sakitnya memiliki rute yang berlawanan dengan restoran Bibi.

Bibi sedang menuruni tangga dari tempat tinggalnya di lantai dua saat aku menyelinap lewat pintu belakang dapur restoran. Misuh-misuh Bibi menghampiriku.

"Ibu di atas, Bi?"

Bibi mengangguk cepat. "Biaya kamar rawat inap mahal, katanya. Jadi minta pulang aja," timpalnya setengah berbisik.

Oh, sudah kuduga.

"Ibu kamu pingsan di toko. Malah bosnya bilang, ini yang ketigakali. Ternyata dehidrasi berat," tutur Bibi tanpa kupinta, selagi mengajakku ke sudut dapur agar pegawainya tidak sempat mencuri dengar pembicaraan kami. "Ada gejala hipertensi juga. Kata Dokter, kalo dibiarin terus, bisa-bisa kena stroke! Astaga."

Kutelan ludahku dalam-dalam. Kabar yang cukup buruk meski tidak begitu mengejutkan. Kabar yang tidak mau kudengar meski sudah terprediksi -- dan akhirnya kudengar juga.

"Mau keatas? Tapi jangan nanya aneh-aneh dulu sama Ibu kamu. Apalagi di depan Ara. Janji?" cecar Bibi.

Kontan kugigit bibir bawahku. "Enggak tau.."

Bibi meringis.

"Aish, ya udah. Enggak usah! Malem ini Ibu kamu mau nginep disini sama Ara buat istirahat, Bibi jagain. Kamu pulang aja. Nanti Bibi kabarin kalo ada apa-apa."

Bibi tahu betul perangaiku. Mungkin di bayangan Bibi, alih-alih menenangkan ibu, aku malah akan melempari pertanyaan-pertanyaan dakwaan seputar; mengapa Ibu menyembunyikan rasa sakitnya? Mengapa lalai sampai dehidrasi berat? Tidakkah belajar dari kesalahan Ayah?

Padahal aku tidak sekejam itu meski pertanyaan itu memang memenuhi kepalaku sekarang, tapi ya, sudahlah.

Menenteng beberapa makanan hangat dari Bibi, akhirnya aku pulang ke rumah tanpa menemui Ibu.

Jarak restoran Bibi menuju tempat tinggalku hanya menghabiskan sepuluh menit berjalan kaki melewati gang berkelok-kelok. Setidaknya tidak ada penerangan yang rusak malam ini. Tetap saja, kupercepat langkahku. Aku harus sampai di rumah sebelum Sangkyun dan Minkyun terlanjur masak ramyeon.

☆☆☆

Kukira kondisi Ibu yang tiba-tiba drop sudah cukup mengejutkanku, ternyata belum.

Semalam, Sangkyun dan Minkyun beradu tegang hingga nyaris adu jotos. Alih-alih melerai, aku malah tersungkur sampai lengan kiriku terantuk tepi meja belajar, meninggalkan bekas memar dan rasa ngilu. Belum sempat menyantap makan malam, Sangkyun hengkang dari rumah dan membawa tasnya tanpa menggubris panggilanku.

Masalahnya terdengar sepele; Sangkyun menumpuk baju-baju dan barang Minkyun dalam keranjang baju kotor seperti menumpuk sampah. Minkyun yang berantakan dan seenaknya, Sangkyun yang sangat apik dan cenderung menahan rasa -- sekalinya dia muak, menyeramkan. Oh, menyatukan mereka dalam satu kamar yang sama sebenarnya bukanlah ide bagus sejak awal.

I DESERVE UWhere stories live. Discover now